Setelah salat isya, Risman duduk di tepi tempat tidurnya. Risman tersenyum-senyum karena rindunya sore tadi sedikit terobati. Tapi senyum Risman menghilang teringat kalau rindunya akan menggunung lagi. Shana akan ke Bali tiga hari, itu berarti akan pulang setelah 3-4 hari lagi.
'Kenapa kamu semakin tidak tegas pada dirimu sendiri, Risman. Apa kamu lupa janjimu untuk tidak memilih siapapun di antara tiga gadis itu? Apa kamu lupa pada janjimu, ingin menghapus cintamu pada Shana? Apa kamu lupa tidak akan menikah sebelum adik-adikmu menikah, atau sarjana? Jangan jadi pria tanpa pendirian, Risman! Jika sudah memilih A lakukan A. Janji seorang pria adalah harga dirinya.'
"Aduh, Risman. Rindu pada Shana itu memalukan!" Risman mengacak rambutnya sendiri.
Risman berbaring di atas tempat tidur. Sekarang ia pikirkan Ara, kemudian Kia.
'Apa aku juga rindu pada mereka semua. Risman jangan jadi playboy!'
Risman memperingatkan dirinya sendiri.
'Paling benar tidak memilih salah satu dari mereka. Itu paling benar, Risman. Jangan dirubah lagi! Tapi bagaimana, perasaan tidak bisa dibohongi. Ya jangan dibohongi. Tapi dimusnahkan! Ingat janjimu pada dirimu sendiri. Ingat janjimu pada Zia. Sekarang dia sudah remaja, kamu harus ikut menjaganya. Jangan sampai dia salah pergaulan. Zia itu gadis kecil yang ingin tahu segalanya. Itu berbahaya untuknya. Arggh, Gemoy, kenapa kamu cepat sekali besar!'
Risman terus bicara dengan dirinya sendiri sampai akhirnya tertidur.
Di Jakarta.
Shana juga sedang berbaring di atas tempat tidur. Shana tersenyum-senyum ingat saat video call sore tadi. Shana senang sekali akhirnya rindu pada Risman terobati. Ingin menelepon langsung malu hati. Entah kemana kegenitan yang sering ia tunjukkan pada Risman. Terasa tumpul setelah ia merasakan jatuh cinta pada Risman. Ia jadi malu bertingkah terlalu genit di depan Risman.
'Arggh, Paman Risman, aku rindu tahu! Eh, apa Ara ke sana ya, terus jalan berdua dengan Paman Risman? Tapi tidak mungkin Paman Risman mau jalan berdua saja. Pasti ada si gemoy kesayangannya diantara mereka. Aduh, kenapa kisah cintaku rumit begini ya. Ada cinta diantara Aku, Kau, dia, dan dia. Huh! Cinta segi berapa ini! Ya Tuhan, tolong kirimkan satu eh dua lelaki lagi yang seperti Paman Risman ke hadapan kami, aamiin. Eh, tapi Paman Risman apa hebatnya ya? Ganteng? Yang lebih ganteng banyak. Kaya? Baasa saja. Jadi apanya yang bikin jatuh cinta? Ah, cinta kenapa kamu buta sih? Jatuh cinta itu harus lihat tahta, harta, dan rupa, itu yang benar. Jangan lupa bobot, bebet, dan bibitnya. Heh, apa aku sudah gila!? Iya sih, gila karena cinta! Amma kenapa nasib cinta putri kesayangan mu begini.'
Shana mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di sudut matanya.
"Maaf ya, Acil Ara, Kia, karena aku juga suka Paman Risman. Tapi aku janji tidak akan masuk ke dalam arena persaingan."
Shana mengusap air matanya lagi.
"Aku janji! Aku janji!" Shana mengacungkan dua jarinya ke atas sebagai tanda berjanji, meski hatinya tersakiti..
*
Risman baru selesai salat Dzuhur. Ia sedang memindahkan sayuran yang baru disemai ke dalam polibag. Sebentar-sebentar Risman menatap ke jalan. Merasa heran Wira dan Zia belum pulang sekolah. Biasanya pulang sekolah selalu mampir ke rumah Nini. Wira mengayuh sepeda memasuki halaman. Sementara tiga temannya melanjutkan perjalanan. Risman berdiri dari duduknya, merasa heran karena hanya Wira yang datang tanpa Zia.
"Assalamualaikum, Paman." Wira memarkir sepedanya. Lalu mencium punggung tangan Risman padahal jari Risman kotor kena tanah.
"Wa'alaikum salam. Zia mana, Bang?" Tiba-tiba perasaan cemas muncul dalam hati Risman.
"Tadi malam Zia demam. Sudah diberi obat panasnya tidak turun. Jadi tadi pagi dibawa ke rumah sakit. Kata Amma, Abang pulang ke rumah Nini saja nanti dijemput."
"Jadi Zia rawat inap di rumah sakit?"
"Abang belum tahu, Paman. Coba Paman telepon Amma. Abang mau salat dzuhur dulu. Abang ke dalam ya, Paman."
"Iya."
Wira masuk ke dalam, Risman mencuci tangan kemudian mengambil ponselnya dari atas meja. Risman menelepon Elia.
"Assalamualaikum, Kak Eli."
"Wa'alaikum salam, Man. Bang Wira sudah pulang sekolah, Man?"
"Sudah, Kak Eli. Kata Abang, Zia sakit. Bagaimana keadaannya?"
"Dia demam dari tadi malam. Karena suhu tubuhnya belum turun setelah diberi obat demam, jadi pagi tadi kami bawa ke rumah sakit. Zia rawat inap. Aku belum sempat mengabari Nini. Zia rewel sekali. Dia mengigau terus. Marah-marah sambil menyebut nama kamu. Dia bilang Paman Risman genit, lirik-lirik cewek di mini market. Dia mengoceh tentang bebek yang hampir kamu tabrak. Tentang pantatnya yang sakit karena kamu nyetir sambil melamun jadi nabrak lubang di jalan." Elia menceritakan apa yang dikatakan Zia.
"Zia salah sangka. Aku bertemu teman di mini market, perempuan. Kami hanya mengobrol. Zia ngambek karena tidak aku belikan ice cream. Dia marah sepanjang jalan. Aku hampir nabrak bebek dan nabrak lubang."
"Ya sudah, Man. Doa kan Zia cepat sembuh. Tolong beritahu Nini dan kai ya. Aku titip Abang. Nanti aku minta acil di rumah mengantar pakaian dan tas TPA Abang ke sana."
"Iya, Kak."
"Terima kasih, Man. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Risman masuk ke dalam. Risman ke dapur meminta acil menyiapkan makan siang untuk Wira. Risman melongok ke kamar yang pintunya terbuka. Wira baru selesai salat dzuhur.
"Bang, makan siang dulu."
"Abang puasa Senin kamis, Paman."
Risman tertegun, merasa tertampar oleh ucapan Wira.
"Paman kenapa?" Wira menatap Risman yang bengong..
"Tidak apa-apa. Kalau begitu Abang istirahat saja. Paman melanjutkan pekerjaan. Eh iya, tadi kata Amma, Abang di sini saja. Nanti Acil mengantarkan seragam dan tas TPA Abang. Zia rawat inap, Bang."
"Kasihan, Zia."
"Abang istirahat ya."
"Iya, Abang mau ngaji dulu sebentar."
"Iya."
Risman menutup pintu kamar.
'Beruntung sekali Bang El dan Kak Eli punya anak seperti Wira. Soleh, lembut, dan cerdas. Semoga anak-anakku juga nanti seperti Bang Wira. Anak dengan siapa, Man? Argh, kenapa pikiranku ke sana.'
"Man!" Risman terperanjat mendengar Kai memanggilnya. Kai dan Nini ke luar dari kamar mereka.
"Bang Wira ada di dalam."
"Sama Zia?"
"Tidak, Kai. Zia rawat inap di rumah sakit."
"Hah! Kenapa? Kapan?" Tanya Nini.
"Sejak tadi malam Zia demam. Sudah diberi obat tapi tidak turun panasnya. Jadi pagi tadi dibawa ke rumah sakit. Aku sudah menelepon Kak Eli. Zia rawat inap. Kak Eli minta aku menyampaikan kepada Kai dan Nini."
"Ya Allah. Kasihan Zia. Itu Abang sudah makan, Man?" Tanya Kai.
"Abang puasa, Kai."
"Oh." Kai membuka pintu kamar perlahan, terdengar suara merdu Wira yang sedang mengaji. Kai menutup pintu. Mata kai berkaca-kaca. Bahagia dan haru melihat Wira. Seduh karena Zia sakit.
*