Sore hari.
Kai, Nini, Aay, Rara, dan Wira pergi ke rumah sakit. Risman sendirian di rumah Kai, karena Acil dan Kia sudah pulang. Risman duduk di teras samping. Perasaannya resah tak menentu. Memikirkan rindu pada Shana, kangen pada Zia.
"Assalamualaikum!" Risman menatap ke arah asal suara. Empat pacar Zia yang datang naik sepeda.
"Wa'alaikum salam."
Empat pacar Zia meletakkan sepeda mereka, kemudian mendekati Risman. Mereka mencium punggung tangan Risman.
"Paman mertua tahu pacar kami di rumah sakit?" Tanya Wisnu.
"Tahu. Kenapa?" Risman balik bertanya.
"Bagaimana keadaan pacar kami, Paman mertua?" Tanya Yadi.
Empat anak itu duduk di lantai teras.
"Zia masih demam," jawab Risman sesuai kabar terakhir yang diterima dari Elia saat Rara menelepon Elia tadi.
"Bagaimana ya cara kita biar bisa ke rumah sakit." Eros bergumam.
"Iya. Tidak ada angkot yang melewati rumah sakit itu," gumam Faruk.
"Naik ojek saja bagaimana. Satu ojek dua orang," usul Wisnu.
"Bahaya itu, Wisnu." Risman mencegah anak-anak melakukan itu.
"Kami ingin melihat pacar kami, Paman. Dunia terasa sepi tanpa pacar kami tersayang," sahut Wisnu. Risman tersenyum.
"Begini saja. Kalian ijin orang tua. Paman nanti minjam mobil Kai. Jadi kita bisa pergi ke rumah sakit sama-sama."
"Benar, Paman?"
"Iya. Tapi kalian harus ijin orang tua. Kalau diijinkan setelah Maghrib Paman jemput di rumah kalian."
"Alhamdulillah, terima kasih ya, Paman mertua."
"Sama-sama. Sekarang kalian pulang."
"Iya, Paman. Assalamualaikum."
Keempat bocah itu mencium punggung tangan Risman. Mereka senang sekali akhirnya bisa membesuk Zia di rumah sakit.
Risman termangu lagi sendirian. Sangat sepi ia rasakan. Hari ini tidak ada gelak tawa terdengar di rumah Nini. Hanya ada sunyi karena si pengundang tawa sedang sakit.
"Cepat sembuh, Putri Zia."
Risman bangkit dari duduk. Ia memeriksa semua pintu dan jendela. Memeriksa dapur juga. Setelah semua dirasa beres, Risman duduk di ruang tengah menunggu orang rumah pulang dari rumah sakit.
'Ara kenapa tidak mampir ke sini ya? Hay, Risman, apa kau merindukan Ara juga? Apa tidak boleh. Terbiasa sering bertemu sekarang tidak bertemu aku rasa wajar saja kalau ada rasa rindu. Wajar tidak ya? Aduh pusing aku. Serba salah.' Risman menggaruk kepalanya.
Suara mobil di halaman membuat Risman segera menuju pintu depan. Risman membuka pintu untuk Nini, Kai, Aay, Rara, dan Wira.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Risman mencium punggung tangan keempat orang itu. Wira mencium punggung tangan Risman.
"Sebaiknya kamu ke rumah sakit, Man, Zia mencari kamu. Bawa saja mobil Kai."
"Iya, Kai. Rencananya aku mau pergi dengan pacar-pacar dia."
"Tidak apa, ajak saja mereka asal seijin orang tua mereka."
"Iya, Kai."
"Aay, kunci mobil berikan Risman."
"Iya, Abba. Ini, Man."
"Terima kasih, Paman."
Risman menerima kunci mobil dari Aay.
"Setelah Maghrib aku berangkat Kai."
"Iya, Man."
*
Setelah Maghrib Risman berangkat. Wira ikut lagi ke rumah sakit bersama Risman. Risman menjemput keempat pacar Zia di rumah masing-masing, untuk memastikan anak-anak itu memang diijinkan orang tuanya untuk pergi menjenguk Zia.
Anak-anak ternyata membawa sekeranjang kecil buah-buahan. Wisnu yang membawa buah, kata mereka uangnya dari kumpulan mereka berempat. Risman terharu dengan perhatian keempat pacar Zia.
Tiba di rumah sakit ternyata ada Ara dan kedua orang tuanya. Ada Kia dan Acil juga.
"Hay, Paman Risman. Kangen ih beberapa hari tidak ketemu." Ara menyapa seraya tersenyum manis.
"Aku juga kangen." Risman menyahut dan itu hal yang ia sesali saat melihat wajah murung Kia.
'Risman Kamu bicara apa. Satu kalimat bercanda yang sudah melukai hati seseorang dan sudah menyemai harapan di hati yang lainnya.'
"Aku kangen kamu, kangen Shana, kangen Kia. Kalian pergi semua. Rumah Nini sepi sekali. Cuma ada si gemoy ini. Eh, dia sakit, tambah sepi rumah Nini." Risman berusaha mengobati luka hati Kia dan menarik ulang benih yang ia semai di hati Ara.
"Acil Ara, Paman Risman genit. Ngobrol lama selaki di nimi makret. Zia marah dong! Paman Risman kan sudah di keep Acil Ara. Retus bawa mobilnya memalun, mau nabrak bebek. Retus nabrak bulang, eh lubang, p****t Zia sakit. Zia keselek sama Paman. Zia sampai sakit karena keselek!"
"Alhamdulillah dia sudah bisa marah lagi." Risman tersenyum.
"Pacar jangan marah-marah nanti cepat tua." Wisnu mengingatkan Zia.
"Tidak apa cepat tua, Pacar. Jadi Zia bisa cepat nikah."
"Hah, nikah?" Empat pacar Zia menatap Zia.
"Pacar mau nikah sama siapa?" Tanya Faruk.
"Sama yang umurnya banyak, badannya beras dong!"
"Bukan kita ya?" Tanya Eros.
"Bukan dong. Kalian kan pacar Zia bukan calon suami."
"Jadi siapa calon suami pacar?" Tanya Yadi.
"Siapa ya? Nanti deh Zia pikir dulu ya. Kata Amma Zia boleh nikah sembilan tahun lagi. Ih, masih lama ya."
"Iya masih lama, Pacar. Kalau sembilan tahun lagi, umur kami sudah banyak dan sudah besar juga. Berarti kami bisa dong jadi calon suami Pacar." Wisnu berharap.
"Iya ya." Zia tertawa.
"Siapa yang Pacar pilih di antara kami berempat."
"Tidak Zia pilih deh. Kita poli gigi saja. Boleh punya empat suami kok kata Kak Sha dan Acil Ara."
"Eh, sembarangan. Mana ada Acil Ara dan Kak Sha bicara begitu!" Mata Ara melotot ke arah Zia.
"Kemarin di warung bakso biraca begitu. Acil Ara lupa ya!?" Zia balas melotot pada Ara.
"Yang boleh itu laki-laki punya istri empat. Kalau perempuan hanya boleh satu, Sayang." Risman menjelaskan.
"Eh iya. Zia lupa." Zia tertawa pelan.
"Kalau begitu Paman Risman istinya empat saja. Acil Ara, Acil Kia, Kak Sha, Acil yang di nimi makret."
"Ih, Acil Ara tidak mau!" Ara bergidik.
"Usul yang bagus itu!" Andra berseru seraya tertawa.
"Ih Abba. Mending tidak usah jadi istri Paman Risman kalau dimadu. Kia mau?" Tanya Ara pada Kia. Kia yang tidak siap menerima pertanyaan melongo kemudian menggeleng.
"Kia juga nggak mau kok. Zia aja yang jadi istri Paman Risman kalau mau di poli gigi," ujar Ara.
"Memang sakit ya di poli gigi itu, Acil Ara? Kok tidak mau."
"Sakit Zia. Sakit sekali!" Ara menampilkan ekspresi kesakitan sambil mengusap dadanya.
"Paman jangan poli gigi ya. Itu menyakiti hati pempruan!"
"Tidak, Sayang." Risman menempelkan punggung tangan di kening Zia.
"Ih tidak boleh pegang-pegang! Kata Acil Fani, lakau sudah datang bulan dipegang laki-laki bisa halim, eh hamil."
"Badanmu masih hangat, tapi kamu sudah ngoceh dari Sabang sampai Merauke." Risman menggeleng-gelengkan kepala. Risman menjauh dari sisi tempat tidur Zia.
"Baterainya full, Man. Sejak pagi dia tidur. Bangun tidur makan banyak. Jadi perlu menyalurkan energinya," ujar El.
"Kalau sudah ngoceh tandanya Zia mulai sehat," kata Elia.
"Sepi sekali tanpa dia sehari saja ya, Man?" Tanya Cici.
"Iya, Acil. Dia yang bikin rumah Nini jadi ramai."
Risman menatap Zia yang mengobrol dengan keempat pacarnya.
"Jangan terlalu dimanjakan, Man. Kalau kamu nikah nanti kamu susah. Dia mau nempel sama kamu, sedang kamu sudah punya istri yang harus diperhatikan." Elia mengingatkan.
"Cari istrinya yang harus mengerti hal itu. Yang sayang Zia juga. Seperti Kia, Ara, atau Shana. Iya tidak, Man?" Andra mengedipkan sebelah mata menggoda Risman. Risman tersenyum dengan wajah merah. Wajah Shana terbayang.
"Sudah ada calon, Man?" Tanya El.
"Sudah, eh anu ...."
*