Risman masih di kebun dengan Wira dan Zia. Risman menyuapi Zia yang ingin ikut makan dengan makanan yang diantar Kia tadi. Menunya ayam goreng, sayur sop ceker, dan sambal kecap. Wira tidak mau makan nasi, hanya makan pisang dan ubi yang sudah dingin.
"Paman."
"Ya."
"Kalau Zia sudah nikah, terus punya anak, Paman sayang tidak dengan anak Zia?" Tanya Zia.
"Itu masih lama sekali, Zia."
"Jawab saja apa sasuhnya sih!" Zia menggerutu. Risman tertawa melihat wajah cemberut gadis usia sepuluh tahun itu.
"Pasti sayang." Risman akhirnya menjawab pertanyaan Zia.
"Paman suapi juga tidak lakau anak Zia makan?"
"Iya." Kepala Risman mengangguk.
"Paman temani ke jalan depan tidak?" Zia terus bertanya.
"Iya." Risman mengangguk lagi.
"Terima kasih, Paman. Paman nanti harus jadi pengawal anak Zia juga. Janji ya!" Zia mengulurkan jari kelingkingnya. Risman mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Zia.
"Iya, Sayang."
"Tapi nanti siapa ya suami Zia? Wisnu, Faruk, Yadi, atau Eros? Kalau pilih benar satu nanti mekera bertengkar tidak ya, Paman?"
"Bisa ya, bisa tidak," jawab Risman.
"Kok jawabnya begitu!?" Wajah Zia cemberut lagi.
"Kalau mereka sayang Zia, mereka akan menerima siapapun pilihan Zia, asal Zia bahagia."
"Oh begitu ya. Atau Zia pilih Paman Faiz ya. Zia suka yang beras. Yang umurnya banyak. Biar sepetri Abba dan Amma."
"Memangnya umur Abba dan Amma Zia berapa?" Tanya Risman.
"Bepara, Bang? Zia lupa."
Zia berseru pada Wira yang mengupas singkong. Wira ingin merebus singkong.
"Abang juga lupa, Zia. Umur abba dan Amma banyak," sahut Wira.
"Tuh kan Zia benar, umurnya Abba dan Amma itu banyak."
"Makan dulu jangan bicara terus."
"Zia kenyang, Paman."
"Paman habiskan ya."
"Heum."
Setelah makan, Risman melanjutkan pekerjaan dibantu Wira sedang Zia tertidur di gazebo.
"Paman sungguhan mau nikah dengan Acil Kia?" Tanya Wira.
"Paman belum ingin menikah. Paman sudah cerita alasannya."
"Iya."
Sementara itu di rumah Nini. Kia duduk di tepi tempat tidur. Meski Kia dan Acil tidak menginap di rumah Nini, tapi mereka punya kamar untuk istirahat. Setelah semua makan siang dan masuk kamar untuk istirahat, Kia, dan Acil juga bisa beristirahat. Setelah ashar mereka kembali beraktifitas membuat cemilan sore untuk dinikmati di teras samping.
Kia masih memikirkan tentang Shana dan Risman. Apakah Shana hanya sekadar berteduh di kebun, ataukah ada sesuatu di antara kedua orang itu. Kia menyentuh dadanya. Ada sakit yang ia rasa. Kia menghela nafas. Rasa sakit yang tak pantas ada. Risman bukan siapa-siapanya. Risman tidak pernah memberi harapan padanya. Semakin Nini berusaha mendekatkan mereka, semakin Risman berusaha menjauhinya. Itu yang Kia rasakan. Menyakitkan memang, tapi Kia sadar, perasaan cinta tak bisa dipaksakan. Dirinyapun merasa tak pantas berharap cinta Risman. Risman bukan tukang kebun biasa di rumah nini. Risman kakak ipar cucu Nini, tentu berbeda derajat dengan dirinya.
Kia berusaha tidak meratapi nasib cinta pertamanya. Kia tidak ingin menangis, tapi air mata tak bisa dicegah. Air mata berjatuhan membasahi pipinya. Kia mengusap pipinya. Risman cinta pertamanya. Sekian lama Kia memendam cinta pada Risman. Hampir setiap hari mereka bertemu. Semakin subur benih cinta di dalam hati Kia tanpa dapat dicegah, padahal Kia tahu, Ara, cucu Nini juga menyukai Risman. Tentu dirinya tak sebanding dengan Ara. Ara lebih segala dari dirinya. Ara cantik, putih, dan punya segalanya. Dan sekarang ....
'Apakah Kak Sha juga menyukai Paman Risman? Apakah Paman Risman juga menyukai Kak Sha? Ya Allah, Kia. Untuk apa hal itu kamu pikirkan. Kamu sudah berjanji untuk menghapus rasa cintamu pada Risman. Kamu tak sebanding dengan dia. Meski kalian sama-sama digaji di rumah ini, tapi Risman itu adik ipar cucu Nini. Jangan berharap terlalu tinggi, Kia. Segera cabut sampai ke akarnya rasa cintamu pada Risman. Tidak ada harapan bagimu untuk bersamanya. Tidak ada, Kia! Kamu harus sadari hal itu. Jangan pelihara rasa yang kamu tahu akan membuatmu terluka.'
Kia membaringkan tubuh di atas kasur. Dibiarkan air mata membasahi bantal. Kia ingin menangis sebentar saja. Menumpahkan rasa yang menyesakkan dadanya. Kia memeluk guling. Dibekap wajah dengan guling untuk meredam suara tangisnya. Cinta pertama menghadirkan rasa sakit dalam hatinya. Tapi Kia tak ingin memperjuangkan. Kia ingin ikhlas menerima nasib cintanya. Tak bisa memiliki pria cinta pertamanya.
'Kamu harus semangat, Kia. Tak bisa mendapatkan orang yang kamu cinta bukalah akhir dari segalanya. Sekarang kamu boleh menangis karena merasa terluka, tapi setelah itu kamu harus bangkit dan fokus pada cita-cita kamu. Yakinkah, Allah sudah mempersiapkan cinta terbaik untukmu.'
Kia bangun dari berbaring seraya mengusap pipinya.
"Semangat, Kia. Kamu harus ikhlas!" Kia bergumam pada dirinya sendiri.
*
Risman pulang dari kebun, ia bertemu Ara yang baru datang. Ara memarkir mobil di halaman rumah Kai
"Paman Risman."
"Ada apa?" Risman tersenyum karena cara Ara memanggilnya seperti Zia, ada manja-manjanya.
"Sudah mandi ya?"
"Sudah."
"Makan bakso yuk."
"Boleh. Asal ajak Shana dan Kia juga."
"Yah. Kok begitu. Pergi berdua saja dong!"
"Kalau berdua saja aku tidak mau."
"Paman tidak asik nih?" Wajah Ara cemberut.
"Itu rasatnya seperti kata Zia." Risman tertawa pelan. Ia menirukan kepeleset kata Zia.
"Ya sudah deh. Aku kasih tahu Kak Sha dulu." Ara mengalah. Ara melangkah ke belakang menuju rumah Shana. Sementara Risman mencari Kia di dapur rumah Kai.
"Kia."
"Ada apa, Paman?"
Cinta Kia yang tadi sempat layu, bak dapat siraman air dan sinar matahari, hanya karena mendengar Risman menyebut namanya.
"Mau ikut makan bakso?"
Kia tak percaya dengan pendengarannya. Baru kali ini setelah sekian tahun Risman mengajaknya ke luar.
"Kia! Mau tidak?"
"Oh iya. Aku ganti baju dulu."
"Begitu saja. Aku juga cuma begini."
"Oh iya." Hati Kia berbunga-bunga.
"Paman Risman, kami sudah siap!"
Suara Ara memangil. Seketika bunga di hati Kia kembali layu. Ternyata Risman tidak hanya mengajaknya, Tapi mengajak Ara dan Shana juga. Kia ingin batal ikut, tapi merasa tidak enak hati.
"Ayo, Kia."
"Aku ijin Acil dulu."
"Iya. Aku tunggu di depan ya."
"Iya."
Risman melangkah lebih dulu. Risman juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ia ingin mengajak ketiga gadis itu pergi bersamanya.
Risman menyetir dengan Ara di sampingnya. Shana dan Kia di jok belakang.
"Kita jemput seseorang dulu ya?"
"Siapa?" Ara dan Shana yang bertanya bersamaan.
"Seorang gadis."
"Apa?" Shana dan Ara sama terkejut. Kia juga terkejut, tapi ia bisa menahan mulutnya untuk tidak bertanya.
"Pacar Paman?" Tanya Ara.
Risman hanya tertawa.
"Pacar Paman ya!?" Ara menuntut jawaban.
"Lihat saja nanti." Risman tidak mau mengatakan siapa gadis yang ingin ia ajak makan bakso juga.
*