HOT BUTTON

1231 Kata
"Amar, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya!" tegas Rania. "Hmm, aku tahu. Tapi Rania, aku hanya ingin membuka sedikit paradigmamu. Marsha itu anak yang sangat lucu dan manis. Apa kamu nggak pengen melihat perkembangannya dan menghabiskan waktu bersama dengannya di masa tumbuh kembangnya ini?" sebuah pertanyaan awal yang sangat menyentuh hati Rania. Sebagai seorang ibu, tidak mungkin dia tidak menginginkan melihat anaknya tumbuh. Rania ingin sekali seperti layaknya kebanyakan ibu-ibu yang bisa menemani anaknya di rumah bermain, belajar, mengajarkan banyak hal yang perlu diajarkan kepada anak-anaknya dari usia dini dan Rania juga ingin sekali punya waktu untuk jalan-jalan bersama Marsha. Tapi semua itu sulit untuk dilakukannya karena Rania harus bekerja di weekday. Sedangkan weekend saat dia ingin keluar tubuhnya sudah merasa kelelahan. Alhasil kebanyakan waktu liburannya digunakannya untuk beristirahat di apartemen dan hanya keluar bersama Marsha untuk belanja. Itupun cuma di fresh market yang ada di lantai dasar apartemennya. Kalau anaknya merengek minta jalan, Rania membawanya ke taman belakang apartemennya setengah jam sebelum belanja ke supermarket. Bahkan sekedar mengajak anaknya berenang di kolam renang umum apartemennya, Rania sudah tidak punya kekuatan. Pekerjaannya sudah menyita semua energinya sehingga weekend adalah waktunya Rania memulihkan energi agar bisa bekerja lagi esok senin. Sehingga yang diucapkan Amar barusan belum bisa dijawab Rania. Ini menjadi peluang untuk Amar karena dia melihat wajah Rania yang gamang "Aku hanya ingin perkembangan Marsha maksimal Rania. Dia dapat perhatian ayah dan ibunya. Aku ingin Marsha seperti anak-anak lainnya bisa bermain dengan orang tuanya lengkap. Bukan kamu yang sibuk bekerja terus dan Marsha sendirian. Aku yakin kok Aku sanggup buat ngebiayain kalian!" 'Pekerjaanku! Dia pasti ingin memecatku di akhir bulan nanti kan? Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi kebutuhanku dengan Marsha?' lagi-lagi Amar masuk di waktu yang tepat dalam kegundahan hati Rania memikirkan masa depan pekerjaannya. Selama ini Rania cukup angkuh menolak Amar karena yakin sekali dirinya sanggup untuk menghidupi Marsha. Rania makin yakin ketika dia mendapatkan pekerjaan yang lumayan dengan gaji dan bonus yang sangat besar di Light Up. Rania tidak membutuhkan pria untuk bergantung. Rania sangat menjaga dirinya supaya tidak jatuh pada pria manapun yang bisa menyakiti hatinya. Tapi sudah seminggu berlalu dirinya dalam kegundahan hati karena perbuatan Reza di kantor. Sikap Reza bahkan mengerdilkan kepercayaan dirinya kalau Rania memang karyawan yang hebat! Dari dulu Rania yakin sekali kalau dirinya cukup pintar tapi lagi-lagi Reza membuatnya terlihat sangat buruk sekali performanya dalam beberapa hari terakhir. "Ayolah Rania!" Pikirannya yang sedang berkelana membayangkan apa yang terjadi di kantor kembali dikagetkan oleh Amar yang terlihat begitu serius memohon padanya. "Aku ingin sekali menjadi ayahnya Marsha. Aku ingin dipanggil olehnya papa. Aku ingin ada di sisinya melihat dia tumbuh kembang dan Aku beneran sayang banget sama Marsha, Rania. Kamu boleh minta apa saja sama aku untuk meyakinkanmu Kalau aku nggak akan nyia-nyiain Marsha. Karena aku beneran sayang kalian berdua Dan Aku cuma pengen kamu tuh ada untuk Marsha, nggak sibuk dengan duniamu sendiri. Kerja lagi dan lagi lalu membiarkan Marsha hanya di tempat penitipan anak." Ucapan Amar juga membuat Rania merasa bersalah. Anaknya sudah capek sekolah dan dia harus membiarkan anak itu tetap ada di sekolahan di saat anak-anak lain pulang ke rumah dijemput orang tuanya. Kata-kata Amar ini kembali membuat Rania menunduk. "Berikanlah aku kesempatan mengasuh Marsha!" bujuk Amar lagi. "Kalau kamu masih mau bekerja ya silakan, aku gak larang. Cuma kan kalau kamu bekerja tapi aku sudah menjadi suamimu, aku bisa meluangkan waktu lebih lama dengan Marsha. Mama papaku bakalan seneng banget bisa main sama Marsha. Adikku juga. Marsha gak harus di tempat penitipan tapi di rumah sama kakek neneknya dan tantenya." Amar makin gencar memborbardir pikiran Rania. "Kamu tahu, di tempat penitipan anak Marsha itu sering sekali sendirian. Dan aku sebenarnya sering menunggunya sampai malam saat kamu menjemputnya. Hanya saja, aku gak berani keluar karena takut kamu akan membawa Marsha pindah sekolah! " "Jadi selama ini kamu yang jagain Marsha?" "Iya. Aku yang dongengin dan temenin dia sampe tidur juga," makin malu Rania. "Dan sepertinya Marsha ingin cerita padamu, cuma kamu terlalu sibuk di pagi hari dan tidak sempat untuk mendengarkannya bicara." Ini juga membuat hati Rania sedih. Sejak Marsha masuk sekolah, sejak itu bos di perusahaannya diganti dan dia memang sering sekali sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak mendengarkan celotehan anaknya. Rania tidak ingat apa yang dikatakan Marsha karena setiap kali Marsha bercerita, dia hanya tersenyum dan mengangguk saja padahal Rania tidak tahu apa isi sebagian besar cerita itu. 'Mungkinkah memang sebaiknya aku memberikan kesempatan pada Amar? Lagi pula bukankah aku gak mau kehidupan Marsha sulit kalau aku sampai dipecat?' Rania bukan wanita yang suka bergantung pada seorang pria. Tapi saat ini dia dalam kondisi pikirannya yang tidak jernih dan mentalnya down dengan sikap Reza di kantor. Rania sebetulnya butuh tempat cerita untuk meluapkan semua unek-unek di hatinya tapi memang dia bukan orang yang mudah curhat. Rania selalu memendam masalahnya sendiri di dalam hati, menangis sendiri dan dia memang sudah tidak mudah lagi percaya pada orang setelah hatinya disakiti oleh Reza 'Dan apa aku harus membiarkan diriku terus-terusan merasa sakit setelah aku juga melihat sendiri dia bisa move on dengan wanita yang dicintainya dan hidup bahagia dalam rumah tangganya?' tanya Rania pada hatinya sendiri. 'Aku dan dia hanya punya ikatan tidak resmi sebagai sugar daddy dan sugar baby! Apa yang kuharapkan darinya? Bahkan aku bertemu dengannya hanya di media sosial karena waktu itu aku mencoba mengurangi tekanan dan mencari hiburan dalam hidupku.' Rania jadi mengingat lagi masa-masa lalu alasan dirinya berkenalan dengan Reza. Masa yang dia tidak ingin ingat tapi memang Rania butuh sesuatu yang membuat dirinya membenci Reza sehingga semua kenangan buruk itu kembali dimunculkannya membuat hatinya merasa terbakar. Apalagi mengingat adegan tadi di SSG's branch office dan Rania seperti orang gila berjalan di bawah terik matahari sambil menangis setelahny. Apa gunanya dia mengingat itu? Kenapa dia tidak move on dan mencoba untuk bahagia? "Rania, please!" Dan saat ini ada seseorang yang berada di sisinya menawarkan sebuah cinta dan kehidupan yang layak untuk dirinya dan anaknya. Keluarganya cukup baik dan mau menerima Rania. Mereka menyayangi putrinya. Bahkan Amar sendiri berani berjanji untuk tidak mengharapkan anak dari Rania. Haruskah dia menolak seseorang yang mungkin saja menjadi jalan keluar dari semua permasalahannya ini? "Amar, aku tidak tahu apakah aku bisa mencintaimu atau tidak!" Tapi Rania tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri makanya dia tak mau berjanji palsu dan memanfaatkan Amar yang sudah baik padanya. "Kalau begitu kita cari tahu dulu saja Rania. Berikanlah aku kesempatan. Aku ingin membuktikan kalau aku mencintaimu dan aku berhak untuk mendapatkan cintamu." Yah pria sebaik Amar tidak mungkin tidak berhak untuk mendapatkan cinta wanita yang tulus. Amar mungkin lebih berhak untuk mendapatkan wanita yang lebih baik dari Rania. Wanita yang masih virgin dan bisa memberikannya kehidupan yang baru dalam rumah tangga mereka. Kehidupan yang menyenangkan. Bukan Rania yang membawa masa lalu yang kelam. Tapi dari dulu yang diharapkan Amar hanya Rania. Dan apakah Rania akan membuang kesempatan ini? Sebuah peluang di mana anaknya bisa mendapatkan seorang ayah yang baik dan mencintainya. Keluarga yang bisa menyayangi anaknya. "Ayolah Rania, please! Sudah hampir enam tahun aku mengejarmu, berapa tahun lagi kamu baru mau menerimaku dan mencoba percaya padaku?" Amar makin mencecar yang membuat emosi yang tidak stabil dalam tubuh Rania. Makin mendangkalkan pikiran jernihnya. Adrenalin dalam tubuhnya meningkat dan saat ini dengan kelelahan pikirannya yang hampir buntu itulah Rania menjawab Amar: "Kalau kamu memang serius denganku, Aku ingin kamu menikahiku paling lambat di akhir bulan ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN