AYAH UNTUK MARSHA

1381 Kata
"Sekolah ini, punya tanteku, Soraya." "Bu Raya?" "Hmm. Kebenaran banget ya Rania!" Lemas pula hati Rania mendengar jawaban dari Soraya yang juga ikutan datang. "Amar sama Marsha itu lengket banget! Pokoknya kalau Amar udah dateng, kita udah deh nggak ada yang bisa main lagi sama Marsha soalnya dia tuh selalu pengen mainnya sama Amar doang. Bahkan makan juga disuapi oleh Amar. Mereka ini udah kayak nge-date deh! Apa-apa dilakuin berdua," makin tak berkutik Rania apalagi sudah melihat senyum dari Amar yang dipuji Soraya. "Jangan bilang kalau selama seminggu ini, Marsha sering bermain denganmu! Dan sengaja kau menunjukkan sekolah ini padaku tujuanmu untuk membuat putriku bisa dekat denganmu. Iya kan?" "Hehehe!" ingin sekali tangan Rania menggetok kepala Amar yang malah cengengesan bukan menjawab pertanyaannya. Rania memang sudah mencari tahu tentang sekolah terbaik di sekitaran apartemennya dan mendapatkan sekolah yang ditunjukkan oleh Amar di media sosialnya beberapa bulan yang lalu sesuai dengan kriterianya. Review-nya juga mendukung. Tapi sungguh Rania tak menyangka kalau sekolah itu masih milik anggota keluarga Amar. Andaikan Rania tahu dia pasti akan memilih sekolah yang lain dan menjauhkan putrinya dari Amar. Bukan karena Amar adalah orang yang jahat dan sangat berbahaya bagi putrinya. "Om Amal! Acha mau liatin mama yang tadi itu loh yang di dalem!" "Oh, ayo Sayang!" Keduanya sudah sangat bersemangat sedangkan Rania tak tahu apa yang mereka lakukan di dalam. "Ayo Mama cepetan!" dan kini, tangannya sudah digeret oleh putrinya masuk ke Aula bermain. Kalau bukan karena rasa tak enak pada ibu Soraya yang juga seakan menyuruh Rania untuk masuk ke dalam Dia pasti sudah pamit pulang dan tidak mau menuruti permintaan putrinya. 'Ini yang kutakutkan! Marsha nyaman dengannya. karena dari dulu dia memang selalu saja baik dan berusaha untuk tetap baik pada Marsha. Padahal aku sudah menghindar darinya dan mengatakan kalau kami sebaiknya jaga jarak.' Melihat kedekatan Amar dan Marsha yang bermain bersama lalu menunjukkan permainan apa saja yang sering mereka lakukan, jelas membuat Rania merasa terbebani hatinya. Amar bukan orang asing untuk Rania. Saat Rania diusir dari rumah dan kesulitan untuk menjalankan hidupnya, pekerjaan yang didapatkan oleh Rania pertama kali sebagai pramuniaga di departemen store Di sanalah dia bertemu dengan Amar yang menjadi CEO di departemen store tersebut. Sejak Amar melakukan survei dan melihat pekerjaan para karyawannya, termasuk Rania Amar sudah menunjukkan sikap yang sangat baik dan sopan di awal pertemuan mereka. Rania kadang merasa tak enak karena dari hari ke hari Amar jadi semakin memperhatikannya sampai akhirnya mengakui perasaannya pada Rania. Dia terpesona dengan kecantikan Rania dan selalu saja berusaha untuk dekat dengan wanita itu meski Rania sudah berusaha menghindar darinya Bahkan Rania sudah mengatakan kalau dirinya mengandung anak dan tidak mau menceritakan Siapa ayah dari anak itu. Tapi Amar tetap saja tidak peduli malah ingin terus melindungi Rania. Padahal Rania sudah menjelaskan kalau dia tidak ingin berhutang Budi, Amar tak mau dengar. Rania yang mencoba menghindari gosip di departemen store memilih keluar dari pekerjaannya dengan alasan kehamilannya yang sudah masuk ke bulan ke-tujuh kala itu. Amar sebetulnya masih ingin Rania bekerja dan sudah ingin memindahkannya ke bagian lain yang tidak perlu terlalu banyak berdiri. Dia menahan Rania. Sayangnya Rania menolak. Rania tidak mau menerima kebaikan Amar. Rania tahu tidak ada yang gratis di dunia ini. Hati Rania yang sudah terkoyak karena perbuatan Reza membuatnya membentengi diri setinggi mungkin dari laki-laki. Rania memang tidak pernah menceritakan masa lalunya ini pada siapapun. Rania juga cukup pintar untuk menghindar dari Amar Sayangnya pria itu tidak pernah berhenti mengusiknya Setelah Rania keluar dari pekerjaannya, Amar mencari tempat tinggalnya dan berusaha untuk berteman dengan Rania. Itu semua tidaklah mudah dilakukan oleh Amar apalagi Rania memang seakan memberikan batas. Dia berusaha untuk survive sendiri dan tidak mau menerima bantuan dari Amar Apapun usaha yang dilakukan oleh Amar untuk membantunya, Rania pasti menolaknya. Cuma tetap, kegigihan Amar tidak terkikis. sikap Rania justru membuat Amar semakin penasaran dan semakin tertarik pada dirinya. Hingga satu titik setelah Rania melahirkan putrinya, dia kesulitan mengurus kuliah dan bisnis online-nya sebelum dia bekerja di light up. Akhirnya Rania menerima juga tawaran Amar sebagai teman. Rania mengizinkan Amar untuk bermain dengan Marsha dan membantunya sedikit saat dia kuliah online. Marsha tak rewel, sehingga tak sulit Amar mengasuhnya selama tiga jam Rania kuliah. Hanya saja Rania tetap memberikan batas dan sudah menegaskan pada Amar kalau dia tidak ingin putrinya terlalu dekat dan berpikir Amar adalah seseorang yang termasuk anggota keluarganya. Rania sudah mengatakan kalau dia tidak menginginkan hubungan lebih dengan Amar. Meskipun pria itu menerima, tapi Rania tahu kalau Amar tetap berusaha untuk mendekatinya. Sampai saat ini pun Rania masih yakin kalau usaha Amar mendekati putrinya adalah caranya untuk meraih cinta Rania. Mempercayai ketulusan seseorang, sudah tak bisa lagi dirasakan Rania. Gadis itu percaya kalau hanya dirinya sendirilah yang bisa menjadi tumpuan baginya dan putrinya. Hanya dirinya sendirilah yang tidak akan pernah berkhianat. "Kamu nggak seharusnya repot-repot seperti itu loh buat Marsha. Lagian, kerjaanmu juga banyak kan di departemen store? Harusnya kamu enggak buang-buang waktumu untuk sesuatu yang sia-sia!" Dan kalau Rania tidak datang cepat Mungkin dia tidak akan pernah tahu kalau Amar selalu mengunjungi putrinya. Makanya dengan sedikit emosi Rania menegur Amar. "Sia-sia gimana sih? Hehehe." "Dih, kok malah ketawa? Kan aku lagi marah, Mar!" "Hmm, kalo dimarahin wanita secantik dirimu yang meski marah juga tetep cantik ya aku mau lah, Ran." Amar itu malah menanggapi dengan candaan dan duduk di sofa yang berseberangan dengan posisi Rania duduk. "Iiih, aku serius sih, Mar!" "Aku malah senang loh bisa main sama Marsha dan makasih ya hari ini kamu ngizinin aku buat nganterin dia pulang ke apartemen kalian. Terus kamu juga udah ngizinin aku buat makan malam sama Marsha! Aku senang banget bisa main Timezone sama dia. Seru banget soalnya!" dengan antusias Amar cerita yang membuat Rania kembali menghempaskan napas pelan mendengarkannya. "Oh iya! Mama sama papa juga udah kangen loh sama Marsha, Ran. Kapan kamu mau bawa lagi Marsha ke rumah? Udah lama loh dia nggak mampir. Ada kayaknya setengah tahun kan Ran?" Yam Amar memang sudah memperkenalkan Rania dan Marsha pada keluarganya yang memang menyambut hangat kehadiran dua wanita yang dibawa Amar. Ibu Amar sangat ramah bahkan memaksakan banyak sekali cake yang disukai Marsha. Ayah Amar juga memberikan Marsha banyak sekali mainan. Rania cukup dekat juga dengan adik Amar yang juga rela kamar tidurnya di berantakin oleh Marsha. Mereka semua keluarga yang baik. Rania cukup dekat dengan keluarga Amar. Tapi memang Rania tidak tahu dengan tante Amar yang bernama Soraya, istri dari om-nya Amar yang belum pernah ditemuinya juga. Rania kecolongan di sini sehingga memasukkan anaknya di sekolah itu Amar juga tidak ikut campur dalam masalah pendaftaran Marsha sehingga Rania bayar seperti layaknya orang tua lainnya yang membayar biaya sekolah. Makanya Rania tidak curiga apapun. Cuma saat ini kekesalannya sudah bertumpu pada Amar sehingga menatap sinis padanya. "Kenapa melihatku begitu? Mama papaku yang ingin bertemu dengan Marsha, kan. Adikku si Sita juga. Marsha itu kan emang ngangenin, lucu, ngegemesin banger Ran. Dan namanya juga kakek dan neneknya ya jelaskanlah mereka kangen pasti ama cucunya." "Amar, jangan mulai lagi!" seru Rania memperingati pria yang selalu saja tidak pernah menyerah untuk mendapatkan hatinya itu padahal sudah beratus-ratus kali ditolak olehnya. "Rania, Aku tuh nggak pernah main-main dengan perasaanku padamu." "Amar kita nggak usah ngebahas ini!" "Tapi kurasa kita harus membahasnya lagi, Ran." Bahkan Amar sudah pindah duduk dari yang tadi di sofa di seberang Rania kini pindah di dekat Rania meskipun wanita itu tadinya ingin mengusirnya tapi Amar tetap berusaha memegang tangannya cukup kuat. "Amar lepasin coba!" Rania berontak "Rania tolonglah, berikanlah aku kesempatan," bujuk amar lagi yang kini menautkan matanya pada Rania. Dia masih memegang tangan Rania, tapi tidak di pergelangan tangannya. Amar menggenggam telapak tangan Rania saat bicara. Dia memang tidak mau menyakiti Rania dan hanya ingin mendapatkan perhatiannya saja supaya mau mendengarkannya bicara. "Aku sangat mencintai Marsha dan aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri." "Amar!" "Aku mau menjadi ayahnya Marsha, Ran!" Amar tak mau dengar sanggahan Rania. "Bahkan kalau kamu mau, aku juga mau berjanji dan menulis hitam di atas putih perjanjian pra nikah kalau aku gak akan pernah menuntutmu untuk melahirkan anak biologisku setelah kita menikah." "Amar please, pulanglah, udah malem!" "Rania, Aku serius!" Amar tetap memaksa. "Papa dan mamaku juga sudah mendukung hubungan kita. Mereka juga sangat menyayangi Marsha. Ayolah Rania," suara Amar terdengar memelas. "Berikanlah aku kesempatan menjadi ayah Marsha dan suamimu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN