Menggoda

1219 Kata
“Mas,” Caka balik badan, jadi gugup bertemu Anindya, melihat senyum gadis itu membuatnya berdebar. Harusnya dia marah, tetapi balik lagi mengingat kejadian semalam bersama sahabat kekasihnya itu, membuat dirinya kikuk sendiri. “Kenapa nggak mau sarapan bareng? Ayo duduk.” Tanya Anindya begitu tiba di lobby lounge hotel. “Masih marah? Maaf. Kamu benar, aku belum siap. Aku terlalu kekanak-kanakan. Sorry mas Caka.” Anindya menunduk memelas. “Hhh… oke, aku maafin. Tapi soal restu ibu dan kakak-kakakku, mas_” “It’s okay mas.” Anindya memegang tangan Caka, melempar senyum hangat. “Soal mereka, biar jadi urusanku. Kali ini, aku yang bakal usaha mendapatkan restu dari mereka.” Ujarnya penuh yakin. “Kamu yakin?” “Ya. Selama ini mas udah usaha, mungkin ini juga yang buat aku tiba-tiba ragu. Jadi, biar semuanya benar-benar nggak ada kebohongan kedepannya, biar aku yang yakinkan ibu.” “Ya sudah kalau itu mau kamu, aku dukung sayang.” Anindya tersenyum lebar, “Makasih sayang. Em, sebagai permintaan maaf aku… gimana kalau kita makan siang disini? Aku yang traktir. Mau ya, please…” Caka mengangguk mengusap puncak kepala Anindya lembut. “Iya, terserah kamu aja.” “Hehehe, makasih mas. Kamu baik banget, aku bener-bener minta maaf soal kejadian itu.” “Gapapa, aku maklumi. Mungkin kamu benar, kita terburu-buru.” “Nggak kok, bukan salahmu. Yasudah, mas duluan aja ke resto bilang reservasi atas nama Anindya. Mas tunggu disana ya, bentar lagi jam makan siang, aku harus selesaikan jam kerja dulu sebelum nyusul.” senyum dan raut wajah bahagia Anindya sekejap hilang setelah balik badan meninggalkan Caka. Selepas Anindya pergi, dengan langkah ringan Caka mendekati restoran. Sedikit terkejut, Anindya memesan VIP untuk menebus kesalahannya. “Terimakasih.” Ucap nya memasuki ruang VIP restoran Kingdom Hotel. “Ah, kalau gini terus sih gapapa ditunda.” Ucapnya senang. Matanya berbinar memandang pemandangan keluar yang begitu indah. “Pantas saja selalu menjadi rekomendasi pertama, Kingdom Hotel memang nggak pernah mengecewakan. Makan siang disini sebuah keberuntungan yang tidak boleh dilewatkan .Mungkin Anin nggak mikir dua kali, tapi aku… jangan harap mau mengeluarkan uang untuknya.” Caka mengeluarkan ponselnya, mengabadikan momen saat ini. “Cara terbaik mengobati kegagalan.” Tulis nya di caption foto, lalu memposting foto tersebut di sosial media miliknya. Caka tertawa begitu senangnya melihat banyak komentar dari teman kantor. “Makanya punya cewek yang bisa dikibuli.” Ucapnya terkikik geli. “Oh, sayang.” Caka menyimpan ponsel miliknya melihat pintu terbuka. Mengira itu Anindya, ia terdiam tatkala melihat keberadaan Raquel. “Kamu,” “Maaf, saya nggak tau kalau ada mas juga disini.” kata Raquel. “Maksudnya,” Sebelum Raquel menjawab, pesan dari Anindya masuk. `Mas, cucu tuan Dante menyebalkan. Dia membuatku bekerja lagi. Nggak apa-apa kan kamu ditemani Raquel? Maaf ya sayang.` “Oke. Semangat. Mas tunggu jangan lama-lama, kamu juga butuh makan siang.” Send. `Baik mas. Maaf ya, secepatnya aku kesana.` “Mau kemana? Masuklah temani saya. Anin udah ngomong barusan.” Ujar Caka menahan Raquel yang hendak pergi. Gadis itu tersenyum paksa. Sialan dijadikan cadangan. Kalau bukan makan enak, mana mau dia disini masih kesal sama omongan Caka tadi pagi. Raquel melangkah masuk lalu duduk berhadapan dengan Caka. Keduanya canggung sambil menunggu hidangan yang telah Anindya siapkan. Sambil makan mie cup dan nasi segitiga di dalam ruang staf khusus untuknya, Anindya memandang layar laptop seolah sedang menonton drama. Bukan seperti ini yang dia inginkan, Anindya mendesah kasar tak ada reaksi selain keterkejutan awal Raquel masuk. “Apa mas Caka bukan pria yang disukai Raquel?” Anindya jadi meragukan insting nya tentang awal hubungan Raquel dan Caka. Kalau memang bukan Caka, lalu dimana pertama kali hubungan terlarang mereka terjalin? Hidung sederhana karena tak mancung tidak juga pesek, lalu bibir merah muda masih terlihat seperti bocah saat makan. Adyatma merasa lucu melihat Anindya dari layar monitor. Tak hanya Anindya yang sedang mengawasi seseorang, Adyatma pun melakukannya. Entah kemana pikiran lelaki tampan itu, yang pasti dia ingin melihat wajah cantik si peri penolongnya. “Kalau orang lain tau lu kayak gini, yakin penjara setahun kayaknya bisa. Gila kali ya, kalau dia tiba-tiba telanjang gimana woi!” cecar Fabian frustasi tak habis pikir dengan kelakuan gila sang bos. Lebih tak habis pikir lagi, bagaimana bisa ia menyanggupi permintaan Adyatma untuk memasang cctv di ruangan Anindya agar lelaki itu tidak kabur. Sogokan yang sangat menyeramkan. Fabian berdoa, semoga Tuan Dante tidak mengetahui kelakuan cucunya yang sudah seperti penguntit c***l. “Bisa kah kamu diam, saya sibuk.” “Matamu sibuk. Nih, kerjain.” Fabian menaruh berkas di meja Adyatma, namun seorang Adyatma saat sedang mode ngambek jangan harap dia melakukan apa di suruh kan. Kecuali… “Oke, fine. Anin bakal ikut kita ke bandung lusa.” Detik berikutnya, kedua pipi Adyatma terlihat menggembung sementara matanya jadi sipit. Dia tersenyum menang. Arrgghh… pengen banting nih orang. Batin Fabian kesal. “Aahh… sepertinya otak saya harus kerja kasian nggak pernah digunakan.” ujar Adyatma santai meregangkan otot-otot. Tak urung membuat Fabian mencak-mencak, tantrum dia liat Adyatma. “Hoh, saking gak gunanya jadi cabul.” Gumam Fabian beranjak dari sana. Memastikan Fabian benar-benar keluar, Adyatma kembali fokus menopang dagu memandang Anindya di layar laptop. “Kamu lupain aku ya cantik. Jahat banget.” *** “Saya/saya!” “Mas aja dulu.” “Ladies first.” Caka meraih gelas air minum, memalingkan muka. Diam-diam mengagumi wajah cantik Raquel biarpun tak secantik Anindya, tetap saja Raquel punya pesona tersendiri dengan proporsi tubuh yang bak gitar spanyol. Buah d**a… sial. Besar sekali. Terlihat penuh dibandingkan Anindya. Apa dia sudah memegang benda itu? Sudut mata Raquel melirik Caka, kemana tatapan lelaki itu pun dia tahu. Apa dia harus terlihat jalang agar bisa terdeteksi keberadaannya oleh Caka? Lihatlah, lelaki itu menatap tubuhnya seolah mengingat sentuhan semalam. “Kenapa mas, ada yang salah sama baju saya?” sengaja atau tidak, Raquel membusungkan d**a. Caka sedang minum pun tersedak. “Oh, kamu nggak apa-apa mas!? Pelan-pelan dong.” Raquel bangkit mencondongkan badannya mengulurkan serbet membantu Caka membersihkan bibir lelaki itu. Hingga tatapan Caka tertuju pada bongkahan lemak yang sedari tadi sudah jadi pusat perhatiannya. “Mas,” “Oh! Ah, sorry.” Caka mengambil alih serbet membiarkan Raquel duduk. Gadis itu tersenyum kecil melihat Caka gugup. Kalau gini sih, gampang. Menyeringai kecil semakin yakin dia bisa mendapatkan Caka. Tak lama pintu terbuka, pelayan membawa hidangan makan siang mewah. Keduanya tersenyum senang, ini seperti mereka sedang berkencan. “Selamat makan mas.” “Kamu juga.” Keduanya seolah melupakan Anindya, menikmati hidangan makan siang. “Mas, liat sini sebentar.” Raquel mengabadikan momen hari ini, keduanya tersenyum di hadapan kamera. “Mau saya kirimin nggak mas fotonya?” “Boleh deh.” “Oke. Tuh cek.” Caka mengecek ponsel dan tersenyum melihat Raquel. “Kamu fotoin saya diam-diam ya,” “Hehehe, pemandangan di luar bagus sayang kalo dilewatkan.” “Bukan karena ada saya disana?” “Em, itu juga sih. Hehehe. Maaf ya kalau Rael lancang.” “Rael?” “Yes. Mas bisa panggil Rael aja.” “Oke Rael, gapapa.” “Soal?” “Jadi penggemar saya. Hahaha.” “Ihh… pede banget.” “Ah, jadi malu.” “Kenapa malu, mas nggak lagi telanjang kok ngapain malu.” Raquel dan Caka saling tatap, kemudian saling melempar senyum lalu kembali menikmati makan siangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN