AWAL DARI SEGALANYA
"Lihat istrimu Caka, dia benar-benar tidak punya empati sekedar mengeluarkan uang untuk membantu ibu." Ujar Tania.
Dia kakak pertama suami Anin, meski umurnya hampir memasuki kepala tiga, dia masih mengharapkan gaji suami Anin. Karena bisnis yang selalu ia bangun berakhir bangkrut.
"Benar. Apa susahnya membantu ibu membayar arisan. Tho, uang yang dia dapat dari anak mertuanya sendiri." Lanjut Dania.
Lalu dia kakak kedua suami Anin. Dia tidak jauh berbeda dengan Tania, tapi setidaknya Dania memiliki otak untuk bekerja di kafe.
"Kakak-kakakmu benar nak, istrimu rela dan membiarkan ibu di hina ibu-ibu arisan karena tidak sengaja menghilangkan uang arisan." Sinta merasa sakit hati dengan sikap Anin.
Kemudian dia mertua Anin, sejak menikah dengan suaminya, tidak sekalipun Sinta merasa senang atas kehadiran Anin dalam keluarganya.
"Ibu tidak menghilangkannya, tetapi memakainya dengan membeli barang-barang mewah."
Tamparan mendarat di pipi kiri Anin, sekuat apapun dia membela diri suaminya tidak akan percaya.
"Lancang kamu meninggikan suami pada ibuku? Apa kamu tidak punya sopan santun. Ah benar, kamu tidak punya orang tua sudah pasti kesopanan tidak pernah diajarkan."
Dia Caka Raditya suami Anindya Basmara. Lelaki yang ia anggap penolong dan tempat untuknya pulang, sayangnya cinta Caka hanya bertahan tujuh bulan setelah mereka menikah seolah dua tahun pacaran tidak ada artinya.
"Mas cukup."
Lagi-lagi tamparan dan kepalan tangan kembali Anin dapatkan. Dia layaknya samsak tinju, tidak peduli luka yang ia dapat Caka tak berhenti sebelum hatinya puas.
Anin pernah mendengar, sesalah apapun istrimu, jangan marahi dia di depan mertuanya.
Kenyataan tidak seperti itu, karena Anin merasakan semuanya. Lalu Anin harus mengadu pada siapa, tidak ada yang mendengarkan. Tempatnya berkeluh-kesah tak lagi sehangat awal pernikahan, hingga tiga tahun pernikahan dia harus menerima hinaan dan celaan keluarga suaminya.
Hari ini terjadi lagi Anin hanya bisa menangis dalam diam. Dia tidak bisa lepas selama Caka terus mengancamnya.
"Hahh…" Anin di dapur hanya meneguk air putih tawar. Matanya melirik ke ruang tamu, suami dan kedua kakak iparnya serta sang mertua tertawa sedikitpun tak ada perasaan bersalah setelah apa yang mereka lakukan hari ini.
Dikarenakan Anin punya rumah sendiri, ia harus bolak balik untuk mengurus rumah dan juga keperluan rumah mereka seperti memasak dan bersih-bersih.
Bahkan di hari pernikahan pun Anin yang lelah seharian berdiri menyambut tamu harus membersihkan setumpuk piring bekas para tamu.
Caka hanya berkata, "Tak apa, bantu-bantu ibu siapa tau dengan melihat ketekunanmu dia bisa luluh. Anggap saja kamu lagi melayani tamu di hotel, seperti sebelumnya."
Sayangnya Anin melakukan hal itu selama tiga tahun pernikahan, bolak-balik namun usahanya tak pernah dihargai sampai mengurus diri sendiri saja dia tidak punya waktu.
Tiga tahun lalu Anin bekerja sebagai Asisten General Manajer sesekali menyambut para tamu, melayani mereka sepenuh hati, mengukir senyuman indah. Namun kini tak ada senyum dan hanya berkutat dengan dapur dari rumah miliknya lalu berpindah ke rumah mertuanya.
Sanjungan dan pujian atas kecantikan Anin dulu sudah tak terdengar setelah menikah.
Mungkin saat keluar sekedar berbelanja, tidak ada yang percaya bahwa Anin adalah seorang primadona saat dirinya masih bekerja.
"Kapan dunia adil padaku? Aku juga punya lelah, rasanya sesak sekali. Mas, kamu tidak lagi seperti dulu. Mana janjimu akan selalu menjadi tempat terfavorit untukku jika lelah?" Anin menahan isakannya, dia tidak ingin pukulan kembali ia dapat jika berani bersuara saat menangis.
"Saat sakit pun, aku harus meredamnya. Adilkah?"
"Anin. Anin. Anin sialan kamu tuli apa gimana sih, hah." Teriakan Tania menggema.
Sang empu yang merasa dalam bahaya segera berlari keluar. Tak sengaja Anin menginjak kulit pisang membuatnya terjatuh di depan keluarga.
"Akh, mas. Sakit."
Bukan menolong, Caka dan keluarganya malah tertawa melempari Anin kulit kacang.
Rasa malu dan sakit hati Anin tak lagi sanggup ia tahan. Namun, dia tetap harus bungkam.
"Rasain makanya jangan durhaka sama suami, apalagi sama mertua sendiri. Enak jatuh, karma tuh." Tania beranjak, menepis tangan Anin. Gadis itu mengira akan ditolong.
"Apa sih, ngarep kamu ditolong. Cih, jangan harap nggak Sudi aku." Anin di tendang, "sonoh beliin aku bakso. Awas kalau kurang enak, ki sate kamu."
***
"Anin sialan. Dimana kamu."
"Mas, jangan teriak gitu malu di liat tetangga."
"Lebih malu aku yang harus berurusan dengan wanita mandul sepertimu."
"Aku tidak mandul mas."
Banyak mata memandang namun Caka tidak peduli pandangan orang padanya dan lagi-lagi tamparan dan umpatan Anin dapatkan.
Lagi-lagi Anin hanya diam menahan air mata dalam hati terus berdoa, ada mukjizat untuknya.
Ingatlah, jangan marahi istri di depan banyak orang. Agar cerita marahmu tidak tersebar.
Namun semua itu hanya untuk orang yang benar-benar tau cara menghargai pasangannya. Dan Anin tidak mendapatkan itu selain hinaan dan pukulan.
***
"Bu, mas Caka selingkuh."
"Bagus dong. Lagian sama kamu dia nggak bahagia, jadi biarkan dia bahagia dengan pilihannya. Memang apa yang bisa anakku dapatkan darimu selain beban? Tidak ada." Ujar Sinta Sarkas.
"Udah sih santai aja, masih mending adikku tidak menceraikanmu. Sudah dipungut dari genangan air kumuh malah ngelunjak." Timpal Tania.
"Bener mba, udah sana masak aku lapar jangan berani pulang sebelum semua pekerjaan rumah selesai." Dania ikut berkomentar.
Ingin meminta pembelaan, yang ia dapat sekali lagi hinaan. Lalu dimana dia harus berpijak?
Kalau dulu Anin di abaikan karena mandul, lalu apa alasan perselingkuhan Caka setelah Anin hamil enam bulan?
Anin memasuki rumah tak jadi menginap di rumah mertuanya, toh untuk apa yang ada makan hati mendengar cacian mereka.
Ia berharap di rumah impiannya ini dia bisa merenungkan tindakan apa yang mesti ia lakukan.
"Sayang, mau sampai kapan kita kayak gini aku capek tau."
"Sabar sayang, tunggu sampai dia melahirkan semuanya akan selesai."
"Ckh, lagian kamu sih. Kok bisa sampai hamil gitu. Katanya udah jijik, kok bisa hamil."
"Ya gara-gara kamu."
"Kok aku!? Kenapa malah nyalahin_"
"Sayang dengar ya, yang mau putus karena cemburu sama perempuan menjijikkan itu siapa? Kamu. Enam bulan lalu kamu pergi liburan sama Jemmy, aku kalut terus mabuk. Aku kira itu kamu, makanya_"
"Oke, jangan di jelasin aku sakit hati dengernya."
"Maaf. Jangan pergi lagi ya, aku hanya mencintaimu."
"Oke, nggak akan. Tapi kenapa harus nunggu dia lahiran, kamu seneng punya anak dari dia?"
"Raquel Mahardika dengar, aku mau anakku lahir dari rahimmu bukan dari perempuan rendahan itu. Kamu bisa kan bersabar sebentar lagi, agar kehidupan kita jauh lebih bahagia."
"Maksudnya,"
"Dia punya… " Caka terdiam, merasa sedang diawasi. Ketika menoleh, kedua matanya membelalak melihat Anin berdiri di depan pintu kamar dengan air mata bercucuran.
"A-anin." Raquel buru-buru meraih dress miliknya dan menjauh dari kasur.
"Ka-kalian benar-benar manusia biadab." Cerca Anin mendekati Raquel dan menamparnya.
"Anindya!" Caka tidak terima, ia melangkah lebar mendekat Anin dan menampar balik istrinya.
Kali ini Anin melakukan perlawanan dengan menampar Caka, membabi buta memukul Caka melampiaskan semua sakit hatinya selama ini.
Dunia Anin sekali lagi hancur, kenyataan bahwa suami berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
"b******n kalian. Biadab. Demi Tuhan aku nggak rela berkorban demi kalian aku nggak akan rela. Pergi kalian dari sini, pergi."
"Diamlah sialan." Bentak Caka. Namun Anin sama sekali tidak peduli, ia mendorong keduanya keluar dari kamar.
"Akh, sakit Anin. Sayang lakukan sesuatu, muka aku kerja cakar perempuan gila ini."
Caka pun berusaha melindungi Raquel, mendorong Anin menjauh dari Raquel.
"Anin, stop."
"Nggak akan sialan. Kalian manusia rendahan. Pergi kalian dari sini, pergi." Anin mendorong keduanya, hingga tanpa sengaja saat saling dorong Anin terlempar melewati pembatas lantai dua.
Caka dengan cepat menahan tangan Anin, mencoba membantu Anin naik.
"M-mas, tolong aku mas. Aku lagi hamil anak kamu mas, tolong bantu aku mas." Anin begitu takut walau lantai dua tidak terlalu tinggi, tetap saja bila jatuh kandungannya tidak akan selamat.
Caka terkejut, meski tidak mencintai Anin lagi, dia tidak akan menjadi seorang pembunuh terlebih ada yang harus ia selesaikan demi kehidupan nya yang lebih baik.
"Aku mohon mas, berikan belas kasihmu sedikit saja. Aku mohon mas, bantu aku."
"A-anin, pegang erat-erat." Anin mengangguk kecil, ada secercah harapan kala Caka terus mencoba menarik Anin naik. Namun tanpa disangka-sangka Raquel memukul pergelangan tangan Caka tak ayal membuat pegangan lelaki itu terlepas.
"Tidak. Raquel. Mas."
"Anin!!"