KASUS RAHASIA

1756 Kata
Akhirnya ambulan itu tiba.. Petugas paramedik keluar dari ambulan itu bersama dengan dua orang lelaki. Satu orang entah siapa, tapi lelaki lainnya sepertinya polisi yang berpakaian sipil. Stretcher keluar dari pintu belakang ambulan. Seorang perempuan berbaring di atasnya. Barra, Kamal dan petugas paramedik berlari mendorong stretcher itu menuju ruang IGD. Kedua lelaki itu mengikuti di belakangnya. “Jelaskan!” Barra menatap petugas paramedik dan mengecek denyut nadi perempuan itu di bagian leher dan menggunakan stetoskopnya. “Tiba-tiba pingsan di kediamannya. Kami tiba di lokasi 5 menit setelah pelaporan, artinya sekitar 15 menit sudah tidak sadarkan diri, termasuk perjalanan ke sini. Saat kami temukan, denyut nadi melemah dan sempat kejang,” jelas petugas paramedik tersebut. “Kami sudah melakukan resultasi jantung paru dan memberi bantuan nafas. Kondisi belum stabil. Gejala overdosis,” tambahnya. Barra memperhatikan secara fisik perempuan ini, ada lebam di bagian atas tangannya. Lebam yang terlihat masih baru. Selain itu, pakaiannya tidak rapi, cenderung berantakan. Kondisinya menyedihkan. Suster Ira berbisik di telinga Barra, “Dok ini aktris ternama, Clara Jovanka.” Barra hanya mengangguk. Ia cukup tahu kalau Clara Jovanka adalah aktris ternama. Tidak hanya sebagai aktris yang telah berperan dalam puluhan film, ia juga model yang banyak membintangi iklan. Pasti banyak yang tidak akan menyangka, aktris sesempurna itu, ternyata seorang pengguna. Sambil terus memeriksa kondisi Clara, Barra kembali teringat Inka.. Ia semakin merasa, apa yang terlihat dari tampilan luar memang tidak menggambarkan dalamnya seseorang. “Siapa walinya?” Barra menatap lelaki yang berpakaian sipil di hadapannya. “Sa-ya.. Sa-ya manajernya..” ujar lelaki itu. “Dok.. To-tolong rahasiakan hal ini.. Jangan sampai media tahu. Saya sudah bicara dengan polisi yang juga mendampingi saya tadi.” Barra hanya mengangguk. Ia juga tidak ingin kasus ini terangkat ke permukaan sebelum jelas. Pasien kali ini aktris ternama, artinya akan menarik banyak perhatian yang ingin mengetahuinya. Bagaimanapun ini skandal besar dan media akan terus menggalinya.. Ia tahu harus menjaga kerahasiaan pasien ini,, Kalau sudah berurusan dengan media, tidak akan ada ketenangan. Baik itu untuk penyelidikan, ataupun untuk pengobatan. Suster Ira dan rekannya mempersiapkan peralatan yang harus terpasang pada tubuh pasien. “Bagaimana kejadiannya?” Barra menatap lelaki itu. “Clara menelepon saya, seperti cemas, bingung dan menangis. Apartemen saya tidak jauh darinya. Saya langsung datang ke tempatnya. Dia marah-marah tidak jelas, seperti halusinasi, dan rumah terlihat acak-acakan. Tapi tiba-tiba dia menyentuh dadanya dan terjatuh ke lantai..” Lelaki itu terlihat takut. Barra dan tim trauma membersihkan jalan napas dengan memasukkan tabung pernapasan. Ia mencoba menginduksi muntah untuk mengeluarkan zat dari perut. Lalu melihat ke arah Suster Ira, “Ambil darahnya, lakukan tes psikotropika jenis stimulan.” Suster yang lain memasang alat pemompa perut untuk mengeluarkan zat di tubuh pasien. Infus sudah terpasang, untuk membantu mempercepat pembuangan zat dari tubuh. “Agresif dan halusinasi.. Apa pasien mengkonsumsi obat-obatan sejenis psikotropika? Kokain? Amfetamin?” Barra menatap lelaki itu.. Manajer Clara Jovanka itu hanya diam. Lelaki yang berpakaian sipil satunya lagi menghampiri Barra, “Dok, boleh bicara?” Barra mengangguk dan keluar dari area IGD. Kamal langsung menggantikannya melakukan tindakan. Nadi perempuan ini lemah, tapi masih ada.. “Saya mencurigai pasien menggunakan psikotropika. Ini gejala overdosis stimulan, mungkin kokain atau amfetamin lain. Tes sedang dilakukan,” Barra menatapnya. Polisi tersebut bicara perlahan lalu memperlihatkan lencana polisinya, “Saya detektif yang menangani kasus obat-obatan terlarang, nama saya Damar Adrian. Pasien memang sedang dalam pengawasan. Kami sudah mencurigainya sebagai pengguna dan mengenal pengedarnya. Untuk membantu penyelidikan, harap bantu kami untuk merahasiakan hal ini. Ini butuh penyelidikan lebih lanjut, akan masalah bagi kami kalau media mengetahuinya.” “Saya paham.. Setelah kondisinya stabil, akan kita pindahkan ke ruang VIP,” Barra hendak kembali menuju ruang IGD, tapi langkahnya terhenti. “Detektif, ada hal yang mengganggu saya. Di bagian tangan pasien tadi ada lebam biru yang sepertinya masih baru. Saya berencana meminta bantuan suster untuk juga mengecek bagian lain tubuhnya. Kalau memang ada lebam lainnya, artinya ada sesuatu yang terjadi.” Detektif Damar sedikit terhenyak, “Lakukan! Saya harus cek sesuatu.. Nanti saya kembali.” Barra mengangguk dan melangkah pergi. “Suster, kalau kondisi sudah stabil, langsung pindahkan ke ruang perawatan VIP. Koordinasi dengan walinya. Lalu, satu lagi, ada lebam di bagian atas tangannya. Tolong periksa bagian tubuh lainnya, apa ada lebam yang sama. Rahasiakan hal ini..” Barra bicara perlahan pada Suster Ira. “Kabari saya segera.” “Baik dok,” Suster Ira beranjak menuju ruangan tempat Clara Jovanka berada. Ia mulai memeriksa bagian tubuhnya. Ia merasa kaget setelah melihat apa yang ia lihat. Suster Ira setengah berlari menemui Barra. *** Ponselnya berbunyi, Rhea melihatnya, ini pimpinannya, Kapten Nadim Irsyad. Lalu matanya melihat jam di tembok, pukul 2 dini hari. Ahh, padahal ia sedang enak-enaknya tidur. Rhe menarik nafas dan mengangkat telepon itu. Rhe, “Ya kapten..” Nadim, “Rhe, kasus.. Ke kantor sekarang..” Rhe, “Kapten, ini jadwal liburku.” Nadim, “Aku tidak mau dengar.” Lalu telepon itu tertutup. Rhe menarik nafas panjang, ia menganggap Kapten Nadim Irsyad seperti ayahnya. Ia yang membimbingnya saat awal-awal memasuki kepolisian. Dan Rhe sangat respek padanya. Hanya saja, Kapten Nadim tidak pernah mau mendengar kata libur atau istirahat.. Rhe hanya tersenyum dan bersiap-siap mengenakan pakaian kebesarannya. Celana jeans, kaos dan jaket. Ia berkaca, dan mengikat rambutnya. Lalu keluar dari apartemennya. *** Partnernya yang bernama Galang Mahendra tiba-tiba merangkul dari samping. Galang dan dirinya hanya beda satu tahun. Lelaki ini lebih muda darinya. Sejak mereka dipasangkan, Galang seperti ketergantungan padanya. Sedikit-sedikit bertanya padanya… Tapi, saat di lapangan, harus ia akui, Galang adalah petarung. Mereka sama-sama memegang sabuk hitam, tapi dari segi stamina, Galang memang juara. Ia seperti tidak mengenal lelah. “Kasus! Ini skandal. Kita harus hati-hati,” ujarnya. “Memang kasus apa? Ini jadwal liburku.. Enak sekali tidurku tadi, setelah kencan buta yang membuatku tidak enak hati,” Rhe dengan cueknya bercerita pada Galang. Galang yang semula tersenyum, langsung terdiam… “Kamu.. Kencan? Sama siapa?” Rhe hanya tersenyum, “Bu-kan u-ru-san-mu! Sekarang ceritakan soal kasus apa..?” Hmm.. Galang merasa perutnya berdesir tidak enak, tapi ia mencoba biasa.. Entah kenapa.. “Ini melibatkan aktris ternama. Tadi CEO dari agency-nya menelepon langsung Kapten Nadim dan meminta penyelidikan rahasia. Skandal besar di awal tahun!” “Siapa aktrisnya?” Rhe penasaran. “Clara Jovanka.. Kamu tahu bukan?” Galang menatapnya tersenyum. “Wuihhh, siapa yang tidak kenal dia.. Aktris top, cantik dan berprestasi. Plus aku ingat pernah baca artikel soalnya. Tahu tidak, sekali dia main serial drama, per episode dibayar 1 milyar? Untuk film, pernah bayarannya mencapai 10 milyar sekali main. Belum lagi puluhan milyar sebagai bintang iklan. Artikel itu melekat di pikiranku. Luar biasa.. Lalu kasusnya apa?” Rhe terkaget-kaget. “Aku belum tahu jelas.. Kapten makanya minta kita menangani ini. Dan, ini RAHASIA! Top secret…” Galang berbisik di telinganya. “Aku mengerti, ini skandal besar melibatkan aktris top.. Pasti heboh kalau media tahu.” “Yes,” Galang mengangguk. Mereka memasuki ruangan Kapten Nadim, “Tutup pintunya,” kapten bicara dengan tegas. Galang menutup pintunya. Rhe memilih langsung duduk di sofa ruangan Kapten Nadim. “Langsung saja kita bicara, “ Kapten Nadim meletakkan map di atas meja. “Nanti kalian baca. Itu semua data-data penyelidikan.” “Jadi, divisi narkotika dan obat-obatan terlarang sedang mengawasi salah satu aktris ternama, Clara Jovanka yang dicurigai sebagai pemakai dan mengenal pengedarnya. Detektif bertugas, Damar Adrian sedang mengawasinya. Tapi, kemarin malam, aktris itu OD dan dibawa ke rumah sakit sekitar jam 9 malam. Kondisinya tidak bagus, saat ini belum sadarkan diri,” terang Kapten Nadim. “Itu urusan divisi narkotika bukan? Kenapa kita terlibat?” Rhe memotong ucapan Kapten Nadim. “Rhe, dengarkan dulu.. Saya belum selesai,” Kapten Nadim geleng-geleng kepala. “Sori bos,” Rhe hanya tersenyum. Kapten Nadim melanjutkan ucapannya, “Saat dibawa ke rumah sakit, dokter yang menanganinya melihat ada yang aneh. Ada luka lebam di tangannya, dan itu luka baru. Setelah suster memeriksanya, ternyata ada lebam lainnya pada tubuh Clara. Yang membuat suster kaget adalah Clara tidak mengenakan celana dalam dan melihat ada luka di area kewanitaannya. Suster itu langsung mencurigai ada hal lain yang terjadi.” Rhe langsung membelalakan matanya, “Ra-pe? Pe-merkosaan?” Kapten Nadim mengangguk, “Dokter sudah memeriksanya. Ada luka di area kewanitaannya yang mengarah ke sana. Namun, Clara belum bisa kita mintai keterangan, ia belum sadarkan diri.” “Jadi ini kasus berkembang dari soal obat-obatan terlarng mengarah ke peng-aniayaan dan pe-merkosaan. Pihak dokter telah meminta izin keluarganya dan telah mendapatkan consent untuk memprosesnya. Termasuk permintaan penyelidikan. Ibu dari aktris Clara sudah ada di rumah sakit dan bersama dengan anaknya.” Rhe dan Galang mengangguk. “Setelah dokter itu bicara dengan Damar soal kecurigaannya. Damar menyadari sesuatu. Saat pengintaian, dia memang melihat ada sosok seseorang keluar dari apartemen Clara. Dia pun bergerak mengecek cctv apartemen Clara. Jadi sekitar 50 menit sebelum kejadian, ada sosok lelaki keluar dari apartemennya dengan terburu-buru. Setelahnya, sekitar 10 menit sebelum kejadian, artinya setengah jam setelah sosok lelaki itu keluar, manajernya memasuki apartemen itu.” “Manajernya bersaksi kalau dia datang karena Clara meneleponnya dalam kondisi seperti cemas dan bingung, bahan menangis. Saat dia datang, Clara marah-marah dan meracau tidak jelas. Seperti berhalusinasi.. Tak berapa lama, Clara tidak sadarkan diri. Bukti call history memang betul kalau Clara memang menelepon manajernya.” “Selanjutnya, kalian selidiki. Ini melibatkan tokoh ternama. Saya tidak tahu akan bisa merahasiakan soal ini hingga berapa lama. Tahu sendiri wartawan sekarang informannya dimana-mana. Tapi menurut saya, 24 jam ini paling lama bisa kita tahan. Jadi mau tidak mau, sebelum ini tersebar, kita sudah harus mendapatkan update penyelidikan. Join investigation dengan Damar ok?” Kapten Nadim menatap Rhe dan Galang. Rhe dengan pasrah mengangguk.. Ia dan Damar bagaikan musuh bebuyutan. Rhe tidak suka cara Damar yang sering mendominasi dan merendahkannya saat penyelidikan. Mungkin karena ia seorang perempuan. Ia pernah join investigation di masa awalnya memasuki kepolisian. Saat itu, Damar tidak membiarkannya melakukan tugas lapangan. Bahkan saat harus mengejar seorang penculik anak, Damar menyuruhnya hanya duduk di dalam mobil. Setiap tugas malam, Damar selalu menyuruhnya pulang cepat. Rhe tidak suka, sepertinya Damar ingin menguasai kasus oleh dirinya sendiri. Ah, tapi bagaimana lagi… Ini tugas, dan tidak mungkin menghindar. “Temui Damar di rumah sakit, nanti dia akan mengenalkan kalian pada dokter yang menangani Clara. Dokternya kooperatif, jadi segera saja temui sebelum wartawan mengejarnya,” Kapten Nadim berdiri dari sofa dan duduk kembali di kursi kerjanya. “Jangan lupa tutup pintu saat kalian keluar,” kalimat itu jadi cara halus Kapten Nadim mengusir mereka. Rhe dan Galang mengambil map di atas meja, lalu beranjak menuju Rumah Sakit Husada Nuswantara. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN