Rhea duduk di hadapan Barra. Lelaki yang tampan, pikirnya.. Tapi, lupakan! Ia adalah Inka, dan Inka sudah memiliki kekasih, artinya tidak menyukai lelaki di hadapannya ini.
“Mau pesan apa?” Barra dengan sopan bertanya. Rhea yang tidak suka berbasa-basi hanya diam membaca buku menu di hadapannya, “Teh dan chocolate cake cukup.”
Barra menatapnya, lalu memanggil pelayan mendekat.. Mereka hanya diam.. Barra membuka percakapan, “Saya dengar dari dokter Malik, kalau kamu seorang pengacara.”
“Iya..” Rhea menjawab dengan pendek dan menunjukkan sikap tidak tertarik. Ia mencoba acuh tak acuh.
Barra kembali diam, ia merasa perempuan di hadapannya ini tidak sopan. So rude, pikirnya. Sepertinya tipikal anak manja, Barra mencoba menilai dalam hati. Ia kembali menyeruput teh hangat.
“Kenapa kamu menyetujui pertemuan ini?” Rhea bertanya terus terang.. Barra sedikit kaget, perempuan ini berani sekali, terlalu berterus terang.. Bukan tipenya.
“Saya menghargai dokter Malik,” Barra mencoba tenang dan kembali menyeruput teh-nya. “Kita sudah bertemu sekarang. Rasanya sudah cukup..” Rhea menikmati potongan terakhir kue coklat di hadapannya.
Barra sedikit tersinggung, ia bukan pengangguran. Ia menyerahkan tanggung jawabnya untuk piket malam di Trauma Center pada dokter asistennya, untuk menemui perempuan ini! Jadi, sikap tidak sopan Inka menyinggungnya. Tapi, ia mencoba tenang..
“Kenapa seperti itu? Saya mencoba menghargai dokter Malik dan memenuhi permintaannya untuk berkenalan dengan putrinya. Bagaimana kalau kita lakukan yang terbaik dan bersikap selayaknya teman?” Barra mencoba bersikap lebih dewasa, ia tidak mau ada ucapan tidak enak pada dokter Malik mengenainya.
“Tenang saja, saya tidak akan bicara jelek mengenaimu pada papaku..” Rhea tersenyum sinis.. Ia tidak suka lelaki ini seperti mengaturnya.
Barra langsung merasa emosi mendengar ucapan dan nada suara Inka, rasanya seperti melecehkan. Perempuan ini seperti menganggap ada kepentingan pribadinya dari pertemuan ini. “Itu bukan urusan saya. Apapun yang kamu bicarakan pada papamu mengenaiku, bukan urusan saya,” Barra bicara dengan nada agak tinggi.
Rhea sedikit kaget.. Ia memang merasa kalau sikapnya menyebalkan. Tapi, itu semua ia sengaja agar tujuannya tercapai. Rhea tidak mau berlama-lama. Namun, balasan dari lelaki itu ikut membuatnya kesal.
“Baiklah.. Itu urusan saya..” Rhea melihat jam tangannya, “Ini sudah malam.. Saya pikir kita sudahi saja.. Saya tidak tertarik untuk berlama-lama.”
Barra tanpa sadar membelalakkan matanya.. Ia tidak menyangka, putri dokter Malik sekasar ini? Tidak sopan! “Silahkan kalau mau pergi.. Tapi, saya sarankan untuk menjaga kesopanan dalam sikap dan setiap ucapanmu..”
“Hmm.. Jangan mengatur.. Saya memang orangnya seperti ini. Berikan saranmu pada perempuan lain. Terima kasih atas minum dan cake nya,” Rhea berdiri dan melangkah perlahan keluar dari restoran itu.
Barra menatapnya menjauh.. Latar belakang keluarga yang terpandang, karir yang sukses serta penampilan yang menarik ternyata tidak menjamin seseorang memiliki karakter yang baik, pikirnya. Barra hanya geleng-geleng kepala..
Ia bertekad tidak ingin bertemu lagi dengan Inka Garini.. Perempuan itu kasar dan jauh dari tipe idealnya. Baginya, seorang perempuan harus memiliki karakter lemah lembut yang mampu menenangkannya. Barra berdoa dalam hati untuk tidak lagi bertemu dengannya. BIG NO!
***
Rhea menarik nafas panjang dan bergerak cepat memasuki lift.. Restoran itu berada di lantai 18 Hotel Mahagaya.. Rhea terus menatap pergerakan lift dari lantai 18 menuju lantai lobi.
Akhirnya ia tiba di lobi.. Rhea bergerak cepat mencari taksi. Ia tidak mau berpapasan dengan lelaki tadi. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa bersalah. Sikapnya memang kasar dan keterlaluan.. Tapi, ya bagaimanapun, itu tujuannya.
Ponselnya berbunyi, ternyata Inka. Ia segera mengangkatnya.
Rhea, “Ya..”
Inka, “Bagaimana?”
Rhea, “Aku sepertinya membuat dia kesal.. Siap-siap saja kalau dia tidak menyukaimu..”
Inka, “Itu tujuanku, tidak masalah.. Tapi, bagaimana orangnya?”
Rhea, “Hmm.. Tampan..”
Inka, “Serius? Ini pertama kali kamu bilang lelaki tampan.”
Rhea tertawa, “Iya serius tampan.. Hanya saja, melihat karakternya, seperti bukan tipeku.”
Inka ikut tertawa, “Rhe, kamu menyukainya?”
Rhea, “Oh no! Dia sepertinya berusaha keras menjaga sopan santun dan sikapnya. Aku tidak akan tahan, lelaki seperti itu biasanya akan banyak mengatur. No, no, no.. Bukan tipeku. Kelebihannya hanya tampan saja..”
Inka hanya tertawa, “Ok, aku akan bilang papa kalau sudah bertemu dan tidak berjalan lancar. Itu saja, bagaimana?”
Rhea, “Yap!”
Telepon itu berakhir.. Rhea tak sabar ingin tiba di apartemennya. Ia ingin tidur.. Hari ini satu-satunya jadwal libur setelah dua minggu di lapangan. Kasur jadi teman yang ia inginkan malam ini.
***
Barra kembali ke rumah sakit. Dokter asistennya yang bernama Kamal Irsyad langsung bersiul melihatnya.. “Keren.. Setelan lengkap! Kencan dok?” Barra hanya tertawa..
“Kenapa jam segini sudah kembali? Saya siap begadang malam ini!” Kamal tersenyum lebar. “Lanjutkan saja dok..” Barra kembali tertawa, “Ok, untuk kamu tahu, tidak berjalan lancar, dan rasanya Trauma Center lebih menyenangkan daripada bertemu lagi dengannya.”
“Uppss… Blind date?” Kamal terlihat ingin tahu dan penasaran. Barra menatap Kamal dan tersenyum. Kamal adalah adik kelasnya di sekolah kedokteran, dan menjadi dokter residen di Rumah Sakit Husada Nuswantara.
Ia sedang mengambil spesialis bedah trauma seperti dirinya. Hubungan mereka terbilang dekat meski ada jarak usia. Bagaimanapun menjadi seorang dokter sepesialis bedah trauma memang beda dengan dokter lainnya.
Bedah trauma sangat menantang dan membutuhkan keputusan cepat saat melakukan tindakan. Ini karena sifatnya yang mendesak, sehingga tidak ada waktu untuk proses yang terlalu lama. Keraguan sesaat bisa menyebabkan bencana bagi pasien yang membutuhkan operasi trauma. Itu sebabnya kerjasama cepat antar dokter mengenai kasus trauma ini sangat penting.
Mungkin itu yang menyebabkan hubungannya dengan Kamal terbilang dekat. Kamal memahaminya dan dengan cepat bisa membaca situasi.
Dalam beberapa kasus, bedah trauma bukanlah tindakan pertama dan terakhir yang dijalani pasien. Pertama, dokter bedah trauma akan mencoba melakukan resusitasi dan menstabilkan kondisi pasien. Setelah dilakukan pengobatan atau bedah trauma, pasien akan menjalani evaluasi lanjutan dan penanganan cedera agar dapat pulih sepenuhnya.
Di posisi ini membutuhkan kecepatan dalam mengidentifikasi cedera yang dapat membahayakan nyawa pasien. Lalu, segera memulai terapi yang sesuai untuk pasien. Terakhir, harus mengatur jenis terapi atau membantu memindahkan pasien ke fasilitas kesehatan lainnya.
Bahkan, berbeda dari bedah lainnya, bidang bedah trauma dapat menggunakan metode non-bedah untuk menangani cedera trauma.
Setiap harinya, Barra harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk menyelamatkan nyawa pasien yang memang seringkali mendesak kondisinya. Dan, ia menganggap, profesinya ini menjadi prioritas hidup. Ia ingin menyelamatkan pasien sebanyak-banyaknya. Jadi, setelah meluangkan waktu untuk bertemu putri dokter Malik, dan ternyata mendapatkan respon seperti yang ia alami, hanya membuatnya kesal. Tidak sepadan dengan pengorbanannya.
Barra mengenakan jas dokternya.. Lalu berjalan menuju ke ruang IGD, ia membaca chart pasien yang membutuhkan pengawasannya. “Dok, belum jawab.. Blind date?” Kamal mengejarnya penasaran.
“Ya.. Dan akhiri percakapan ini..” Barra tertawa, “Ada kejadian?”
Sebelum Kamal sempat menjawabnya, suster bernama Ira menghampiri mereka, “Dok, gawat darurat. Ada pasien sedang menuju ke sini.. Dan, kepolisian terlibat. Mereka meminta ini dirahasiakan..”
“Kenapa?” Barra dan Kamal bergerak cepat menuju pintu gawat darurat, Suster Ira ikut bergerak cepat mengikuti mereka, “Sepertinya pasien ini tokoh ternama.. Saya tidak tahu siapa..”
Suster Ira menambahkan, “Mereka minta kerahasiaan kasus ini karena khawatir media mengetahuinya. Dan kepolisian membutuhkan ruang gerak untuk menyelidiki sebelum masyarakat tahu.”
Barra hanya mengangguk..
Mereka berdiri di depan pintu gawat darurat, menanti ambulan tiba.. Suara sirine sudah terdengar mengaung dari kejauhan.. Barra penasaran, siapa pasien ini? Dan kenapa?