KEBOHONGAN TERBONGKAR

1387 Kata
Barra berbincang-bincang dengan Detektif Damar Adrian dan Galang Mahendra. Namun, betapa kagetnya saat melihat perempuan cantik itu memasuki ruangan rapat. Putri dokter Malik ada di sini? Inka Garini.. Kenapa bisa? Tapi penampilannya berbeda. Gayanya yang kasual membuatnya terlihat lebih menarik di matanya. Tidak ada make up di wajahnya, meski terlihat polos tapi cantik. Gaya natural sepertinya menjadi daya tarik perempuan ini. Rambutnya acak-acakan, dan matanya, kenapa terlihat seperti bangun tidur? Barra berusaha menahan tawa, betapa lucunya melihat perempuan itu berjalan ke arah mereka dengan wajah basah bercucuran air. Kenapa tidak dia keringkan? Perempuan yang aneh.. Antara kaget sekaget-kagetnya, ada gugup dan juga rasa lucu, Barra berusaha mengumpulkan semua ketenangannya. Ia menarik nafas, mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. Perempuan itu membalasnya, dan menyebutkan identitasnya, Detektif Kriminal Tim 1 Rhea Adhisti. Detektif? Inka Garini bukannya pengacara? Kenapa namanya Rhea Adhisti? Detektif di hadapannya, ini perempuan yang bersamanya semalam bukan? Apa Inka Garini memiliki saudara kembar? Apa yang terjadi? Berjuta tanya menghampiri benaknya dan mengganggu fokus dirinya. Tidak hanya itu, Barra merasakan tangannya basah setelah bersalaman dengan Rhe.. Ia ingin tertawa, tapi tidak mungkin dengan banyak orang di hadapannya ini. Ia berusaha mengembalikan fokus diri dan berhasil. Lalu kembali duduk di kursinya meski dengan rasa canggung. Detektif Galang kembali mengajukan pertanyaan, Barra terus menjawabnya, tapi sudut matanya diam-diam melirik perempuan itu terus menerus. Rhea? Bukan Inka? Apa yang sesungguhnya terjadi? Sepertinya ada yang salah.. Barra langsung mempertimbangkan kemungkinan kalau sepertinya dia menjadi korban kebohongan.. Ia harus bertanya pada perempuan ini. Rhea harus menjelaskan semuanya! Kalau ternyata, ada kebohongan di balik ini semua, Barra tidak akan menerimanya. Perempuan ini sudah bersikap tidak sopan padanya semalam. Tidak cukup sampai di situ, kalau ternyata juga berbohong, artinya ini perempuan tidak benar. Dan ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya! Barra tidak akan terima.. *** Sementara itu, Rhe kehilangan fokusnya.. Mendadak lupa apa saja yang harus ia tanyakan. Benaknya hanya berpikir, apa yang akan terjadi padanya? Pada Inka? Ia hanya berharap, kalau Barra bukan lelaki pendendam yang akan melaporkan hal ini pada dokter Malik.. Rhe merasa telapak tangannya basah oleh air dan juga keringat. Ia tidak bisa berkonsentrasi. Galang terlihat mencatat beberapa keterangan dari dokter tampan itu. Rhe mendengar Galang bertanya kronologis kejadian dan memintanya sebagai saksi ahli. Barra mengiyakan. Galang menoleh ke arahnya, “Rhe ada yang mau kamu tanyakan?” Dengan terpaksa Rhe menenangkan dirinya dan menarik nafas panjang. Ia gugup.. “Berapa lama hasil tes rambut bisa keluar dok?” “Dalam hari ini bisa keluar,” Barra menjawab dengan tenang. “Dari sudut pandang medis, apa Clara bisa kembali sadar? Rhe kembali bertanya. “Kita sudah melakukan upaya terbaik. Kondisinya saat ini stabil, hanya saja kita harus tunggu.. Semoga pasien bisa segera sadar,” Barra tidak bisa memastikan. “Apa sekarang kita bisa menemui pasien dan walinya?” Rhe kembali bertanya. “Silahkan, nanti saya dan Suster Ira akan mendampingi,” Barra menatap suster yang berdiri di belakangnya. Suster itu hanya mengangguk. Rhe berdiri, Damar dan Galang pun ikut bangkit, “Sepertinya cukup, kita ketemu orangtua korban sekarang. Bagaimana?” Galang mengangguk. Barra ikut berdiri dan mempersilahkan mereka berjalan duluan keluar ruang rapat. Tiba-tiba Galang berhenti melangkah, ia berbalik, “Dok, saya mau minta nomor telepon.” Barra menyebutkan nomor selularnya, Galang pun mencatatnya di dalam notes-nya. “Terima kasih.” Rhe melihat kalau Barra hendak membalas ucapan Galang, tapi sedikit ragu.. Akhirnya ia hanya membalas, “Sama-sama..” Mereka melanjutkan langkahnya ke kamar VIP, tempat Clara berada. Dokter Barra dengan simpatik menyapa ibu dari Clara yang terlihat bersedih. “Ibu, maaf kami mengganggu, tapi dari kepolisian ingin bicara. Ini penting untuk bisa membantu penyelidikan,” Barra membuka percakapan. “Baiklah..” dengan lemah, ibu dari Clara membalasnya. Rhea mulai bicara, “Ibu, kami turut berduka atas kejadian ini. Saya paham, ini mungkin waktu yang kurang tepat untuk membicarakannya. Tapi, semakin lama menunda, bisa menghilangkan bukti-bukti yang ada. Kita harus bergerak cepat.” Barra sedikit kaget dengan cara bicara Rhea yang terlihat sopan. Berbeda dengan caranya berbicara padanya saat kencan kemarin. Ibu dari Clara yang bernama Elvina itu hanya mengangguk dan mempersilahkan detektif duduk di sofa ruangan VIP itu. Rhea memperkenalkan diri dan menunjukkan lencananya, “Saya Rhea Adhisti dan ini rekan saya Galang Mahendra, detektif divisi kriminal tim 1 kepolisian Jakarta Pusat. Lalu di sebelahnya Damar Adrian, detektif divisi obat-obatan terlarng dan psikotropika.” Ia duduk di depan Elvina dan memulai wawancaranya. Rhea, “Kami ingin bertanya beberapa hal, apa ibu mengetahui putri ibu mengonsumsi obat-obatan?” Elvina, “Tidak. Tapi yang saya tahu, putri saya akhir-akhir ini menderita sulit tidur dan berkonsentrasi. Sepertinya stress terkait peluncuran film terbarunya.” Rhea, “Apa yang Clara ceritakan terkait masalah itu?” Elvina, “Saya hanya tahu, Clara stress karena ia khawatir film terbarunya tidak menjadi box office. Itu saja.. Tapi, saya tidak tahu kalau Clara ternyata sampai mengonsumsi obat-obatan.” Rhea, “Selain persoalan itu, apa ada persoalan lain yang mungkin Clara alami akhir-akhir ini?” Elvina, “Sejauh ini tidak. Saya.. Saya tidak tahu..” Rhea, “Apa ibu mengenal Daniel Ravindra, Keenan Latif atau Nehan Prambudi?” Elvina, “Daniel saya pernah ketemu, yang saya dengar dari Clara, itu rekan bisnisnya. Daniel pengusaha perhiasan bukan? Rhea mengangguk. Elvina, “Keenan dan Nehan, saya-saya juga mengenalnya.” Ia menjawab dengan pelan dan terdengar ragu. Rhea, “Ibu, satu hal lagi, kami perlu tahu, apa betul Clara sudah bertunangan?” Elvina, “Iya..” Rhea, “Lalu kenapa tunangannya tidak ada di sini? Apa dia tidak peduli kondisi Clara?” Elvina, “Saya sudah mencoba menghubunginya, tapi, ponselnya mati. Bahkan Gavin dan Ikram juga mencoba menghubunginya, tapi tidak aktif. Ikram bahkan sudah mendatangi rumahnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Saya bingung… Kemana?” Rhea, “Yang kami dengar, Keenan Latif adalah tunangan Clara, apa betul?” Elvina menatapnya heran, “Bukan.. Itu memang ada dalam berita, tapi bukan. Tunangan Clara Nehan Prambudi. Tapi, tolong ini rahasia.” Rhea, Galang dan Damar saling bertatapan kaget! Apa yang terjadi? Inka tidak mungkin berbohong padanya. Rhea bingung.. Ini misteri yang menggelitik. Hanya Clara yang tahu jawabannya, dan kondisinya tidak memungkinkan menjawab semua tanya ini… *** Mereka keluar dari ruangan VIP itu. Dokter Barra dan Suster Ira mengikuti di belakangnya. Galang menggelengkan kepalanya, “Apa yang terjadi? Rhe apa informanmu bisa dipercaya? Katanya Keenan, tapi kenapa ibunya sendiri bilang Nehan. Ini aneh..” “Aku harus tanya informanku.. Tapi, dia tidak mungkin berbohong. Dia.. Dia sahabatku..” Rhe bicara pelan, ia juga bingung. “Inka yang jadi informanmu?” Galang bertanya padanya. Rhe hanya mengangguk. Galang mengenal Inka karena mereka beberapa kali bertemu. Tidak hanya sebagai teman tapi juga dalam kapasitas pekerjaannya sebagai pengacara. Tiba-tiba, Rhe tersadar, ada Barra di belakang mereka. Ia hanya menggigit bibirnya, apa Barra menyadari apa yang terjadi? “Iya ini membingungkan, kita datangi keduanya. Baik Nehan ataupun Keenan, mereka jadi tersangka sementara. Aku sudah lihat, proporsi tubuh keduanya mirip. Artinya, bisa jadi lelaki yang tertangkap cctv,” Damar ikut berbicara. “Kita langsung saja ke alamat Nehan dan Keenan sekarang, bagaimana? Kita harus bergerak cepat sebelum media mengetahui ini semua,” Galang menatap Damar dan Rhea meminta persetujuan. Ponsel Rhea berbunyi, ada pesan masuk. Rhe mengeceknya, ternyata pesan dari kantor, “Ok kita berangkat sekarang, aku tadi meminta orang kantor cari alamat Nehan Prambudi, Keenan Latif dan juga Daniel Ravindra. Ini sudah ada alamatnya. Berangkat sekarang? Ini sudah jam 7 pagi, rasanya tidak mengganggu kalau kita bertamu bukan?” Damar mengangguk. Galang dengan cueknya merangkul Rhe, “Let’s go!” “Dok, terima kasih bantuannya. Nanti kita hubungi lagi kalau butuh informasi tambahan,” Rhea mencoba biasa saja menatap Barra. “Iya..” Barra menjawabnya dengan dingin. Rhe berbalik dan melangkah pergi. *** Barra terdiam menatap perempuan itu berjalan menjauh... Ia tidak suka! Rhea Adhisti membuatnya marah. Pertama, dia sudah membuatnya kesal karena ketidaksopanan dan kekasarannya saat kencan buta itu. Kedua, dia berani membohonginya. Hal ini ia sadari setelah tadi mendengar Detektif Galang menyebut soal Inka. Informan sekaligus sahabatnya.. Ini mengesalkan! Tidak pernah seumur hidupnya membayangkan akan ada yang membohonginya seperti ini. Terlebih orang itu mengerti hukum, seorang detektif dan pengacara! Mereka berani sekali membohonginya.. Ketiga, perempuan ini dengan cueknya membiarkan rekan detektifnya merangkulnya begitu saja. Kenapa memperbolehkan lelaki menyentuhnya begitu saja? Sama seperti dengan mudahnya membohonginya. AHHH.. Barra tidak pernah merasa semarah ini.. Rhea Adhisti, nama yang tidak akan ia lupakan! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN