Rhea merasa lega bisa keluar dari rumah sakit dan menjauh dari sosok Barra. Tapi, ia sedikit tegang, apa yang akan Barra lakukan? Ia ingin menelepon Inka, tapi ada Damar dan Galang bersamanya.
Mereka menuju rumah Nehan Prambudi. Seperti yang diungkapkan Elvina, tidak ada respon apapun saat mereka memencet bel di gerbang rumah besar itu. Bahkan, ponsel Nehan pun tidak aktif. Sampai tiba-tiba ada perempuan yang melintas..
Perempuan itu memperhatikan mereka. Rhea berinisiatif menghampirinya, “Ibu apa tahu penghuni rumah ini kemana?” Ibu itu menggeleng, “Saya tidak tahu, tapi kemarin juga ada yang menunggunya.”
“Ibu tinggal di sekitar sini?” Rhe kembali bertanya. “Iya, rumah saya dua rumah setelah ini,” jawabnya. “Kemarin ada yang mencarinya?” Rhe berpikir mungkin itu Gavin dan Ikram, sesuai cerita Elvina.
“Iya, seorang perempuan mencarinya..” Ibu itu menjawab pertanyaan Rhe. “Pe-rem-puan?” Rhe sedikit kaget, “Ibu boleh bantu jelaskan ciri-cirinya?”
“Saya tidak terlalu jelas, tapi mengenakan rok terusan warna hitam dengan sepatu hak tinggi. Rambutnya panjang sepunggung. Ia mengenakan kacamata hitam dan masker,” jelasnya. “Ibu, kalau melihat lagi perempuan itu, apa boleh telepon saya? Saya dari kepolisian..” Rhe menunjukkan lencananya dan menyerahkan kartu namanya, “Ini kartu nama saya.”
Ibu itu mengangguk.. Rhe meminta nama ibu itu, dan mencatatnya dalam notes-nya, Dina Elnara.
“Terima kasih bu,” Rhe kembali ke arah Damar dan Galang yang menunggunya. “Ibu itu bilang, kemarin ada juga yang menunggunya di gerbang seperti kita. Aku pikir tadinya Gavin dan Ikram. Tapi, ternyata perempuan. Menurut ibu itu, ia mengenakan rok terusan warna hitam dengan sepatu hak tinggi, rambutnya panjang sepunggung, mengenakan kacamata hitam dan masker.”
“Hmm.. Siapa?” Galang penasaran. “Dan, kemana Nehan?” Damar berpikir, “Mau tidak mau kita harus cek penerbangan. Siapa tahu dia pergi ke luar negeri.” Damar mengeluarkan ponselnya dan menelepon kantor agar dicarikan data soal Nehan Prambudi apakah bepergian atau tidak.
“Kita ke lokasi berikutnya, Keenan Latif. Bagaimana?” Damar mengusulkan. Rhe dan Galang mengangguk. Mereka bergerak menuju apartemen Keenan. Baik Keenan dan Damian hidup terpisah dari rumah keluarganya.
Rhe cukup tahu kalau Keluarga Latif termasuk keluarga ternama di bidang hukum, karena Inka bekerja di Firma Hukum Latif & Partner. Itu menjadi awal mula perkenalannya dengan Damian hingga mereka menjalin hubungan. Sayangnya, baik Keenan dan Damian tidak ada yang tertarik bekerja di bidang hukum. Mereka berdua mengikuti jejak ibunya yang juga tokoh ternama di dunia hiburan, yaitu aktris senior Damila Fadhila.
Tak berapa lama, mereka tiba di apartemen Keenan. Setelah memencet bel sebanyak 2 kali, Keenan keluar dari apartemennya. Matanya terlihat lesu, seperti baru bangun tidur.
“Keenan Latif?” Galang bertanya dan menunjukkan lencananya, “Kami dari kepolisian, ada yang harus kami tanyakan. Bisa bicara?” Keenan terlihat kaget, ia melihat kiri kanan lorong apartemen yang terlihat kosong. Lalu mempersilahkan mereka masuk.
“Ada apa ini?” Keenan langsung bertanya. “Bisa jelaskan, apa hubunganmu dengan Clara Jovanka?” Damar tidak lagi basa-basi.
Rhe hanya diam menunggu jawaban.
“Saya keberatan menjawab.. Ada apa ini?” Keenan terlihat tidak suka. Rhe mulai merasa tidak enak, kalau Keenan keberatan, artinya bisa melibatkan pengacara untuk mewakilinya. Artinya, urusan dengan pengacara akan mempersulit mereka mendapatkan informasi.
“Ada sesuatu terjadi pada Clara, apa kamu tahu?” Damar bicara tegas. “Kenapa bertanya pada saya?” Keenan menjawabnya singkat.
“Saya keberatan melanjutkan percakapan ini. Selanjutnya bisa berhubungan dengan pengacara saya.. Jangan datang lagi ke sini!” Keenan tidak menutupi rasa tidak sukanya.
Mereka pun beranjak dari apartemen Keenan dan memutuskan pergi ke tempat Daniel.
“Ini sudah pukul 8 pagi, mungkin kita ke kantornya saja? Bagaimana?” Galang memberi usul. Rhe dan Damar setuju. Mereka menuju kantor perusahaan perhiasan terkenal itu.
Saat satpam mencegatnya, mereka menunjukkan lencana dan akhirnya memasuki lantai 17 tempat ruangan Daniel berada. Sekretarisnya menghampiri mereka.
“Bapak sedang dalam perjalanan. Harap menunggu di ruang meeting,” sekretaris itu mengantarkan mereka ke ruang meeting. Rhe, Damar dan Galang mengikutinya.
Rhe memperhatikan sekretaris itu mengenakan sepatu dari brand ternama.. Ia juga melihat kalau perempuan itu terlihat menantang dari sisi penampilan. Rok mini yang ketat, sepatu high heel tinggi dan belahan d**a yang terlihat jelas. Lekuk tubuhnya begitu terekspos tapi sepertinya tidak jadi masalah untuk perempuan itu.
Satu hal yang agak mencolok adalah cincin dengan mata besar di jari tangannya. Rhe tidak tahu apa itu berlian atau bukan, tapi kalau melihat kilauan dan gaya perempuan itu, rasanya bukan tidak mungkin ia mengenakan berlian dengan karat besar. Apalagi ini perusahaan perhiasan, tentu karyawannya harus bisa menampilkan produk perusahaan ini sebagai bagian dari gaya berpakaian.
Hmm.. Hanya saja, pertanyaan besar memenuhi benaknya. Bisakah gaji sekretaris membiayai gaya hidup seperti itu?
Galang bersiul saat perempuan itu keluar dari ruangan, “Perempuan seperti itu ada di sisi Daniel setiap harinya? Mukzijat kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa.” Rhe tersenyum, “Aku sependapat..”
Matanya melihat sekeliling ruang meeting. Ini ruangan yang berkelas. Semua furniture kualitas yang terbaik. Rhe bisa merasakan kulit asli sebagai penutup kursi yang ia duduki. Lalu ada beberapa kotak kaca yang menampilkan beberapa koleksi perhiasan. Entah asli ataukah dummy?
Nama perusahaannya terpampang jelas di ruangan itu menggunakan frame berwarna emas, RV JEWELLERY.
Selang 15 menit kemudian, sosok lelaki yang tampan dan terlihat bersih dengan penampilan perlente memasuki ruangan. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dari atas ke bawah, dengan vest yang berwarna abu-abu dan kemeja berwarna abu-abu. Dasinya sedikit mencolok dengan nuansa warna merah dan garis biru abu. Rambutnya klimis tersisir rapi ke belakang.
Jarinya tengahnya mengenakan cincin dengan batu besar berwarna hijau emerald. Ia memasuki ruangan dengan senyum ramah yang menunjukkan ketenangan. Seperti tidak ada hal yang terjadi.
“Selamat datang di kantor RV JEWELLERY. Saya Daniel Rivandra, bagaimana detektif, ada yang bisa saya bantu?” Daniel dengan ramah mempersilahkan mereka duduk, dan ia pun duduk di hadapan mereka.
“Bapak Daniel, saya Damar, detektif dari divisi obat-obatan terlarng, dan ini rekan saya Rhea dan Galang dari divisi kriminal Saya mau bertanya, apa bapak mengenal Clara Jovanka?” Damar tidak lagi berbasa-basi.
“Tentu saja saya kenal. Clara rekan bisnis saya. Saya akan meluncurkan koleksi terbaru dengan muse Clara Jovanka,” Daniel menjelaskan. “Koleksi terbaru saya bernama Jova Series.. Salah satunya yang saya pakai ini..” Daniel menunjukkan cincin di jarinya. “Saya akan meluncurkan ini di bulan depan.”
“Tapi sudah soal koleksi saya.. Kenapa dengan Clara?” Daniel bertanya balik.
“Clara mengalami insiden… Kapan terakhir anda bertemu Clara?” Damar kembali bertanya. “Saya bertemu mungkin dua hari lalu. Ada apa dengan Clara?” Daniel terlihat bingung. “Clara sekarang tidak sadarkan diri, ada yang terjadi. Tapi ini masih menjadi rahasia selama proses penyelidikan,” Damar menjelaskan.
“A-apa???” Daniel berdiri dari kursinya. “Dia tidak sadarkan diri? Lalu, bagaimana dengan peluncuran koleksi ini?”
Rhe sedikit kaget, lelaki ini tidak memperdulikan kondisi Clara? Dan hanya memikirkan bisnisnya. Lelaki kurangajar!
“Apa anda tahu apartemen Clara?” Damar melanjutkan pertanyaannya. “Tentu saja, saya beberapa kali ke sana,” Daniel mengangguk dengan ekspresi yang masih shock. “Menurut Anda, Clara orang yang seperti apa?” Damar terus bertanya.
“Di-dia baik, aktris berbakat, profesional dan memiliki banyak kelebihan. Selain itu, citra perhiasan saya adalah produk yang bersinar dan classic long last.. Clara seperti itu di mata saya..” Daniel menjelaskan.
“Tapi kenapa dengan Clara?” Daniel kembali bertanya. “Nanti kemungkinan akan ada pernyataan resmi dari agency-nya,” Galang menjawabnya.
“Maafkan saya, tapi saya harus menelepon Gavin. Detektif, apa masih ada yang mau ditanyakan?” Daniel bertanya dengan terburu-buru.
“Kemarin malam, sekitar pukul 7 malam hingga pukul 10 malam, anda dimana?” Damar kembali bertanya. “Saya di kantor, meeting, bisa tanya sekretaris saya..” Daniel menjawabnya. “Detektif maafkan saya, tapi ini urgent, saya harus membicarakan ini dengan Gavin.”
Rhe, Damar dan Galang pun berpamitan dan meminta kartu nama Daniel.
***
Barra memeriksa kondisi Clara malam itu. Belum ada perubahan, tapi secara status semuanya normal. Ia hanya mengharapkan keajaiban agar Clara cepat sadar.
“Dokter, saya teringat sesuatu,” Elvina mendekatinya. “Ada yang mau saya sampaikan pada detektif itu, yang perempuan. Dokter apa ada nomor teleponnya?” Barra menggeleng, “Tidak ada, tapi saya bisa tanyakan. Sebentar.”
Ia menelepon Galang.
Barra, “Malam detektif.”
Galang, “Malam dok, ada yang bisa saya bantu?”
Barra, “Iya, ini Ibu Elvina bersama saya dan meminta nomor telepon Detektif Rhe, katanya ada yang ingin ia sampaikan.”
Galang, “Saya kirimkan lewat pesan. Semoga ada petunjuk penting. Rhe masih bersama saya ini.”
Barra, “Baik, saya tunggu.”
Ia menutup teleponnya. Barra tiba-tiba kembali merasa marah.. Kenapa perempuan itu, selarut ini, bersama dengan seorang lelaki? Ia melihat jam, pukul 11 lewat 30 menit malam. Ia hanya geleng-geleng kepala.
Tak lama ponselnya berbunyi, ada pesan dari Galang. Isinya nomor selular Detektif Rhe. Tanpa banyak berpikir, Barra mencatat nomor Rhe dalam selembar kertas dan menyerahkannya pada Elvina.
Ia pun keluar dari ruangan Clara dengan rasa dongkol, tidak suka.. Setiap mendengar nama perempuan itu, rasa marah itu terus kembali.
***