“Rhe.. Please back up!” Inka terlihat memohon padanya. Tatapan matanya begitu memelas. Rhea hanya bisa diam dan berpikir.. Dia sudah bilang “TIDAK” berkali-kali, tapi Inka terus saja memohon. “Papa bisa marah besar kalau aku tidak hadir dalam blind date ini,” Inka terus bicara, “Satu jam Rhe..”
“Ahh.. Aku tidak suka blind date.. Lalu lelaki ini siapa?” Rhea merasa kesal sendiri, tapi ia tidak tega melihat sahabatnya itu. “Dia dokter, itu yang aku tahu.. Nanti jelasnya kamu tanya saja sendiri..” Inka menjawab pertanyaannya.
“Please, papa ketemu lelaki ini di acara konferensi dokter. Katanya orangnya baik dan cerdas. Aku sudah menolak blind date ini, tapi papa terlihat marah. Sementara itu, aku tidak mau membuat papa marah. Itu hanya akan menyulitkanku untuk membuatnya menerima Damian,” Inka menjelaskan alasannya. Sudah tiga bulan ini Inka dekat dengan Damian Latif, seorang aktor terkenal.
“Dan kalau aku menurut, blind date ini hanya akan membuat Damian marah.. Rhe, please please please..” Inka terus saja memohon-mohon.
Rhe yang mengenal sosok papanya Inka cukup tahu kalau papanya itu tidak akan setuju anaknya berpacaran dengan seorang aktor. Inka Garini merupakan anak dari dokter ternama di tanah air, bahkan memiliki jabatan penting di Kementerian Kesehatan. Ayah Inka adalah dokter spesialis jantung ternama, Malik Ghaffar.
Sejak Inka memilih profesi pengacara dan tidak menjadi dokter, ayahnya cukup kecewa. Apalagi Inka anak satu-satunya. Jadi, sejak itu, Inka selalu berusaha menjaga perasaan ayahnya. Dan, membiarkan ayahnya tahu ia berpacaran dengan seorang aktor bukanlah langkah tepat saat ini.
Rhe menarik nafas panjang.. “Ah, ok.. Tapi jangan mengaturku, aku akan menjadi diriku sendiri. Bedanya hanya soal nama..” Inka memeluknya dan tersenyum, “Thank you Rhe.. Be yourself! Bahkan, buat lelaki ini tidak menyukaimu..”
“Aku pikir, itu hal yang mudah.. Banyak lelaki melarikan diri setelah tahu sifatku dan profesiku.. “ Rhe tertawa keras.
Inka hanya tersenyum lebar. Rhea adalah teman SMA-nya.. Dari dulu, banyak lelaki tertarik padanya. Hanya saja, Rhea memiliki sifat yang cuek dan kurang peka urusan perasaan, sehingga tidak pernah menyadari hal itu.
Rhea bercita-cita menjadi seorang dokter. Bahkan saat lulus SMA, ia mengambil kuliah kedokteran spesialisasi psikiater. Namun, sebelum selesai kuliahnya, ada kejadian yang mengambil nyawa ayahnya yang seorang jaksa. Rhea bertekad menyelidiki kasus itu, sehingga akhirnya ia mengambil cuti kuliah kedokterannya dan akhirnya alih profesi mengambil jurusan kriminologi.
Inka mengingat hal itu dan memandang sahabatnya dengan kagum. Rhe memang memiliki mental yang kuat. Tidak sepertinya yang kadang mudah menyerah. Ia tidak pernah membayangkan, seorang seperti Rhe terjun dalam dunia kriminal. Meski Inka cukup tahu kalau Rhea memang memiliki cukup keberanian untuk itu.
Satu hal yang istimewa dari Rhe adalah soal keberaniannya.. Hal yang luar biasa untuk seorang perempuan. Rhea seakan tidak mengenal rasa takut.
“Kenapa kamu melamun?” Rhea menyadarkannya dari lamunan. “Pilih baju untukku, aku tidak pernah kencan buta begini.. Apalagi ini ketemu makan di hotel ternama, aku ada tanggung jawab untuk tetap membuat citramu baik.”
Inka tertawa lalu melangkah menuju lemari baju Rhea, “Aku melamun soal kamu..” Rhea hanya mengerutkan keningnya..
“Ini..Pakai baju ini.. Ini satu-satunya yang sesuai seleraku di lemarimu ini. Karena kamu jadi aku, penampilanmu harus seperti gayaku..” Inka menunjukkan satu baju terusan selutut berwarna biru muda yang lembut, dengan tangan pendek. Rhea mengerutkan keningnya, “Ini memang bajumu bukan?”
Inka tertawa, “Iya ini baju yang tertinggal di apartemenmu waktu aku menginap minggu lalu. Sudah kenakan saja..” Rhe menarik nafas panjang, lalu mengenakan baju itu. Ia memilih sepatu dengan hak 5 cm. Dan melengkapinya dengan tas tangan kecil berwarna putih. “Sini, kita make up,” Inka memaksanya duduk di kursi. Rhe hanya pasrah..
“Kamu cantik Rhe, serius.. Pasti banyak laki-laki melirik..” Inka tersenyum mengagumi sahabatnya. Rhea hanya mengerucutkan bibirnya, “Aku tidak tertarik.. Tidak sampai kasus ayahku menemui kejelasan.”
Inka hanya geleng-geleng kepala, “Serius kamu tidak akan mau berpacaran dengan siapapun? Umurmu sudah 32 tahun sekarang.” Rhe mengangguk, “Entahlah..”
“Kita pergi sekarang, antar aku ke lokasi,” Rhe berdiri dan melangkah keluar apartemennya. Inka hanya tertawa dan memeluknya.
***
Barra Abrisam duduk menanti di meja restoran itu. Hotel ini sengaja ia pilih karena tidak jauh dari lokasi rumah sakit. Jadi kalau tiba-tiba ada yang darurat, ia bisa segera kembali ke rumah sakit dengan cepat. Sebagai Kepala Trauma Center di rumah sakit, selalu saja ada kasus-kasus khusus setiap harinya yang membutuhkan penanganan segera.
Sebetulnya, Barra tidak menyukai kencan buta. Hanya saja, karena ini anak dari dokter Malik, Barra merasa tidak enak untuk menolaknya. Dokter Malik merupakan dokter terpandang di dunianya. Ia berpikir untuk mengiyakan, tapi bertekad untuk menunjukkan sisi negatif dirinya.
Sejujurnya, ia tidak ingin memiliki pasangan yang dekat dengan dunianya, apalagi anak dari Dokter Malik. Kalau iya, itu bisa jadi membuat rekan-rekan seprofesinya membicarakannya. Hal yang ingin ia hindari.
Barra menunggu kedatangan perempuan bernama Inka Garini itu. Dokter Malik bercerita kalau anaknya adalah seorang pengacara. Ia menunggu kedatangannya sambil meminum teh hangat di hadapannya.
“Hai.. Dengan Barra?” Seorang perempuan berdiri di hadapannya. Matanya terkesima, perempuan ini cantik sekali.. Ah, ia menyadarkan dirinya, lalu berdiri menyalaminya, “Barra Abrisam..”
Rhea tersenyum dan balas menyalaminya, “Inka Garini..”