SWY- 8

1545 Kata
.Rian. Menikah akan menyempurnakan agamaku. Menikah denganmu akan menyempurnakan takdirku. . . Saya mau menikahi kamu, saya mau serius sama kamu, Yulia Romeesa. Banyak hal serius dalam hidupnya yang sudah Rian jalani, mengambil keputusan selalu berdasarkan pemikiran matang dan tak tergesa-gesa. Tadi itu saat akhirnya Rian bicara pada Lia tentang tujuannya adalah salah satu keputusan paling serius yang mendebarkan namun tak di sesali. Tanggapan Lia sudah di duganya, wanita itu kehabisan kata-kata dan pergi begitu saja. Perempuan mana yang tak akan terkejut jika belum mengenal lama, belum lagi setiap hari di dekati secara pasti, lalu tiba-tiba diajak menikah? Wajar jika Lia pun takut namun Rian tak akan menyerah. Dia akan buktikan jika dirinya sangat serius dan ucapan yang selalu keluar dari mulutnya akan dia pertanggung jawab kan. Ucapan semalam seperti sebuah panah yang telah melesat membidik titik sasaran, panah yang sudah di lepaskan tak akan bisa mundur kembali pada busurnya. Rian mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil, dia baru saja mandi dan rumah dalam keadaan sepi seperti biasa. Ketika masuk tadi Rian melihat mobil-mobil yang di pakai orang tuanya sudah berjajar rapi di carport. Tapi, Rian tak menemukan mereka yang pasti sudah beristirahat. Berjalan keluar kamar setelah selesai berpakaian nyaman untuk tidur, Rian hanya celana training joger abu-abu dan T-shirt putih polos. Dia duduk di kursi santai tepat di depan kamar menghadap kolam renang langsung, di sisinya ada kolam ikan dengan pancuran air yang jernih. Suara aliran air yang jatuh membuat pikirannya tenang dan damai. Dia bersandar dan memejamkan mata, hingga senyum manis dari wajah jelita Lia terbayang jelas membuatnya merasakan perasaan menyenangkan di hatinya. Step mendekatkan diri pada Lia sudah sangat sempurna, Rian bahkan sudah kenalan dengan ibunya. Wanita paruh baya itu sangat lembut, hangat dan keibuan, Rian punya firasat baik jika ibunya menyukai kehadirannya yang mendekati sang putri. Bukan Rian mau manfaatkan situasi menguntungkan ini, Rian merasa jika jalannya akan mudah untuk dapat restu hati dari ibunya Lia. Orang tua satu-satunya Lia yang masih ada. “Den, pesanannya seperti biasa” Salah satu asisten rumah tangga mengantarkan pesanan Rian. Almond Milk hangat rendah gula. Rian membuka mata dan menegakkan punggungnya, “Terima kasih Mbak Aya.” “Ada lagi, den?” Rian menggeleng, “Nggak mbak.” Lalu Mbak Aya pamit dan Rian menikmati minuman tersebut. Matanya perlahan mulai berat, Rian sudah menguap beberapa kali barulah dia masuk kembali ke kamar untuk istirahatkan tubuhnya setelah beraktivitas seharian. Dia berbaring, menarik selimut. Drrrt... Drrttt.. Rian menoleh pada ponsel yang berada diatas nakas. Tangannya terulur mengambil ponselnya. Rian mengerutkan kening membaca nama pengirim Chat. Zeline Karina : Hai Rian, apa kabar? Zeline adalah mantan pacar Rian yang setahunya dua tahun belakangan ini menetap di Los Angeles, Amerika, bergabung dengan agency model terbaik di Hollywood. Rian memang masih menyimpan kontak mantan pacarnya, komunikasi mereka baik-baik saja meski sudah lama tak saling mengirim pesan. I’m fine, Hai Zeze. Kamu apa kabar? Rian membalasnya. Zeline Karina : I’m good. Bisa kita bertemu? aku di Indonesia dan I miss you. Balasan Zeline membuat Rian tak terkejut, wanita itu sejak dulu selalu bicara apa adanya. Rian akan membalas saat Chat lain masuk dengan nama berbeda yang mampu membuat senyum Rian terbit. Yulia Romeesa : Assalamualaikum, Ka Rian. Bisa bertemu besok jika Ka Rian ada waktu, ada yang ingin saya bicarakan. Rian tak menunggu lama untuk membalas pesan dari Lia. Waalaikumsallam Lia.  Bisa, kamu mau kita bertemu di mana? Atau saya ke tempat kamu? Rian menantikan balasan dari Lia. Yulia Romeesa : Kita bertemu di luar pas makan siang. Tempatnya saya ikuti Ka Rian saja. Mendapat jawaban seperti itu dari Lia, malam itu juga Rian tak jadi tidur dan mencari tempat yang terbaik untuk mengatur tempat pertemuan dengan Lia besok. Rian berharap bahwa Lia membawa jawaban baik untuknya yang pasti ada hubungan dengan niatan sudah Rian sampaikan siang tadi. Terlalu senangnya, Rian sampai mengabaikan pesan dari mantan pacarnya, Zeline. ***  “Ini nggak terlalu berlebihan, ka?” Lia menatap setiap sudut tempat yang Rian pilih. Start Resto, terbilang resto bintang lima. Tempat yang mewah dan Rian malam langsung reservasi. “Tempatnya lebih privasi untuk bicara.” Jawaban Rian sangat tak meyakinkan. Lia menghela napas, dan akhirnya menerima. “Sebenarnya di gerai kopi biasa sudah cukup.” “Disana nggak ada menu makan siang yang wajar.” “Wajar?” Lia mengangkat kepala dari menu yang sedang di lihatnya, satu porsi steak di menu bahkan tertera harga 25$ kalau di rupiahkan sampai tiga ratus lima puluh ribu hanya untuk makan siang. Rian yakin ini yang membuat Lia tak setuju dengan kata ‘wajar’ versi Rian. Lia menutup buku menu. “kamu sudah pilih mau menu apa?” Wanita berhijab lilac dengan motif abstrak itu menggeleng jujur. “Ka Rian saja yang pesan.” Rian seharusnya tak pilih tempat berlebihan ini untuk bicara dengannya, Lia wanita sederhana yang tak menuntut tempatnya harus mewah. “Sorry kalau tempatnya nggak buat kamu nyaman.” Lia tersenyum kecil, “Nggak apa-apa, saya nyaman aja. Tempatnya bagus, cocok untuk fancy lunch, hanya agak kurang pas jika tujuan untuk bicara yang saya maksud ajak Ka Rian bertemu siang ini.” “Kalau kamu mau, kita bisa cari resto yang menurutmu sesuai.” Lia menggeleng cepat, “waktu makan siang Ka Rian sudah akan berakhir.” “Nggak masalah buat saya.” Lia tetap menolak, dan Rian akhirnya memesankan menu untuk mereka. Sembari menunggu makan siang di sajikan Lia terlihat sudah ingin mengatakan tujuannya. “Kamu mau bicara sekarang?” tanya Rian. Tatapan matanya menatap wajah cantik Lia. Sementara seperti biasa, Lia lebih menjaga pandangannya. “Ini menyangkut ucapan Ka Rian kemarin, jujur saja itu menyita pikiran saya.” Satu hal lagi tentang karakter Lia yang Rian temukan dan pahami, wanita itu berkata apa adanya dan jujur. “Lia, kalau kamu beranggapan saya hanya mempermainkan kamu, buang anggapan kamu jauh-jauh. Menikah, komitmen serius dan saya nggak mau mempermainkannya.” Rian coba meyakinkan Lia. “Baiklah, anggap saya percaya.” “Lia...” “Lalu katakan atas dasar apa Ka Rian pilih saya sebagai yang dianggap tepat untuk jadi istri kan Rian?” tanyanya dengan tegas. Pertanyaan yang sulit bukan karena Rian tak punya jawaban, namun sulit karena ini seperti menempatkan Rian pada sebuah labirin. Jika jawaban Rian tepat maka Lia akan memberinya kesempatan untuk tanggung jawab dengan ucapannya namun jika sebaliknya, risikonya Rian akan makin sulit meyakinkan Lia untuk menikah dengannya. “Jika ini hanya perkara ketertarikan fisik dan rasa penasaran belaka, sebaiknya Ka Rian pikirkan baik-baik lagi.” “Bukan karena itu, Lia.” Meski sejujurnya ya, semua yang Lia sebutkan jadi elemen pendorongnya mendekati Lia, hanya elemen kecil bukan pokok utama. “Saya mendapat keyakinan itu, Lia.” “Keyakinan?” Rian mengangguk, “Saya melihat kamu nggak hanya melalui mata, tapi juga hati. Hati saya mengatakan kalau kamu yang saya cari selama ini.” Lia malah terkekeh, membuat Rian menghentikan kalimatnya. “Ka, perbedaan diantara kita sangat mencolok. Ka Rian nggak bisa melihatnya?” Rian mengerutkan kening. “Perbedaan apa?” “Saya hanya perempuan biasa, latar belakang keluarga saya sederhana dan saya tulang punggung keluarga, bertanggung jawab nggak hanya untuk diri sendiri tapi ada Ibu dan kedua adik saya.” Lia mengatakannya dengan gamblang. Wanita itu punya tekat kuat membuat Rian mundur dengan memunculkan kehidupannya. Dia berpikir Rian akan menyerah. Justru Rian semakin yakin ingin bersama Lia, menerima semua kekurangan atau kelebihan wanita itu. Bukankah adil begitu? Pasangan sejati akan berjalan bersama saling menyempurnakan bukan menuntut salah satunya harus sempurna. “Saya tahu, Lia. saya menerima posisi kamu saat ini.” “Lalu keluarga Ka Rian, dengan perbedaan diantara kita. Apa akan setuju?” Rian terdiam, Lia mengingatkan Rian tentang keluarganya khusus orang tuanya. Tidak terpikirkan olehnya, Rian belum yakin pada orang tuanya sendiri karena pernikahan di kalangan kaum bisnis harus menguntungkan. Tidak masalah, dari awal tak peduli bisnis orang tuanya. pikirnya. Tapi, tetap saja itu mengganggunya. “Kalau saya membawa langsung orang tua saya menemui keluarga kamu, artinya kamu akan menerima saya?” Rian menempatkan dirinya pada pertarungan, jika Lia mengatakan ya, maka langkah selanjutnya Rian hanya tinggal meyakinkan orang tuanya, membawanya ke hadapan Lia untuk melamar. Lia mengerjapkan mata, saat itulah tatapan mata mereka bertemu. Rian bicara sangat serius dan Lia pasti merasakan ketulusannya. “Apa jawabanmu Lia?” tuntut Rian lagi ketika beberapa menit Lia hanya terdiam. “Saya—“ “Rian!” Lia menelan lagi kalimatnya saat mendengar seorang wanita memanggil Rian. Keduanya menoleh ke sumber suara, sosok cantik dengan pakaian seksi membalut tubuh semampai bak model berjalan ke arah meja mereka. Senyum menggoda di wajah cantiknya menarik perhatian Lia. “Hai, kamu di sini? Kebetulan sekali.” lanjut sapa wanita itu sudah berdiri di sisi meja mereka. Rian membalas senyumnya, karena dia sangat mengenal dan tak menyangka bertemu dengan wanita ini di sini. “Lho kamu juga lunch di sini?” “Iya, bagaimana kalau kita lunch bareng aja sekalian!” Ajakan itu membuat Rian melirik Lia, yang sedang menatapnya dengan tatapan sulit di baca. Kehadiran wanita ini, sepertinya membuat mereka harus menjeda pembicaraan siang ini meski Rian sangat penasaran jawaban dari Lia. [to be continued] Lalu apa Lia akan beri kesempatan pada Rian? Pembicaraan mereka belum selesai, ada orang lain yang datang. Kira-kira siapa ya? Komentar yuk seperti biyasaaaa!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN