SWY- 7

2558 Kata
.Yulia. Manusia sering menyakiti diri sendiri dengan menaruh harapan pada yang belum pasti. Aku tak akan menaruh harapan pada kamu yang mungkin kini datang hanya untuk singgah, lalu pergi dan tak pernah kembali. Maka, biarkan saja takdir bekerja. Menjauhkan atau justru mendekatkan kita untuk selamanya.  . . Ya Allah, bagaimana bisa aku selalu bertemu dengan lelaki ini. Batin Lia. Deg. Seseorang yang memanggil namanya ternyata Rian, jantung Lia mulai berdebar asing saat bertemu tatap dengannya lagi siang ini saat sedang bersama ibunya, berada di pusat perbelanjaan besar. Tempat ini sangat besar, orang-orang yang berbelanja pun banyak. Namun, dari semua orang yang mengenal Lia, mengapa harus Rian yang bertemu dan menyapanya? “Siapa dia Lia?” pertanyaan ibu membuat Lia sadar untuk tidak menatap Rian secara terang-terangan, dia berusaha menjaga pandangan matanya. Menatap laki-laki lain yang tak ada hubungan darah dengannya terlalu lama, tak baik. “Dia, hm Rian.” Lia menghela napas saat ibunya tersenyum penuh arti. “Jadi laki-laki yang bernama Rian, ini?” tanya ibunya lagi. “Iya, Bu. Kami hanya teman.” Lia menegaskan sebelum ibunya menaruh harap pada hubungan mereka. “Teman lebih baik dari pada Ibu dengarnya kalian pacaran, daripada pacaran lebih baik langsung menikah, pacarannya habis menikah. Terhindar dari dosa malah dapat pahala.” “Ibu, apaan sih?!” Lia berdecak dengar kalimat ibunya yang malah bicara macam-macam. Rian sudah berhenti di depan mereka, “Hai Lia nggak menyangka ketemu kamu di sini.” Jangankan Rian, dirinya pun tak habis pikir. “Hai, ka. Ini jam kerjakan, kok bisa di mall?” Rian tersenyum kecil, “Mama saya punya toko di sini, kami baru saja makan siang bersama. Hm, Saya udah lihat kamu tadi pas lagi beli kopi.” Lelaki itu mengangkat cup kopi yang dibelinya, masih utuh dengan label sama yang ada di tangan Lia. Oh, baiklah... Lia tak melihat Rian tadi. “Saya nggak lihat Ka Rian tadi.” Rian beralih menatap ibunya, dan tersenyum. Lia langsung memperkenalkan ibunya dengan Rian. “Ka, kenalkan ini Ibu.” Dengan sopan Rian mendekat dan mengambil tangan ibunya, mencium punggungnya. “Saya Rian tante, teman Lia.” Ibunya tersenyum hangat, tangannya bahkan menepuk bahu Rian dengan hangat. “Panggil Ibu aja, jangan tante.” Rian mengangguk. “Ibu dengar kamu pernah antar Lia pulang saat adiknya nggak bisa menjemput, terima kasih.” Lanjut ibunya. Rian tersenyum lagi, “Sama-sama, Bu. Saya hanya khawatir kalau Lia pulang sendiri, waktu itu sudah malam.” “Ibu juga selalu khawatir kalau Lia harus pulang malam sendirian pas nggak bawa kendaraan sendiri.” kata ibunya dengan melirik Lia penuh arti. “Kami sudah selesai di sini. Sekarang mau pulang.” Lia mendahului ibunya sebelum bicara melantur. “Oh, saya juga sudah selesai dan mau kembali ke kantor.” Lia mengangguk, dan mengajak ibunya beranjak dari posisi mereka untuk pulang. Rian kembali mencium punggung ibunya, “Lain kali kalau ke rumah lagi harus mampir, kita makan sama-sama.” Lia membulatkan matanya dengar undangan terbuka dari ibu untuk Rian dan lelaki itu tersenyum lebar dengan anggukan kepala senang menyambut undangannya. “Wah, saya pasti akan mampir, semoga Lia juga nggak keberatan.” Balas Rian. Ibunya langsung meliriknya, “Tentu saja kenapa Lia harus keberatan, nanti biar ibu minta Lia ajak kamu untuk makan bersama di rumah.  “Bu!” tegur Lia kelepasan protes. “Ya?” saut ibu Lia dengan santai padahal Lia sangat yakin ibunya paham yang Lia risaukan. “Kita pulang sekarang, Lia harus kembali ke toko.” Lia menarik tangan ibunya, dan benar-benar pergi dari sana. Lia sempat melihat senyum Rian penuh makna sebelum berlalu di ikuti salam perpisahan manis darinya. “Bye, Lia. See you...” Sepanjang jalan menuju pintu keluar, Lia hanya menanggapi dengan malas ibunya yang menyampaikan penilaiannya tentang Rian. Mereka berdiri di lobi utama bagian utara, Lia akan pesan taksi Online, dia sedang tak membawa kendaraan pribadi. Sayangnya, ketika mereka keluar langit hitam yang memang sejak pagi sudah memayungi kota, akhirnya menumpahkan hujan deras. Mereka tertahan di sana, dengan sinyal yang mulai bermasalah. “Sepertinya Rian bukan dari keluarga biasa seperti kita.” Komentar ibu lagi, sedangkan Lia berusaha bersahabat dengan server yang tiba-tiba sangat menjengkelkan. Lia mengangkat kepala dan menatap ibunya. “Ibu masih terus mau membahas soal Rian?” Ibunya tertawa melihat putri sulungnya kesal. “kamu nggak nyaman dekat Rian.” “Iya, Lia nggak nyaman. Bu, Rian memang bukan dari keluarga super biasa seperti kita, berbeda kasta. Kalau bisa, kita jangan terlalu dekat, Lia malas dengar sindiran orang-orang dan segala masalah kalau berurusan sama keluarga konglomerat.” Lia tak pernah sembunyikan apa pun dari ibunya, termasuk isi hatinya saat ini. “Astagfirullah, kamu ini. Di hadapan Allah itu kita semua rata, nggak ada perbedaan kasta. Memangnya kita bisa mengingkari takdir kalau Rian dan kamu jodoh, bagaimana pun usaha kamu menghindar pasti akan ada seribu cara Allah yang indah membuat kalian bersama.” “Nggak mungkin, Bu—“ “Nggak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak.” Potong ibunya cepat. Lia masih menatap ibunya, “Ibu juga jangan menaruh harapan pada Rian, sejauh ini kami hanya kenal dan teman.” “Ibu nggak pernah menaruh harapan ke sesama manusia. Harapan ibu untuk kebahagiaan kamu dan adik-adikmu sudah ibu gantungkan pada Allah untuk setiap takdir terbaik yang terjadi pada kalian, ibu akan bersyukur dan terima.” Ibunya memang sangat sabar bahkan menerima setiap keadaan mereka, termasuk ibunyalah yang menguatkan Lia saat takdir tak berpihak pada hubungannya dengan Farhan. Mengomel pun masih terbilang halus, hanya jika anak-anaknya berulah dan lebih sering pada Saddam, nakalnya anak laki-laki itu wajar, pada akhirnya ibunya akan sadar ke situ, selama Saddam tak melanggar batas. “Kok taksinya belum datang juga?” tanya ibunya saat akhirnya berhenti membahas Rian. Lia mengangkat ponselnya, dan menunjukkan ibunya jika dia tak bisa memesan taksi. “Jaringannya buruk sekali.” “Cari taksi biasa saja.” Lia mengangguk akan mencari taksi lain saat range rover sport berwarna hitam berhenti mencuri perhatian semua orang yang ada di lobi termasuk Lia dan ibunya. Lia menghela napas gusar saat Rian keluar dari pintu mobil dan berlari mendekat. Rian lagi... Rian lagi... Batin Lia. “Kalian masih di sini?” tanyanya. “Nak Rian?” “Saya lihat Ibu dan Lia. Saya pikir sudah pulang.” sapa Rian ramah. Ibunya tersenyum, “Kami terjebak hujan, Lia juga nggak bisa pesan taksi online.” “Biar saya antar Ibu dan Lia.” Lia langsung menggelengkan kepala. “Kami menunggu saja sampai hujannya reda, ka Rian juga pasti harus kembali ke kantor.” “Saya nggak sedang terburu-buru, hujannya besar sekali, akan lama redanya.” Rian memaksa. “Kalau memang ibu dan Lia nggak merepotkan, kami ikut kamu.” di perparah dengan persetujuan Ibu, dan Rian tak menunggu lebih lama untuk mempersilakan ibunya naik masuk ke mobil. “Lia ayo, kamu sudah harus kembali ke toko, kan?” ajak ibunya membuat Lia terpaksa setuju, “Kamu duduk di samping Nak Rian, biar ibu di belakang saja.” Entah ada apa dengan ibunya hari ini, mengapa terdengar semangat sekali mendekatkan dirinya dengan Rian. Lia tak membantah, dan lebih banyak diam, membiarkan Rian berbincang lebih akrab dengan ibunya. Meski Lia tahu jika Rian sering mencuri tatap padanya. Lia menarik napas dalam-dalam, tidak tahu Allah sedang merancang rencana apa antara dirinya dan Rian pada setiap waktu yang mempertemukan mereka tanpa sengaja. Hujan perlahan reda ketika mereka sampai dan mobil sudah berhenti di depan toko. “Nak Rian, terima kasih banyak sudah mengantarkan kami.” Badan Rian sedikit menyamping dan menatap ibunya penuh hormat. “Rian senang kalau bisa mengantar ibu dan Lia dengan selamat.” “Kamu akan kembali ke kantor?” “Ya, Bu.” “Sayang sekali nggak bisa minum kopi dulu di dalam.” Rian tersenyum, “terima kasih Bu, padahal saya tahu sekali kalau kopi di tokonya Lia enak apalagi di minum dengan kue susnya.” Di akhir kalimat Rian melirik Lia. “Wah sudah sering datang ke toko, ya?” tebak Ibu dengan nada senang. Rian mengangguk, “Ya udah Ibu turun duluan, kalau ke toko sudah sering berarti lain waktu harus datangnya ke rumah. Kamu hati-hati menyetirnya.” Gurau ibunya, Lia yang mendengarkan sampai kupingnya terasa panas. Bisa-bisanya sudah berulang kali ibunya mengundang Rian ke rumah. “Boleh Bu, dengan senang hati.” Balas Rian, Ibu lalu turun. Lia tak berkeinginan untuk lebih lama menetap bersama Rian di dalam mobil, dia melepaskan seatbelt dan bersyukur tak ada adegan drama sulit melepaskan seperti pertama kali naik mobil itu. “Sekarang pasti mudah.” Kata Rian seakan bisa membaca pikiran Lia. Lia langsung menoleh cepat, “Ya?” “Seatbelt, sudah saya ganti. Kamu nggak memerhatikan?” Lia mencari tahu dan benar, seatbelt ini baru tetapi Lia tak mau membahasnya kecuali berterima kasih dan cepat-cepat keluar dari mobil. “Makasih, atas tumpangannya.” “Ibu sudah mewakili tadi, ya... sama-sama.” Lia mengangkat kepala dan bertepatan dengan Rian yang sedang menatapnya dengan sangat intens. “Saya ingin mengatakan sesuatu.” “I will listen to you.” “Saya bukannya terlalu percaya diri, kita sama-sama bukan anak remaja lagi. Saya merasa kalau semua yang kamu lakukan akhir-akhir ini pasti ada tujuannya, meski saya nggak tahu apa itu dan saya hanya mau tegaskan, jika saya nggak terlalu nyaman dengan cara kamu ini.” kata Lia tegas, tak peduli Rian akan berpikir apa tentang dirinya. Lia lalu akan keluar tapi Rian tak hanya diam mendengar kalimatnya. “Kamu benar, Lia.” Perempuan itu kembali menatap Rian, “saya nggak semata-mata hanya mau kenal kamu, semua ini karena saya punya tujuan.” “Apa tujuanmu? Kalau nggak baik, hanya mau main-main dengan saya, maka sebaiknya kamu berhenti.” “Tujuan saya sangat baik, saya nggak pernah punya niatan buruk terhadap kamu. Jika saya katakan sejujurnya sekarang, apa kamu siap?” Lia mengerjap, nada suara Rian yang tegas dan dalam malah mengantarkan getaran dan membuat jantungnya berdebar-debar. Rasanya Lia ingin sudahi dan keluar tanpa mencari tahu, tapi, dia malah bergeming dan kembali terkunci tatapan mata Rian. “Saya mau menikahi kamu, saya mau serius sama kamu, Yulia Romeesa.” “Apa, me-menikah?” tanyanya tak percaya, Lia berharap pendengarannya salah namun tatapan lelaki itu begitu terlihat serius dan mantap. “Ya, kamu nggak salah mendengarnya. I’m seriously and know very well what I’m telling you.” Lia tidak tahu harus menanggapi apa, dia kehabisan kata-kata lalu tak menghiraukan Rian, dia segera membuka pintu keluar dari mobil dan melangkah cepat masuk ke toko. Beberapa karyawan menyapanya, panggilan ibunya sedang bicara dengan Toni sembari mengecek kue jualan mereka yang hampir habis, tak Lia hiraukan. Lia terus berjalan sampai ke ruang kerjanya, pintu di tutup dan Lia bersandar di sana. Deg... deg... deg... Merasakan jantungnya yang berdebar cepat, Lia memejamkan mata. Tak mengerti atas reaksi dirinya terhadap lelaki itu dan Lia berharap Allah tak akan menempatkan dia di satu pilihan yang akan menyulitkan dirinya. *** “Teteh, ngapain di sini malam-malam? Nanti masuk angin.” Saddam menemukannya sedang duduk merenung di belakang rumah. Lia duduk di lantai, kakinya turun menginjak rumput yang terawat berkat ibunya yang rajin. Saddam ikut duduk di sisi kakaknya. “Baru pulang kamu?” Sekarang sudah jam sembilan malam. “Iya, ada persiapan untuk osmaru.” “jadi panitia ospek mahasiswa baru? Nggak ketuaan kamu jadi senior?” sindir Lia. Adiknya mencebikkan bibir. “Bukan, aku cuman mewakili kegiatan untuk malam puncak. Panjat tebing, sekalian ajang promosi.” “Kalau teteh sih mana tertarik memanjat-manjat begitu. Seram.” “Seru teh, ada kepuasan sendiri aja. Ya nggak sembarang memanjat, semua juga ada rules dan keselamatannya.” “Oh, jangan terlalu fokus ke sana. Mending cepat-cepat selesaikan kuliahmu.” “Iya, teh... iya!” Saddam pasti bosan mendengar teguran Lia dan ibu, habis jika tak terus di ingatkan bisa-bisa Saddam akan nyaman di zona nyamannya sekarang tanpa peduli masa depannya. Sekarang belum di rasakan, Lia takuti jika sudah beranjak usia makin matang dan Saddam tak berubah akan menyesali telah melewati momentum seharusnya lalu hanya bisa iri melihat teman seangkatannya sudah jauh melangkah dari dirinya. “Teteh belum jawab, ngapain di sini? Ibu udah tidur?” “Ibu sudah tidur, teteh cuman lagi mau aja duduk di sini.” Elaknya, Lia tak mau bercerita yang sebenarnya sedang dia risaukan. Tentang ucapan serius Rian siang itu sangat menyita pikiran Lia. “Bukan karena teteh ada masalah, kan?” “Bukan, kamu tenang saja.” Lia lalu ingat sesuatu untuk ditanyakan pada Saddam. “Kamu cerita ke Ibu kalau teteh di antar Rian malam itu?” Saddam mengangguk, “Iya, Ibu tanya kita pulang jam berapa.” “Kamu bilang aneh-aneh?” Adiknya mengerutkan kening, dari ekspresinya Lia tahu jika Saddam tak menambahkan cerita macam-macam sampai ibunya bisa bersikap berlebihan pada Rian. “Bilang aneh-aneh bagaimana? Aku malah bilang Ibu untuk mengawasi teteh supaya nggak terlalu dekat sama Rian. Aku nggak suka sama lelaki itu. Dari tadi teteh di sini apa ada hubungannya sama Rian? Dia ngapain teteh?” Lia terkekeh, “Rian nggak akan berani macam-macam karena dia tahu kalau teteh punya kamu yang akan melindungi teteh. Sini pinjam bahu kamu!” Lia menarik Saddam mendekat, lalu kepalanya bersandar di sana. “Dam...” “Hm... benar bukan karena Rian?” Saddam pasti sedang menebak-nebak isi pikiran Lia Lia menggeleng kecil, “bukan, teteh kangen ayah.” Bisik Lia. Setiap waktu setelah kepergian ayahnya, semakin hari rasanya semakin rindu dan ada beberapa momen yang membuat rindunya mendesak. Seperti sekarang. Saddam menghela napas, “Aku juga kangen Ayah dan Safa. Mendengar nama Safa, Lia langsung bergerak menjauh dan menatap adiknya. “Kamu mengingatkan teteh, Safa wisuda akhir bulan ini, kan?” “Iya.” Terlalu banyak yang menyita pikiran Lia hampir saja dia melupakan persiapan untuk ke kota tempat adiknya akan wisuda sekaligus menjemput Safa kembali ke rumah. Meski terakhir bicara dengan Lia, Safa mengatakan keinginan untuk ambil beasiswa universitas di luar Indonesia, melanjutkan pendidikan dan Lia akan mendukung tujuan baik adiknya jika memang itu yang di pilih Safa. “Safa sudah wisuda, kamu harus segera menyusul! Teteh sih masih heran, kalian kembar tapi bisa berbeda banget.” Saddam berdecak kesal atas cibiran Lia, “Mana aku tahu, teh! Tanya Ibu sana yang mengandung kami, kenapa bisa berbeda!” Lia tertawa mendapat tatapan kesal adiknya. Hah, dia merasa beruntung sekali mempunyai keluarga yang meski sederhana punya momen menyenangkan seperti sekarang walau hanya menggoda dan mengerjai adiknya. “Dasar kamu, begitu aja marah. Teteh bercanda, dam.” Saddam ikut tertawa dan memberikan lagi bahunya untuk tempat bersandar Lia, berharap bisa meringankan risau yang di rasakan kakaknya itu. “Aku memang belum bisa menggantikan teteh jadi tulang punggung keluarga, tapi, teteh bisa pakai bahuku kapan pun untuk bersandar.” Ucapannya yang menurut Lia terlalu romantis, malah membuatnya tertawa. “Belajar dari mana bisa ngomong begitu?” Saddam juga tertawa karena tak menyangka bisa mengatakannya. “Postingan orang di Instagram.” “Ya Allah, dam... Saddam!” [to be continued] Woooo Rian Gerak cepat langsung ajak Lia Nikah... terus jawaban Lia kira-kira apa? Kalau aku di posisi Lia, langsung terima aja kali yah. Di lamar cogan dan mapan kayak Rian Hermawan. Nah inilah bedanya aku yang ada di dunia nyata Btw aku pribadi suka banget karakter Saddam, mahasiswa teknik, gondrong, pecinta alam, hobi memanjat tebing tapi sayang keluarga. Apa Saddam mulai mencuri hati kalian juga? Wkwkwk 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN