.Yulia.
Aku tak pernah takut lagi melepaskan yang bukan takdirku.
Aku percaya ada kuasa Allah yang lebih besar dari sekedar keinginanku.
.
.
Bergelut dengan dilema, resah dan gundah di hati tak pernah nyaman untuk Lia. Jika sudah begitu, Lia akan pilih Shalat dan membaca ayat suci sampai hatinya tak lagi bergejolak dan tenang. Keberanian itu datang, Lia tak suka menghindar dari apa pun harusnya di hadapi termasuk Rian yang tiba-tiba hadir diruang lingkup hidupnya, sedikit mengusik kesehariannya.
Lia bisa menilai jika Rian adalah laki-laki dengan karakter pantang menyerah, menghindar tak akan membuat Rian sadar bahwa mungkin saja yang di rasakan laki-laki itu terhadap dirinya hanya ketertarikan fisik oleh tangkapan mata. Maka Lia memberanikan diri mengajak Rian untuk bertemu. Lia ingin tahu apa yang di pikirkan laki-laki itu hingga langsung berterus terang dengan tujuannya mengajak Lia menikah.
Tak habis pikir, Rian malah mengajak lunch di tempat yang berlebihan sekali. Start resto lebih cocok untuk fancy lunch kalangan atas. Lia yang pernah bekerja di BM hotel saja sampai melongo begitu melihat harga tak masuk akal untuk satu porsi steik dan akhirnya menyerahkan pada Rian sampai di saat mereka sedang bicara sembari menunggu makanan di sajikan, seorang wanita sangat cantik menghampiri.
Rei, tunangan dari Artara Rashid. Lia mengenalnya karena Rei dan ibunya kerap pesan banyak kue di tempatnya untuk acara penting.
Wanita itu sangat baik hati, rupa dan hatinya selaras. Di sandingkan dengan Tara sangat sempurna. Bahkan lunch mereka akhirnya di traktir Rei. Lia tahu jika Rian tak nyaman mungkin merasa malu, karena dia yang mengajak Lia lunch di sini tapi malah di bayarkan oleh wanita lain. Obrolan mereka tertunda karena harus lunch bersama.
“Lunch kita jadi seperti ini. Saya nggak menyangka kalau akan ketemu Ka Tara dan Rei.” Rian mengantarkan Lia pulang setelah memaksa.
Lia mengangguk, “Mereka sangat baik, padahal saya hanya kenal sekilas dan kebetulan Tyas teman saya.”
“Tapi, Tara selalu seperti sangat mengenal kamu.” kata Rian dengan nada aneh yang membuat Lia langsung menoleh.
“Setiap kali saya ke rumah orang tua Tyas, pasti saya bertemu Ka Tara. Dia laki-laki baik dan hebat dengan kariernya.”
“Saya dan Tara satu pekerjaan, kita satu angkatan di Universitas.”
Lia mengerutkan kening, nada suara Rian seakan-akan Lia perlu tahu informasi tersebut padahal dia mengatakan itu hanya dengan tujuan menjelaskan pada Rian kalau dia mengenal Tara memang cukup lama.
“Saya tahu itu.”
“Tahu? Tara cerita ke kamu?”
Lia menggeleng, mencoba tak menganggap Rian yang bereaksi aneh. “Tyas, saya bertemannya dengan Tyas.”
“Oh saya kira Tara sendiri yang mengatakan padamu.”
Lia tersenyum kecil, “bagaimana mau Ka Tara cerita, kami nggak dekat, sekalinya dia mengantar saya ke toko, saya yang nggak enak.” Setelah mengatakan Itu, lia langsung terdiam.
Kenapa aku harus mengatakan ini pada Rian?! Batinnya.
Lia menoleh untuk mencari tahu ekspresi Rian, dan bertepatan dengan Rian yang sedang menatapnya. “Sepertinya Tara lupa menjelaskan banyak hal pada saya.”
Dia tak paham maksud dari ucapan Rian, “Ya?”
Rian menggeleng, “Urusan laki-laki yang berteman.”
Lia berpikir mungkin urusan yang di maksud adalah pekerjaan.
Mobil melaju membelah jalanan kota, sampai ketika berhenti karena lampu lalu lintas. Rian kembali membuka obrolan kali ini lebih serius. “Obrolan kita tadi terpaksa tertunda, kamu keberatan kalau saya minta jawabanmu sekarang?”
“Jawaban saya?” Lia mengeratkan tangan di pangkuan, tujuan lunch bersama hari ini memang belum tuntas karena mereka setuju bergabung dengan Tara dan Rei.
Jujur saja Dàdanya berdebar, menghadapi laki-laki yang coba mendekatinya bukan hanya baru terjadi. Tetap saja kali ini, menghadapi Rian sangat berbeda.
“Kalau saya membawa langsung orang tua saya menemui keluarga kamu, artinya kamu akan menerima saya?” Rian mengulang kembali pertanyaan tadi.
Lia tak langsung menjawab, dia butuh waktu dan belum lagi ketegasan Rian membuat hatinya bergetar. Bagaimana jika Rian benar-benar membawa orang tuanya menemui keluarganya?
“Lia? kamu butuh waktu untuk memberi saya jawabannya?” tegur Rian lagi, Lia langsung mengangkat kepala dan wajah serius Rian tersuguh di matanya.
Lia berpikir cepat, dia memejamkan mata sebentar dan di setiap tarikan napasnya menyebut nama Allah.
Ya Allah segalanya kuserahkan padamu...
Lia mengangguk kecil, “Saya akan terima ka Rian jika datang ke rumah bersama orang tua, Ka Rian. Dengan satu keyakinan jika Ka Rian tak akan menutupi segala porsi dan posisi keluarga saya”
Rian harus mulai dengan kejujuran, masa lalu Lia yang pahit mengajarkan dirinya untuk membuat siapa pun laki-laki yang mendekatinya sudah atas ijin restu orang tua. Meski seorang laki-laki yang ingin menikah tak memerlukan wali, tapi restu orang tua sangatlah penting bagai cahaya yang akan menghantarkan perjalanan pernikahan. Tanpa restu orang tua, badai akan mudah datang menghantam fondasi pernikahan. Lia tak mau ada selisih dengan orang tua suaminya kelak, dia ingin meski seorang menantu hubungan yang terjalin tak ubahnya anak dan orang tua sendiri.
“Berapa waktu yang kamu berikan pada saya?” tanya Rian lagi padahal Lia belum percaya akan jawabannya sendiri.
Lelaki itu menunggu jawaban darinya, “Saya yakin Ka Rian lebih tahu kapan waktu yang tepat untuk membuktikan tujuan Ka Rian.”
Lia sendiri pun butuh waktu untuk meyakinkan dirinya dan memberitahu ibunya.
“Jika saya bicara dan menemui ibumu lebih dulu, kamu setuju?”
Rian seakan bisa membaca pikiran Lia.
Lia menggeleng cepat, “nggak perlu.” Dia menolak tegas, Lia hanya tak mau membuat keluarganya terutama ibu menaruh harapan pada yang belum pasti.
“Saya akan segera menghubungi kamu ketika siap membawa orang tua saya datang ke rumahmu. Saat hari itu datang, kamu akan percaya jika saya sangat serius dengan tujuan baik saya padamu, Lia.” Kata Rian lagi lalu mobil kembali melaju dan Lia maupun Rian sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Bagaimana jika Rian benar, bisa membuktikan tujuannya? Apa Rian adalah jodoh yang dia tunggu selama ini? jawaban dari doa dan kesabarannya? Tapi, perbedaan yang begitu terlihat diantara mereka bagaimana?
Lia masih tak percaya akan jawaban dan kesempatan yang dia berikan pada Rian. Saat keputusan itu dibuat, dia tak sedang dalam puncak emosi maupun lapar hingga keputusannya terasa salah. Dia sangat sadar memberi jawaban itu, ada dorongan dari dalam hati seperti sebuah keyakinan.
Lalu Lia ingat jika dirinya belum Shalat zuhur. Dia mencari tahu waktu saat ini. “Ka, di depan sebelum ke toko ada masjid, saya turun di sana saja.”
Rian menoleh, “Oke.”
Mobil masuk ke halaman masjid cukup besar, Lia menoleh pada Rian. “Terima kasih untuk lunch-nya, ka. Assalamualaikum.” Dia berpamitan.
“Sama-sama Lia, Waalaikumsallam.”
Lia turun dari mobilnya, dan mengerutkan kening saat Rian pun ikut turun. “Ka Rian nggak langsung pulang?”
Rian menggeleng dengan senyuman yang membuat wajahnya semakin tampan. “Kamu mengingatkan saya, kalau saya pun belum Shalat zuhur.” Ucapnya.
Lia lalu mengangguk kecil dan pilih berjalan lebih dulu, mereka berpisah di undakan tangga karena tempat ibadah wanita dan pria jelas di pisahkan.
***
Lia masih merahasiakan Rian dan tujuannya pada keluarga, termasuk ibunya. Sambil menunggu Rian memberi kabar, Lia tetap berusaha agar tak mengantungkan harapan pada lelaki itu. Dia takut akhirnya jika kecewa. Segala sesuatunya telah Lia serahkan pada Allah. Sambil menata diri dan kesiapan dirinya.
Cinta.
Kata itu mengganggu pikiran Lia, dalam hubungannya jelas tak ada cinta karena mengenal saja belum lama. Lalu pernikahan apa yang akan mereka jalani jika nanti akhirnya Rian memang jodohnya?
Dalam Islam pun sebenarnya cinta itu tak ada sebagai dasar pernikahan, menikah karena cinta baru ada di era jaman yang sudah modern ini. Dulu ibu dan ayahnya bahkan ada karena taaruf, Lia pernah di minta ibunya untuk mencoba proses pengenalan secara taaruf tapi Lia belum memberikan jawaban, dia sendiri sibuk dengan usahanya. Sampai akhirnya hari ini datang dan Rian menyampaikan niatnya pada Lia. artinya jika mereka menikah pun tanpa dasar cinta, dan akan memiliki itu setelah menikah.
Itu jauh lebih baik untuk Lia, karena dulu saat dengan Farhan yang di atas namakan cinta saja hubungannya sebelum mekar sudah layu. Jadi, Lia rasa semua akan baik-baik saja jika memang mereka sudah di takdirkan untuk berjodoh.
Selain itu yang membuat Lia jadi pertimbangan, selain latar belakang keluarga juga Lia tak tahu seperti apa seorang Rian Hermawan dalam kesehariannya. Lia bahkan menemukan satu tato kecil di bagian dekat nadinya. Bagaimana jika Rian bukan lelaki baik-baik?
Lia menarik napas dalam-dalam, selama ini Rian sangat menghormatinya. Lia mencoba percaya bahwa tampilan luar tak selamanya bisa mencerminkan hati seseorang.
Drrttt... Drrttt...
Ponselnya berdering, Lia menatap layar ponsel dan nama Tyas Larasati tertera di sana. lia menyimpan mukena yang sudah terlipat rapi di sandaran kursi. Dia lalu berbaring diatas ranjang dan mengangkat panggilan dari sahabatnya. Mereka berbincang banyak hal sampai Lia ingin sekali bertanya sesuatu yang tiba-tiba terlintas di pikirannya.
“Tyas, boleh gue tanya sesuatu?”
“Tanya aja, Lia. apa?”
Lia menghela napas, “Ini soal Rian Hermawan, lo ingat?”
Tyas tak langsung menjawab, dia sepertinya agak terkejut Lia menyebut nama lelaki itu tapi sedetik kemudian Tyas terkekeh mencurigakan. “Gue tahan-tahan mau tanya ini sama lo, eh lo duluan yang buka.”
“Maksudnya?”
“Ka Tara cerita kalau Rian tertarik sama lo, dia lagi gencar mendekati lo.”
“Apa Rian buruk?”
“Ya?”
“Sejauh apa lo mengenalnya?”
Tyas berhenti menggoda Lia saat dengar Lia serius. “kalau dia bertindak nggak sopan lo bisa bilang ke gue—“
“Nggak, Rian sangat sopan.” Lia langsung menepis.
“Syukurlah, karena gue minta Ka Tara untuk mengatakan pada Rian untuk nggak macam-macam sama lo.”
“Memang nggak macam-macam, cukup satu macam yang buat gue dilema.” Lia pilih jujur.
“Apa?”
Lia menarik napas lebih dulu, menyiapkan dirinya untuk siap dan bercerita pada seseorang dan dipilihnya, Tyas. “Dia mau serius sama gue, dia mau melamar gue langsung ke Ibu.”
“Lia, ini serius?”
“Ya, sangat. Lo aja nggak percaya apalagi gue yang dia muncul terus aja masih membingungkan. Tyas, apa sih yang buat lo dulu menolak di jodohkan sama Rian? Dia orang seperti apa di mata lo?”
“Gue kan cintanya sama Dhito, Lia. Lo tahu sendiri dari kapan gue suka sama Dhito.” Bagian itu benar, Lia sangat tahu sahabatnya sejak lama menaruh hati pada Dhito dan saat Rian mendekati, Tyas sudah bersama Dhito.
“Rian baik banget, dia laki-laki yang bertanggung jawab dan tegas sama pilihannya. gue nggak akan pernah lupa waktu dia terima keputusan gue dengan besar hati. Ketika Rian mengatakan tujuan baiknya sama lo, gue pun yakin dia nggak main-main dan memang itu pilihannya. kalau memang kalian berjodoh, gue orang pertama yang paling Happy. Gue yakin Rian adalah pasangan yang pas dan akan mengerti semua porsi hidup lo.”
Mapan dan bertanggung jawab, Rian punya material duniawi lalu bagaimana dengan menjadi imam untuknya?
Setelah bicara dengan sahabatnya, dan mendengar pendapatnya soal Rian tak lantas membuat Lia berhenti mencari keyakinan itu.
Esok paginya, Lia keluar setelah Shalat subuh langsung membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah.
“Siang nanti ibu mau belanja buat stok makanan kita. Beli sayur dan buah.” Kata ibunya datang setelah memeriksa persediaan bahan makanan di kulkas.
Lia mengangguk dan fokus mencuci piring. “Lia ada yang mau ibu sampaikan.” Lanjut ibunya lagi.
“Iya bu? Uang belanjanya habis? Biar nanti Lia transfer.”
“Bukan, uang bulanan dari kamu masih ada. Ini pembicaraan serius.”
“Lia selesaikan ini dulu, tinggal di bilas.” Lia pilih selesaikan cucian piringnya. Barulah dia duduk di kursi makan, menghampiri ibunya.
“Kemarin Paman Salam telepon ibu.” Salam, adalah adik dari ayahnya.
“Oh... Paman sehatkan, Bu?” Pamannya tak tinggal di Bandung, melainkan Solo kota kampung halaman ayahnya.
“Iya, sehat. Dapat salam juga kamu darinya.”
“Waalaikumsallam.” Lia menjawab salamnya.
“Pamanmu tanya soal kamu, apa belum mau menikah di usiamu ini. Terus ibu bilang, bukannya nggak mau tapi belum waktunya aja.”
Setelah ayahnya meninggal, pamannya memang memerhatikan keluarganya meski berada jauh sering menelepon untuk bertanya kabar. Lia sangat bersyukur meski ayahnya telah tiada, silaturahmi dengan keluarga dari ayahnya masih terjalin baik. Biasanya ada juga yang terputus, dan sungguh di sayangkan jika memang itu terjadi.
“lalu apa yang serius mau ibu sampaikan?”
Ibunya mengambil tangan Lia, “teman pengajian Ibu, kamu ingat tante Rindu?”
Lia mengangguk, “pernah main ke rumah, kan?”
“Iya, anak sulungnya laki-laki dan bekerja sebagai pilot. Usianya dua puluh sembilan tahun.” perasaan Lia langsung tak enak ketika ibunya mengatakan itu. “di pengajian kemarin dia memberikan foto anaknya, dan ibu memberikan foto kamu.”
Lia menarik napas panjang, dia bersandar. “Namanya Galuh Rahardian, dia sudah mapan dan minta ibunya untuk mencarikan dia istri.”
“Bu.”
“Dengar dulu, ibu nggak akan memaksa seperti biasa. Kamu bisa lihat dulu fotonya, kalau kamu setuju Sabtu ini dia dan keluarganya akan datang.”
Lia tak akan pernah mengerti bagaimana cara kerja takdir pada manusia, dalam satu waktu ada dua laki-laki yang menyampaikan niatnya.
Wanita itu mengambil foto yang di berikan ibunya. Foto laki-laki berseragam pilot, usianya lebih muda satu tahun dari Lia.
Lia mengangkat kepala dan putuskan untuk mengatakan sesuatu yang sebelumnya pilih untuk tak cerita dulu, “Ibu ingat Rian, yang beberapa hari lalu bertemu di Mall dan mengantarkan kita?”
Ibunya mengangguk “tentu ibu ingat.”
Lia menuntaskan tarikan napas yang dalam, dia mengunci tatapan mata dengan ibunya. “Dia menyampaikan niat untuk melamar Lia.”
Senyum di wajahnya sebagai jawaban jika ibunya senang mendengar berita ini. sementara Lia mencari tahu arti dilema yang Allah berikan padanya detik ini juga.
Jika lamaran datang sekaligus bersamaan begini, maka pilihan mana yang harus Lia yakini paling terbaik untuknya. Rian, seorang Lawyer sukses atau Galuh, seorang pilot muda
[to be continued]
Kemarin yang menebak Rei-Tara, benar hahah.
Rian dapat rival seimbangkah? Dan aku jadi ikutan galau... Wkwkk