Karena sudah tahu jika mama mertua sangat membenci Tiff, maka yang bisa kulakukan adalah ... sembunyi.
Ah, tadinya aku benar-benar ingin berbuat baik. Kupikir kesadaran seorang Tiff akan dinanti oleh banyak orang di rumah ini. Namun sama sekali tak seperti demikian, sampai malam berganti pagi lagi aku berada di kamar. Perkataan orang-orang di luar kamar ini terdengar, kebanyakan mereka tak ada yang peduli dengan orang ini. Kalaupun ada yang membicarakan Tiff, mereka hanya membicarakan keburukannya.
Pagi ini, aku bangun dan mandi sebelum fajar menyingsing. Membersihkan tubuh Tiff ternyata begitu sulit, karena wanita ini memiliki tubuh yang begitu besar dan banyak lipatan lemak, dari keseluruhan lipatan lemak tersebut, semuanya ... berdaki. Aku begitu risih dengan tubuh gembrot nan jorok ini.
Maafkan aku sudah body shamming padamu, Tiff. Tapi seandainya kau merawat tubuhmu dengan lebih baik, gendut pun tidak akan membuatmu buruk rupa, jika kau bersih dan terawat.
Dengan kesulitan aku melingkarkan handuk untuk mengeringkan tubuh, kemudian kukenakan bathrobe milik Tiff yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Lalu aku keluar dari kamar mandi dan melihat pemandangan indah.
Salah satu yang bisa aku syukuri karena menjadi Tiff adalah melihat wajah tampan itu nyenyak di atas sofa. Mungkin, baik Tiff maupun diriku, juga mencintai pria yang sama. Maaf Tiff, jika aku terkesan aji mumpung. Tapi aku akan berusaha untuk membuatmu lebih dekat dengan suamimu.
Pelan-pelan aku membuka pintu lemari. Lemari tiga pintu ini terdapat di samping ranjang sebelah kiri. Aku mencari baju yang muat di sana, tapi ... tak satu pun aku melihat baju milik Tiff di lemari. Ke mana dia menyimpan bajunya? Apa jangan-jangan selama Tiff tidak sadarkan diri, semua orang membuang bajunya? Keterlaluan.
“Hei! Sedang apa kau?” Suara parau orang bangun tidur mengagetkanku.
Dengan segera aku menoleh. “Ketua Arthur? Euh, Kak Arthur. Aku ... mencari baju milik Tiff, milikku. Milikku. Baju milikku. Kenapa tidak ada di lemari?”
Kak Arthur pun berdiri dengan tubuh yang agak doyong karena masih bangun tidur. “Kamu ini kenapa, sih?” tanyanya sambil menahan mulut yang hendak menguap.
“Aku? Baru saja mandi dan mencari baju.”
Dia terlihat cukup kesal dan menatapku dengan aneh. Apa benar jika semua baju Tiff sudah dibuang?
Kak Arthur pun berjalan ke sebuah pintu yang ada di samping kamar mandi. Ya, aku tidak tahu apa itu isinya karena pintu tersebut terkunci dan aku tak pernah mencoba sekali saja untuk membukanya.
“Kau tidak tahu ini isinya apa?” tanya Kak Arthur dan aku hanya menggeleng.
“Ini gudang milikmu. Tidak ada orang yang bisa masuk selain dari kamu, pintu ini bisa dibuka dengan sidik jarimu. Hanya sidik jarimu!” ucapnya dengan ekspresi yang begitu kesal. Memangnya kenapa jika hanya dibuka sidik jarinya Tiff?
Namun aku yang menunjukkan ekspresi bingung malah membuat Kak Arthur semakin kesal. Biasanya, dia akan menjelaskan maksudnya dengan lebih rinci padaku. Selama aku menjadi sekretarisnya dulu, tak pernah ia selalu marah pada satu orang yang sama di setiap waktu. Tak pernah. Ini sangat aneh. Apa salah Tiff?
“Bukannya kau yang selalu mengagungkan semua barang mahal yang ada di gudangmu. Bahkan kau sering menuduh adik atau mamaku mencuri barang sampah tak berguna itu, padahal kau sendiri yang lupa menyimpan. Kau yang tidak pernah merapikan barangmu hingga semuanya menjadi tak beraturan dan sulit dicari.” Dia menggerutu.
Aku agak terkejut dengan penjelasannya. Namun karena penasaran, aku pun memilih untuk melihatnya sendiri.
Sementara itu Kak Arthur menuju kamar mandi. “Kau sudah ingat? Kau ini kenapa bisa amnesia sih?” omelnya sambil membanting pintu kamar mandi.
Hanya bisa terdiam mendengar omelannya, sudahlah aku tak perlu mengambil hati. Toh, semua umpatan itu untuk Tiff, bukan untukku. Segera kutempelkan ibu jariku pada pemindai sidik jari di pintu ini. Pintu ini pun berbunyi dan bisa dibuka.
Wow! Ruangan apa yang ada di dalam kamar dan dikunci dengan sangat aman begini? Apakah ini adalah brankas tempat Tiff menyimpan barang berharga.
Dengan perlahan aku membukanya. Agar tidak terkejut, aku pun memasukkan kepalaku bertahap.
“Permisi,” izinku sebelum masuk. Bagaimanapun juga, ini ruangan milik Tiff. Bukan milikku.
Dan. WOW! Aku terkejut. Ini sangat di luar ekspektasi.
Segera kututup hidung karena debu benar-benar menyelimuti ruangan ini dan membuatku ingin bersin. Apa-apaan ini? Ini hanyalah sebuah area walk in closet tempat Tiff berganti baju dan bersiap. Tapi ... kenapa seperti ini?
Aku mendekati sebuah lemari kaca dengan lampu LED yang hanya menyala sebagian. Pintunya agak sulit untuk digeser, apa lemari ini rusak? Sepertinya Tiff tak pernah merawat barangnya.
Kuambil satu per satu baju yang ada di sana. Lalu aku cocokkan dengan gayaku yang seperti biasa. Ya, meskipun bertubuh gemuk, bukan berarti tak bisa untuk dibuat menarik. Banyak wanita bertubuh overweight yang terlihat sedap dipandang karena mampu merawat dan memperindah dirinya. Bentuk dan ukuran tubuh bukan masalah bagiku.
Ayo, Tiff, kita bersiap untuk menjadi cantik.
Sangat bersemangat aku memilih baju milik Tiff, karena semua baju ini bukanlah baju murahan. Baju-baju ini sangat ber-merek dan mahal, meski semuanya big size, namun baju pasti terlihat cantik jika dipakai.
Tunggu! Tapi kenapa selama ini Tiff tak pernah terlihat menarik? Pasti baju-baju ini, kan, yang selalu dipakainya tiap hari?
Kuraih salah satu baju biru muda yang menggantung. Aku mengingat bagaimana ketika Tiff memakai baju ini dulu. Dia gunakan dengan sarung tangan lalu sepasang boot yang berwarna senada. Saat itu entah Tiff merias wajahnya atau tidak, yang jelas aku hanya ingat dia menggunakan rambut palsu dengan warna mirip bajunya.
“Oh, tidak!” Aku pun duduk dengan lemas. Sekarang aku tau penyebab Tiff tak pernah terlihat menarik. Dia tak pernah menggunakan baju ini dengan benar. Mix and match yang dia lakukan benar-benar tak sesuai dengan fashion mode saat ini.
Baiklah, aku akan mulai mempelajari semua benda milik Tiff dan mencocokkannya.
Sebelum itu, mari kita lihat aksesoris yang ada di etalase perhiasan ini. “Wow, Tiffany! Benar-benar, penuh dengan perhiasan ber-merek Tiffany! Ini sangat mahal, tapi ....”
Aku pun teringat saat Tiff menggunakan tiga cincin dari telunjuk hingga jari manisnya, lalu anting panjang dan gelang bermacam-macam. “Oh, tidak!”
Diri ini merasa malu melihat Tiff yang seperti itu. Entah kenapa, karena mulai hari ini aku akan memerankan sebagai Tiff, namun mengingat bagaimana pandangan orang lain pada Tiff seperti apa, membuatku menciut seakan tak ingin keluar dari kamar.
Tiff, maaf! Sepertinya kita nggak bisa bertukar tempat, deh!
Aku mengeluh dalam hati. Sepertinya aku tak bisa membuat Kak Arthur menyukai wanita ini. Karena aku tahu sendiri, selama bekerja dengannya dia adalah orang yang sangat rapi dan menyukai kesempurnaan. Awalnya aku rela jika Kak Arthur menikah dengan Tiff, namun jika melihat Tiff seperti ini, rasanya aku ... tak bisa.
Tapi, kepada siapa aku menyampaikan keluhan ini? Apakah akan ada orang yang dengan sukarela membantu kami untuk kembali? Tuhan, maukah kaubantu aku?