Ternyata selain teman-teman di kampus, keluarga Ketua Arthur sendiri sangat membenci Tiff. Sebagai teman dekat Adrienna dulu, pantas saja jika dia selalu ingin menjodohkan Ketua Arthur dengan diriku.
Aku pikir hal itu semata karena Tiff merupakan wanita gendut yang buruk rupa. Ternyata hal itu disebabkan karena mereka memang membenci Tiff. Mama Ketua Arthur benar-benar menganggap pemilik tubuh ini seorang sampah.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa bangun dan menghadapi mereka? Jika ternyata hidup sebagai Tiff sangat menyeramkan seperti ini.
“Woy, Ndud!” Aku mendengar suara Ketua Arthur menutup pintu dan memanggil. Sepertinya mama dari Ketua Arthur telah pergi dari kamar ini.
“Woy!” Aku merasakan seseorang mengguncang Ketuaiku dengan kuat. “Bangun nggak? Aku sudah liat kamu bangun tadi! Sekarang mamaku sudah keluar, jangan pura-pura nggak sadar kau! Bangun!”
Sebuah sentuhan keras mengguncang bahuku. Aku pun terpaksa membuka mata.
“Ketua Arthur?” panggilku dengan suara yang aneh.
Ah, ini adalah suara milik Tiff. Sampai-sampai aku tidak mengenali suaraku lagi. Sungguh mengejutkan.
“Kan, kamu sudah sadar? Sejak kapan masih pura-pura pingsan? Dari kemarin?” tanya Ketua Arthur dengan sinis.
Aku pun menggelengkan kepala.
“Aku memang baru sadarkan diri tadi.” Kujawab dengan hati-hati dan suara yang lemah.
“Kenapa? Pas ada mamaku tadi kamu pura-pura masih koma? Kenapa?” Ketua Arthur sepertinya menginterogasiku.
Kugelengkan kepala saja. Karena sebenarnya aku pun tak tahu kenapa aku harus pura-pura tidak sadar lagi setelah mendengar ketukan pintu orang lain tadi.
“Sekarang jelaskan sama aku, kenapa kamu tiba-tiba kayak gini?” Kali ini Ketua Arthur duduk kembali di sofa tempat ia tidur tadi.
Sementara aku masih duduk di atas ranjang dan belum menggerakkan badan sedikit pun.
“Kayak gini bagaimana maksudnya, Ketua?” tanyaku pada Ketua Arthur.
“Iya .... Kenapa kamu bisa seperti ini?” ulang Ketua Arthur pada pertanyaannya.
“Aku ... tertabrak truk.” Aku menjawab seingatku saja.
Namun jawabanku tak membuat Ketua Arthur puas nampaknya.
Dia mengerutkan dahi dan memasang wajah aneh. “Jangan bercanda! Sejak kapan kamu tertabrak truk?”
Tiba-tiba saja Ketua Arthur membawa pergelangan tangan kananku. Belum sempat aku mengatakan bahwa aku tidak berbohong padanya, dia sudah terlebih dahulu berkata, “Lalu ini apa? Sayatan ini apa maksudnya? Tertabrak truk dari mana? Kau itu telah melakukan percobaan bunuh diri!”
Aku mengerjapkan mataku dan segera menutup mulutku yang ceroboh ini. Kenapa aku berbicara sebagai Tiffany? Aku ini Tiff! “Aku tidak ingat dengan hal itu. Kupikir aku tertabrak truk, tapi mungkin kejadian itu hanya terjadi dalam mimpi.” Segera saja aku ralat, daripada aku ditanyai lebih jauh oleh Ketua Arthur perihal hal ini.
“Jadi kau tidak ingat? Hal terakhir yang kamu ingat sebelum bunuh diri apa saja kalau begitu? Otakmu kausimpan di mana saat memutuskan hendak mengakhiri hidupmu sendiri?”
Terlihat sekali jika Ketua Arthur sangat membenci Tiff. Dari cara bicaranya, sungguh sangat berbeda dengan Ketua Arthur jika berbicara denganku sebagai Tiffany. Padahal Tiff adalah istri dari Ketua Arthur sendiri.
Kalau dibenci oleh suami sendiri, mungkin itulah alasan Tiff mengakhiri hidupnya sendiri.
“Anu ... Ketua ...? Apa kau sangat membenci pada Tiff?” tanyaku memberanikan diri.
Ketua Arthur menoleh menatap padaku dengan heran. Dan aku pun baru sadar akan kesalahan dari kalimat pertanyaanku.
“Ah, maksudku ... maksudku ... apa kau membenciku? Iya, apa kau sangat membenciku?” ralatku dengan segera.
Ketua Arthur pun mendekat padaku dengan wajah sinis. “Bukankah itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi? Aku. Sangat. Membencimu!” Ketua Arthur menegaskan padaku.
“Lagipula sejak kapan kau memanggilku ‘Ketua’? Kau ini tak ada hubungannya dengan organisasiku, kau juga bukan anggota dewan mahasiswa, sejak kapan kau memanggilku seperti itu?” tanya sinis dari Ketua Arthur.
Aku pun kembali tergagap oleh pertanyaannya. Bagaimana selama ini Tiff memanggil Ketua Arthur? Karena yang aku tahu, seluruh anak-anak di kampus memanggil saudara kembar dari Adrienna ini dengan sebutan Ketua Arthur.
“Ah ... em ... apa aku harus memanggilmu dengan sebutan, suamiku? Atau sayangku?” tanyaku yang jelas agak cringe. Jangankan orang lain yang mendengar, aku pun merasa aneh memanggil Ketua Arthur dengan sebutan seperti itu.
Ketua Arthur menggelengkan kepalanya. “Kau itu bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangan, tapi kenapa otakmu juga ikut rusak sih?" Dia memegang kepalaku lalu mendorongnya ke belakang. Setelah itu, nampak Ketua membalikkan badannya dan hendak keluar dari kamar ini.
“Anu ..., Ketua Arthur. Tunggu sebentar,” cegahku padanya.
Dia menghentikan langkah dan menoleh padaku. “Kenapa?”
“Emmm ... sudah berapa hari aku berbaring seperti ini? Dan pada hari apa tertabrak truk? Eh, maksudku ... hari apa aku bunuh diri?” tanyaku padanya.
Ketua Arthur menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. “Entahlah! Aku terlalu sibuk untuk mengingat kejadian tidak penting itu. Sekarang aku mau keluar dari kamar, kau mau masih pura-pura pingsan atau mau bangun dan keluar dari kamar ini terserah kau! Aku tidak peduli.” Setelah itu, Ketua Arthur pun pergi.
Aku masih saja duduk di atas ranjang dengan tubuh yang cukup berat menurutku. Segera kuraih ponsel IPhone milik Tiff dengan susah payah di atas nakas. Tubuh yang penuh dengan gumpalan lemak ini benar-benar membuatku kesulitan untuk mendapatkan barang milikku bahkan yang jaraknya tidak terlalu jauh sekalipun.
Ponsel itu segera terbuka dengan sensor wajah. Sebenarnya, kalau diminta password, aku tidak akan tahu harus memasukkan apa. Tapi untung saja ponsel ini bisa dibuka dengan sensor wajah dan sidik jari.
Aku benar-benar ingin tahu dengan kehidupan Tiff. Untuk sementara, petunjuknya ada di ponsel ini.
Segera aku buka kembali ponsel Tiff dan melihat pada what’s app miliknya.
‘Tiff, di mana pun kamu berada, aku minta maaf karena sudah membuka ponselmu. Ini semua kulakukan dengan terpaksa karena aku tiba-tiba berada di tubuhmu, aku hanya mencari tahu barangkali ada petunjuk yang bisa kugunakan untuk mengembalikan kita ke tubuh masing-masing.’ Aku berkata dalam hati dan berharap Tiff mendengarnya di mana pun ia berada.
Pertama harus aku buka chat dengan Ketua Arthur terlebih dahulu.
[Kak, kamu ingin dibelikan apa?]
[Kamu mau jam tangan dari Rolex yang keluaran terbaru?]
[Datanglah ke Hotel Grand Pacific! Aku sudah memesan meja untuk kita]
[Kenapa kau tidak datang? Kau tidak ingat apa yang akan terjadi jika kau tidak menuruti keinginanmu?]
[Terima kasih sudah menemani, saham milikmu aman]
Aku menutup mulut membaca chat Tiff dengan Ketua Arthur satu per satu. Tak satu pun pesannya dibalas oleh Ketua. Ini benar-benar yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Dan lagi ... sepertinya wajar jika Ketua Arthur membenci Tiff, sifat Tiff memang menyebalkan jika dilihat dari chatnya.
Apa dia tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain? Terutama dengan orang yang kita suka. Apa dia mengerti?
Kupikir jika pada orang yang disukai, Tiff akan berbeda. Ternyata sama saja.
Kututup ponsel milik Tiff dan menyimpannya di atas meja.
“Baiklah, istri Ketua Arthur yang berperut buncit! Mulai sekarang aku akan menunjukkan padamu bagaimana cara memikat Ketua Arthur dengan benar!”