6. Mereka Keterlaluan

1000 Kata
Apa Tuhan langsung mendengar do’aku? Tentu tidak. Berdo’a tidak sama dengan memesan pinjaman online yang hanya bermodal KTP langsung bisa cair. Pasti Tuhan sedang berpikir dulu dan mempertimbangkan do’aku. Jadi sekarang, di sinilah aku sekarang. Setelah drama memilih pakaian dan juga aksesoris untuk hari ini, aku pun keluar dari rumah dan pastinya mengejutkan semua orang. Kak Arthur tampak sedang mengunyah nasi goreng sebagai sarapannya. Namun seketika dia terbatuk ketika aku muncul di hadapannya. “Ini minumnya, kak.” Kutawarkan segelas air minum untuknya. Tak banyak bicara, Kak Arthur menerima air minum dariku sambil menatap aneh padaku. Tak hanya dia, tapi juga semuanya. “Kamu ... Tiff?” Adrienna bertanya yang kujawab dengan anggukkan penuh semangat. “Pagi, Na.” Aku menyapanya seperti biasa ketika kita bertemu di kelas. “Uhuk uhuk!” Kali ini Adrienna yang terbatuk. Ada apa dengan semua orang ini, kenapa semuanya mendadak tersedak melihatku? “Ini ... mama nggak salah lihat, kan?” Mama Kak Arthur masih menganga. Aku membungkukkan badan untuk wanita itu. “Pagi, Tan. Emm, Mama.” Lagi-lagi aku hampir salah memanggil mama Kak Arthur. Selama menjadi Tiffany, aku pernah beberapa kali bertemu dengan Tante Yohanna. Tapi bukan di rumah ini, melainkan ketika mereka berada di rumah yang dulu. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan keluarga Adrienna, yang jelas dia pernah bercerita jika keluarganya bangkrut dan rumahnya disita. Saat itu, pernikahan Arthur dengan Tiff adalah satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan perekonomian keluarga mereka. Tiba-tiba mama Kak Arthur pun bergidik. Apa aku salah menyapa? Sebegitu bencinya dia pada Tiff sampai untuk disapa saja enggan? Apa keluarga Kak Arthur ini tidak keterlaluan? Entahlah, yang jelas semua perlakuan mereka ini bukan untukku. Jadi aku tak perlu merasa sedih. Kruuyuk ... kruyuuk ... kruyuuk. Perutku tiba-tiba melilit. Melihat nasi goreng yang ada di piring Kak Arthur membuatku lapar. Aku menelan ludah berkali-kali, namun ... apa mereka mau makan bersamaku? “Kalau mau makan duduklah!” Meski sinis, tapi aku senang dengan tawaran yang diberikan Kak Arthur. Aku pun tersenyum mengangguk dan merasa girang. Kutarik sebuah kursi di samping Adrienna dan aku pun duduk di sana. “Hey, Mbrot! Ngapain duduk di situ?” Adrienna menghardikku? Tidak, dia menghardik Tiff. “Aku ... mau makan.” Masih kucoba untuk menjawab dengan santai. Adrienna melongo dan menatapku dengan aneh. Sambil mengedikkan bahu, dia kembali fokus pada makanannya dan mengabaikanku. “Nyonya Tiff?” Suara asing terkejut sambil menyebut nama pemilik tubuh ini. “Sssst!” Tante Yohanna melarang para pegawai yang histeris. Seketika suara-suara gaduh itu berhenti. “Cepat sajikan makanan untuknya,” ujar mama Kak Arthur. Aku diam memperhatikan Kak Arthur yang sedang makan. Dulu, ketika aku sedang mengerjakan laporan pertanggungjawaban atas sebuah acara, Kak Arthur pernah menawariku sebungkus nasi goreng. Dia mengatakan jika makanan kesukaannya adalah nasi goreng yang dimasak menggunakan tungku dan warung nasi yang menjual itu hanya satu, yaitu di tongkrongan dekat kuburan yang letaknya di persimpangan jalan. Biar kata dekat kuburan, namun nasi gorengnya sangat enak sehingga di sana cukup ramai dengan pembeli. Rasa hati bahagia mengenang masa itu, walau aku tahu jika Kak Arthur hanya merasa kasihan padaku, bukan karena dia memiliki perasaan khusus. “Nyonya, ini makanan untuk Anda.” Pelayan itu menyuguhkan berbagai macam makanan yang kebanyakan tak aku kenal. Lalu segelas s**u yang menjadi pelengkapnya. Aku melongo melihat makanan ini. Roti lapis dengan isi sayuran dan entah apa lagi. Roti-roti dengan bentuk kerang, mirip molen tapi ini terlalu mewah untuk sekedar disebut sebagai molen. Atau kue yang bertabur wijen, aku benar-benar tak tau ini apa namanya. Kenapa makananku berbeda? “Kenapa nggak dimakan, Tiff?” tanya ibu mertua dari wanita ini. Ah, sungguh sulit mengakui mama Kak Arthur sebagai ibu mertuaku, karena aku sampai saat ini masih belum bisa menerima jika aku adalah Tiff. “Anu ... aku ingin makan nasi goreng saja. Apa sudah tidak ada?” tanyaku sambil melirik pada pelayan. Lagi-lagi Adrienna tersedak, sementara Kak Arthur mengangkat wajahnya dan menatap ke arahku. Begitu pun dengan mama Kak Arthur dan pelayan lain. “Kau mau makan nasi goreng? Ini makanan orang miskin, Tiff? Kamu nggak salah?” Adrienna berkata demikian setelah ia menghabiskan beberapa teguk air dalam gelas. Sepertinya Tiff pernah menghina makanan orang-orang yang ada di rumah ini. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, jadi Tiff juga sesombong ini terhadap orang-orang di rumahnya. Kak Arthur masih belum memberi tanggapan lagi, ia terlihat tak peduli padaku dan berusaha melanjutkan makan. Pelayan pun membereskan semua makanan yang ada. Lalu ia mengganti menu untukku dengan sepiring nasi goreng yang sama dengan makanan mereka. Nasi goreng ini terlihat sungguh lezat, berbeda dengan nasi goreng buatanku yang hanya menggunakan ceplok telur lalu menggunakan bumbu dari kaldu bubuk dan kecap. Makanan ini terlihat sangat sempurna, apalagi untukku yang kelaparan. Kuhabiskan pelan-pelan nasi goreng tersebut, sampai aku tak menyadari jika semua yang ada di sana sedang memperhatikan kunyahanku. “Apa?” tanyaku tanpa dosa. Namun Adrienna menggeleng. “Udah lanjutin makan aja. Kau beneran suka nasi goreng?” Aku pun mengangguk girang mendengar Adrienna mengajukan pertanyaan untukku. Walau sikap sinis Adrienna bukan untukku, namun sejak tadi aku sakit hati olehnya. Jadi, satu pertanyaan dari Adrienna seakan mengobati luka hatinya. “Aku berangkat dulu!” Kak Arthur pamit untuk pergi. “Eh, tunggu, Kak!” cegahku padanya. Dia tak menyahut, hanya menghentikan langkah sambil menatapku. “Bukankah ini hari Minggu? Apa ada jadwal kuliah?” Kupegangi mulutku, kenapa aku bertanya demikian. Aduh! Namun untung saja, Kak Arthur hanya menatap diriku sejenak kemudian berlalu. Ia tak akan terlalu banyak bicara kepadaku yang berada dalam tubuh Tiff. Ke mana perginya Kak Arthur, ya? Pria itu pun pergi meninggalkan rumah setelah itu disusul oleh Adrienna dan juga Tante Yohanna, yang masing-masing memiliki kegiatan. Aku akhirnya bingung ketika di tempat makan ini tiba-tiba kosong, para pelayan pun pergi dari hadapanku. Diri ini sendiri, mereka tak mau menemaniku walau hanya sekedar duduk berhadapan. Apa Kak Arthur memiliki wanita yang disukainya? Sepertinya benar, hal itu yang membuat dia yang selalu berpaling dari istri. Ya, Kak Arthur berselingkuh dengan calon wanitanya. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN