05 - Cara Menyayangi

2151 Kata
Menjelang magrib Gilang dan Ayara baru saja sampai di rumah. Tentu saja Gilang hanya terlihat seorang diri, pria itu langsung memarkirkan kendaraannya di garasi, bersanding dengan mobil sang papa. Siial! Sepertinya, memasuki rumah nanti Gilang tidak akan dibiarkan lolos begitu saja karena pulang telat. Mengucapkan salam dan mendapati jawaban salamnya, Gilang merasa gugup saat mama, papa, dan juga adiknya berkumpul di ruang tamu. Lebih tepatnya, Luna tengah mengerjakan PR dengan dibantu Novi. Gilang lantas menyalimi tangan mama dan papanya. Sejak masuk ke dalam rumah, tatapan papa Gilang memang sudah terlihat dingin. Ah, sudah tak ada tempat untuk kabur dari pria disiplin itu. Gilang pun pasrah saat diinterogasi. "Gilang, kok baru pulang? Apa bimbingan belajar kamu sudah mulai masuk?" tanya lembut Novi pada putranya. Gilang pun kemudian mendudukkan dirinya di hadapan seluruh anggota keluarga kecilnya itu. Ia tersenyum tipis dan menjawabi pertanyaan Novi, "Iya, Ma. Tadi Gilang masih ada keperluan dengan Efendi. Bimbingan belajar Gilang baru mulai masuk minggu depan, Ma." Ayara yang turut duduk di sana pun menjadi saksi bagaimana seorang Gilang ternyata merupakan anak yang jujur. "Anak baik dan juga kakak yang hebat, memang harus menjadi pribadi yang jujur seperti ini, Gilang! Bagus," puji Ayara dengan memberikan jempolnya. Sayangnya, Gilang mengabaikannya, karena pria itu tengah fokus menatap mama dan papanya. "Bagus! Kegiatan kamu sepulang sekolah semakin tidak jelas. Kamu habis main basket, Gilang?" Tatapan tajam milik papa begitu menghujam. Gilang rupanya lupa akan suatu hal. Kali ini, Gilang berbohong. Ia menggeleng. "N--nggak kok, Pa." Apa tanggapan Eri? Tersenyum miring dengan tatapan menyipit, seolah tengah menyelidik. "Dari penampilan kamu yang seperti ini, kamu berharap Papa akan percaya dengan jawabanmu?" "Pa.. sudah." Novi mulai khawatir apabila terjadi sebuah ledakan amarah yang tertahan. Jika pembicaraan sudah mengenai pembahasan basket, Eri memang tidak pernah menyukai hal tersebut. Eri tidak mengizinkan Gilang mendekati kegiatan tersebut. Bahkan, dulu saat Gilang duduk di bangku kelas X, ia pernah menjadi seorang kapten tim basket di SMA-nya. Karena memang kemampuan basket Gilang sudah sangat baik, terlatih sejak SMP. Basket pun juga merupakan hobi Gilang, banyak pula mencetak prestasi yang mengagumkan. Sayangnya hanya bertahan setengah tahun saja, karena setelahnya Eri memaksa Gilang untuk keluar dari tim basketnya. Lantas, apalagi yang bisa Gilang lakukan selain menuruti segala perintah Eri? Belajar dengan rajin, padahal selama bergabung menjadi tim basket--nilai Gilang cukup stabil. Namun, Eri meyakini. Nilai putranya akan semakin mengagumkan dalam mata pelajaran sehari-harinya, saat ia sudah tidak menekuni hobinya itu. Tetapi, dibalik sikap penurut Gilang. Hatinya yang sebenarnya hancur, siapa yang tahu? Bagaimana bisa ia melupakan hobinya begitu saja. Maka dari itu, Gilang kerap mencuri-curi waktu untuk bermain basket di lapangan sekolahnya saat semua murid-murid sudah mulai meninggalkan sekolah. Hanya Efendi-lah yang tahu bagaimana terpuruknya Gilang saat sang papa melarangnya berada di dunia basket. Penampilan Gilang yang kancing seragamnya terbuka semua, sehingga menampilkan kaos hitam yang dikenakannya di dalam, membuat Eri yakin seratus persen. Bahwa putranya itu baru saja bermain basket sepulang sekolah. Pasalnya, Eri pun merupakan seorang papa yang jeli dengan penampilan putranya. Dahulu, memang kebiasaan Gilang sepulang sekolah bermain basket, pulang ke rumah dengan penampilan seperti ini--sudah biasa. Akan tetapi, tidak dengan sekarang. Keadaan sekarang sudah berbeda. "Gilang, nggak apa-apa kok bohong demi kebaikan." Ayara turut bersedih hati saat ia mengetahui ekspresi Gilang sudah berubah mendung seperti ini. Hatinya turut merasakan kesedihan yang dialami oleh Gilang. Kini, Ayara tahu. Gilang sebenarnya berusaha sekuat tenaga untuk melakukan apa yang papanya perintahnya, namun terkadang pengendalian dirinya tidak begitu kuat. Mau bagaimana lagi, masa remaja memang masa yang berapi-api bukan? Ibarat, kita menginginkan hal tersebut--maka siapapun di muka bumi ini, sepertinya akan sulit menjadi penghalang. "Maafin Gilang, Pa." "Bersihkan diri kamu, siap-siap makan malam." Setelah berucap demikian, Eri langsung meninggalkan ruang tamu. Menyisakan Novi yang menatap putranya dengan tatapan iba penuh kasih sayang. Seorang ibu memang dirasa lebih tahu bagaimana perasaan putranya sendiri. "Gilang, kamu lebih berhati-hati lagi ya besok? Kamu 'kan tahu bagaimana Papamu." Bertolak belakang dengan Eri. Novi begitu mengerti Gilang dalam hal yang satu ini. Itulah yang hingga saat ini selalu menguatkan Gilang saat hobi alias dunianya direnggut paksa untuk terhapus dari masa remajanya. Gilang mengangguk. "Iya, Ma. Tadi lupa mau benahin baju. Gilang bersih-bersih dulu ya, Ma." Novi pun hanya mengangguk, kemudian kembali larut dalam kegiatannya membantu Luna mengerjakan PR. Ayara masih terdiam di tempat duduknya. Ia tidak ingin memancing kemarahan Gilang. Toh, Gilang harus membersihkan dirinya di kamar mandi. Dan, kali ini--Ayara membiarkan Gilang menguasai kamar pribadinya itu seorang diri. Tanpa Ayara, Gilang mungkin akan jauh lebih baik menenangkan dirinya sebelum makan malam bersama dengan keluarga kecilnya itu. "Ma, nomor delapan ini sudah benar?" Suara itu berasal dari bibir mungil Luna. Adik Gilang itu wajahnya sedikit pucat, mungkin ketakutan juga dengan bagaimana cara sang papa menghakimi Gilang. Meskipun tidak sampai meninggikan suaranya, nada dingin Eri sanggup membuat putra-putrinya ketakutan dan tidak pernah melawan. "Benar, Sayang. Luna, hebat!" Novi mengecupi pipi Luna dengan gemas. Ah, senyum Ayara lagi-lagi melebar. Diam-diam, hati kecil seorang arwah seperti Ayara menghangat. Rupanya ia merindukan momen dirinya berada di posisi Luna. Andai saja Ayara mengingat siapa kedua orang tuanya, sudah pasti ia akan menemui mereka berdua. "Ma.." "Iya, Luna Sayang?" "Kak Gilang kenapa nggak boleh main basket, Ma? Luna kangen main bareng Kak Gilang di lapangan basket belakang rumah. Biasanya Luna suka gangguin Kak Gilang." Merasa terharu mendengar pernyataan Luna yang rindu menghidupkan suasana lapangan basket di belakang rumah yang kini sudah terbengkalai, Novi pun segera memeluk gadis kecilnya itu. "Kak Gilang 'kan sudah kelas dua SMA, jadi..Papa kepengennya Kak Gilang fokus belajar, Luna." "Tapi 'kan Kak Gilang juga selalu belajar setiap hari meskipun suka main basket? Kak Gilang kelihatan sedih, Ma. Luna nggak suka lihatnya." Ternyata, dibalik pertengkaran kecil yang sering terjadi diantara Luna dan Gilang. Tersimpan kasih sayang seorang adik perempuan kecil yang begitu tulus pada kakaknya. "Luna so sweet banget sih! Gemes deh.." "Yaa sudah, nanti kamu hibur Kakakmu ya?" "Oke, Ma. Luna masuk kamar dulu ya, Ma!" Luna pun segera membereskan buku-bukunya, lalu berjalan menuju kamarnya. Gadis kecil itu memang sudah mempunyai kamar sendiri. Setelah Luna beranjak, Ayara pun juga berniat untuk beranjak. Entah kemana, yang jelas untuk saat ini--Ayara akan membiarkan Gilang menguasai kamar pribadinya seorang diri. Ah, mungkin ke dapur saja! "Maafin Mama ya, Gilang. Mama nggak bisa menentang keputusan Papamu. Jangankan menentang keputusannya, membelamu saja Mama masih kewalahan.." ujar Novi seorang diri. Tentu Ayara mendengar itu semua. Tatapan Novi begitu sedih. Ayara pun juga merasakan kesedihannya. Kesedihan seorang ibu yang merasa belum bisa menjadi ibu yang baik untuk putranya. Tetapi, Ayara yakin bahwa Gilang tidak pernah mempermasalahkan apa yang mamanya ucapkan barusan. Ya, Gilang bahkan selalu menganggap bahwa hanya mamanya-lah yang diam-diam paling mengertinya. "Gilang sangat beruntung karena memiliki seorang Ibu seperti, Tante. Ayara yakin itu." Arwah Ayara pun mencoba merengkuh Novi meskipun selalu saja tidak bisa karena tangannya menembus tubuh Novi. Tak apa, setidaknya Ayara sudah mencobanya. Andai saja Ayara masih hidup, ia pasti akan menenangkan Novi secara langsung. *** Makan malam pun berjalan seperti biasanya. Sedikit dingin hawa malam ini, tak terkecuali dengan obrolan yang sempat terjadi. Tidak sehangat dan seramai biasanya. Namun, ungkapan permintaan maaf Eri membuat Gilang menghentikan pergerakan sendoknya. "Maafkan Papa soal tadi. Papa hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Gilang. Dan Papa rasa, berhenti dari kegiatan tidak jelasmu itu akan membuat kamu menjadi seorang siswa yang lebih berprestasi. Terutama dalam mata pelajaran sehari-harimu." Meskipun kesal karena hobinya disebut sebagai kegiatan tidak jelas, Gilang tetap berusaha mengontrol dirinya. Ia tersenyum tipis dan mengangguki ucapan papanya. Cukuplah hal itu yang bisa Gilang lakukan. Mau bagaimana pun juga, untuk saat ini--Gilang belum berani menentang sang papa untuk memperjuangkan kebebasannya masuk ke dalam dunia yang digemarinya. "Oh ya, mengenai ekstrakulikuler. Papa sarankan kamu untuk masuk ke ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR), atau..kalau kamu mau mencoba yang lebih santai dan bisa kamu jadikan sebagai hobi barumu, kamu bisa masuk ke dalam ekstrakulikuler fotografi. Papa suka dengan dunia fotografi, karena menurut Papa, fotografi itu dunia dimana kita bisa mengukir kenangan dengan sempurna. Kamu bisa pakai kamera Papa. Tapi kalau mau yang baru, kita bisa beli kamera bersama. Bagaimana?" Tanpa berpikir panjang. Gilang tentu lebih memilih ekstrakulikuler fotografi. Ia sudah cukup berjibaku dengan materi di kelasnya. Jika harus memilih ekstrakulikuler KIR, sepertinya ia tak akan sanggup, dan tidak akan bisa maksimal. "Gilang mau kamera baru, Pa.." putusnya. "Oke. Besok kita beli." "Makasih, Pa." Eri hanya mengangguk-angguk dan kembali melanjutkan makan malamnya. Seusai makan malam, Gilang memang sudah lebih dulu pergi ke kamarnya. Ayara sendiri memutuskan untuk menemani Novi yang tengah membereskan meja makan itu. Memang kehadiran Ayara akan sia-sia saja, karena dirinya tidak terlihat. Namun bukan berarti Novi tidak merasakan apapun, entahlah beberapa kali Novi berbicara seorang diri, mengungkapkan bahwa dirinya merasa tidak sendiri. Terakhir, setelah kegiatan Novi usai. Wanita cantik itu segera berlari kecil menuju kamarnya. "Sepertinya Tante mulai merinding karena Ayara. Maafin Ayara ya, Tante.." "Ngapain lo masih di sini?" Suara itu! "Gilang!" Ya, Gilang rupanya hendak mengisi gelas kosong di tangannya itu. Mengabaikan pekikan Ayara yang terkejut dengan suara tanyanya barusan, Gilang segera mengisi gelasnya dengan air dari dispenser air. "Jangan coba-coba nakutin Mama gue. Awas lo.." peringat Gilang dengan tatapan tidak bersahabat. Ayara lantas menghela napasnya. "Aku nggak nakutin Mama kamu kok, Gilang. Mau nemenin Mama kamu--" "Emang Mama gue bisa lihat lo? Enggak 'kan? Jadi, stop bertingkah seperti manusia, karena lo itu hantu, Ayara." "Lebih baik jadi hantu tapi baik hati, daripada jadi manusia tapi tingkahnya menyaingi setann, jahat." "Nggak ada pernyataan 'daripada', lo emang hantu." Gilang pun bergegas kembali memasuki kamarnya. Kali ini Ayara mengikuti Gilang. Sepertinya Gilang sudah baik-baik saja setelah insiden teguran papanya tadi. Jadi, malam ini, Ayara tidak akan membiarkan Gilang menguasai kamarnya seorang diri. "Gue mau istirahat, awas lo ganggu gue." "Ya udah istirahat. Enggak aku ganggu kok, Gilang." "Hm." Gilang pun berbaring, menata tubuhnya dengan senyaman mungkin. Bergegas hendak berlayar ke alam mimpi. Baru beberapa saat lampu kamar berganti lampu kecil berwarna kuning yang menciptakan suasana remang-remang. Ayara yang mulai bosan karena harus mendengar denting jarum jam itu pun menghembuskan napasnya. Ia menyaksikan Gilang telah memejamkan matanya dengan sempurna. Akan tetapi, mendengar ritme napas Gilang. Ayara yakin, Gilang belum tidur. Pria itu hanya memejamkan matanya. "Gilang, aku tahu kamu belum tidur. Kalau kamu nggak bisa tidur, kita bisa ngobrol-ngobrol selayaknya seorang teman. Yaa..setidaknya jangan pendam semuanya sendirian. Nanti kamu sakit sendiri, Gilang." "Tahu apa sih lo?" tanya Gilang dengan nada rendah. Suaranya pun terdengar seperti orang yang berbisik. "Kita pergi ke lapangan basket yang ada di belakang rumah kamu, yuk! Kayaknya aman deh, Papa dan Mama kamu juga sudah tidur," ajak Ayara dengan semangat empat-lima. Karena kini, tanpa diduga oleh Gilang--Ayara sudah mendudukkan dirinya di ranjang Gilang. Apa-apaan hantu itu!? Selalu saja berulah! "Ayooo Gilang..." Ayara mulai menarik tangan Gilang. "Apa-apaan sih lo!? Udah malam tahu nggak? Lo kalau mau ketemu sama temen lo, mending pergi sendiri deh! Gue nggak minat ketemu hantu-hantu lainnya." "Astaga, jadi kamu takut Gilang?" "Enak aja! Siapa yang takut!?" "Dari ucapan kamu tadi, aku bisa menyimpulkan kalau kamu sebenarnya takut sama hantu. Tenang aja, Gilang. Selama ada aku, hantu-hantu itu nggak bakalan gangguin kamu. Lagipula, di belakang rumah kamu sepertinya aman. Aku nggak ngerasain hawa-hawa aneh." "Lo emang bener-bener seetan ya, Ayara!" Kata 'seetan' yang keluar dari bibir Gilang barusan merupakan sebuah kekesalan yang akhirnya meledak. Ayara sendiri hanya menganggap ucapan Gilang sebagai pernyataan bahwa Gilang mengetahui identitasnya yang bukan manusia. "Yuk!" Pasrah, Gilang pun menyingkirkan selimut tebalnya dengan kasar. Benar kata Ayara, Gilang memang belum bisa tertidur. Ia butuh udara segar. Dan, lapangan basket di belakang rumahnya merupakan tempat yang pas untuk dikunjunginya malam ini. "Dari mana lo tahu kalau di belakang rumah gue ada lapangan basketnya?" "Rahasia!" seru Ayara yang lantas menjulurkan lidahnya guna mengejek Gilang. Ayara memang bertingkah selalu tahu segalanya. Ah, Gilang lupa. Ayara 'kan memang seorang hantu, tempat apapun di dalam maupun di luar rumahnya--Ayara pasti tahu. Melihat Gilang yang hanya terdiam saja. Ayara kemudian bersuara, "Aku tahu dari Luna, Gilang. Aku juga dengerin percakapan Luna sama Mama kamu." "Mereka ngomongin apa aja? Pasti Luna ngompor-ngomporin Mama gue. Dasar bocil!" Ayara terkekeh karena ucapan Gilang barusan yang sungguh salah besar. Saat mereka berdua sampai di lapangan basket yang berada di belakang rumah. Perlahan langkah Gilang menuju sebuah tempat sakelar lampu. Dan, lampu pun menyala. Memang tidak seterang yang ada di dalam rumah. Namun cukup nyaman untuk menjadi tempat pelepas penat, mencari udara malam. "Untung aja jendela kamar orang tua gue letaknya nggak bersebelahan sama tempat ini." Ayara mengangguk, ia mengerti dengan maksud dari kelegaan Gilang barusan. "Kehalang dapur 'kan? Makanya aku bilang 'aman', Gilang." "Lo belum jawab pertanyaan gue. Luna ngomporin Mama gue 'kan?" "Gilang, coba deh kamu sesekali lihat bagaimana cara Luna menyayangi kamu sebagai kakaknya? Aku rasa, cara berpikir kamu tentang Luna harus diubah. Luna bukan bocah cilik yang akan bertingkah seperti yang ada dipikiran kamu itu." "Ngomong lo muter-muter, pusing gue dengarnya." "Luna, adik kecil kamu itu sangat menyayangi kamu. Anak sekecil itu bahkan peduli dengan kebahagiaan dan juga kesedihan kamu, Gilang." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN