Masalah di Hari Pertama

1225 Kata
Untuk ke sekian kali aku melempar pandang pada jam digital yang menggantung di bagian atas bus. Sudah setengah jam bus melaju hingga sekarang pukul enam lewat tiga puluh menit, tapi belum juga sampai ke sekolah. Kepalaku terasa pusing. Keringat sudah dari tadi bermunculan di kening. Perutku pun mulai ingin memuntahkan isinya. Aku mengerjap. Sialan. Bus kembali bergoyang. Batinku mengucap sumpah serapah pada pihak yang enggan memperbaiki jalan ini. Apa mereka tidak tahu bahwa lubang-lubangnya sudah hampir sebesar kolam ikan? Tangan kananku meremas perut. Sementara tangan kiriku berpegangan pada punggung kursi penumpang di depanku. "Hara, kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Fiona bagai serangan yang datang dari arah tak terduga. Akan gengsi mengakui kalau aku sedang mabuk perjalanan. Aku pun pura-pura sehat dengan mengangguk. "Hmm," kataku. "Awas!" teriak beberapa murid. Aku menegakkan kepala. Terlihat kawanan kera menyeberang jalan di depan bus kami. Mereka muncul dari gugusan hutan di sebelah kiri jalan. Terdengar bunyi decitan rem. Bus seketika berhenti. Seisi perutku seolah melambung di udara. Bergerak naik mencapai puncaknya. Jiwaku meronta. Jangan sekarang! Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sayangnya aku tak bisa menahannya lagi. *** Lagi dan lagi. Hidungku harus berakraban dengan aroma mint khas minyak aromaterapi. Kali ini bukan karena pingsan, melainkan muntahan yang baru saja keluar dari mulutku. Rasanya memalukan, sampai aku tidak berani mengangkat wajah usai turun dari bus. Cairan muntahannya tidak terlalu banyak. Hanya sedikit mengenai rok di paha kiriku. Mungkin karena tadi sebelum berangkat aku hanya sarapan roti sobek. Meski begitu, tetap saja aku merasa bersalah pada Pak Sopir bus. Karenaku pekerjaannya jadi bertambah. “Maaf ya, Pak!” ucapku menunduk kepada Pak Sopir. Dengan ramah, si sopir itu membalasku. “Sudah… sudah, tidak apa-apa. Masuklah dan belajar.” “Ta–tapi…” Fiona meraih tanganku. “Tenang saja. Kalau Pak Sopir bilang tidak apa-apa, berarti kamu tidak harus memikirkannya.” Akhirnya, aku menggangguki argumen Fiona dengan tetap mengantongi perasaan tidak enak kepada Pak Sopir. Aku meninggalkan bus sekolah dan berjalan dengan Fiona di sebelahku. Di depanku, terdapat gerbang dan gapura yang tinggi bertuliskan East Neilborn Coal School. Kepalaku memutari bangunan sekolah yang cukup besar, tetapi tidak lebih besar dari sekolah lamaku. Gedung sekolah ini bergaya klasik dengan bagian yang paling mencolok adalah tata letak jendelanya yang teratur serta pilar-pilarnya yang besar dan tinggi. Di antara gedung bertingkat dua yang ada, aku mencari bangunan yang terlihat seperti kamar mandi. Kupikir selagi jam masuk kelas belum dimulai, aku harus membersihkan noda muntahan di rokku sebelum mengering. Selain itu, aku perlu membasuh wajahku untuk menghilangkan rasa pening. "Hara? Kalau sakit, kamu istirahat saja di ruang kesehatan. Nanti aku yang akan mengurus ijinnya." Fiona memberi saran. "Sebenarnya aku merasa kurang enak badan. Tapi, apa tidak apa-apa?" "Ah, jangan sungkan seperti itu. Di sekolah ini cenderung santai, kecuali tentang ... tugas. Biasanya tidak ada toleransi." "Begitu, ya. Terima kasih." Aku membalas senyuman Fiona. "Tapi, sepertinya aku perlu ke kamar mandi dulu, Fio." "Oke. Aku akan mengantarmu. Belum tahu letak kamar mandinya 'kan?" "Hmm. Maaf karena merepotkanmu." "Hei, ingat? Kita sudah menjadi teman. Aku justru senang ketika membantumu." Dengan semangat, Fiona lalu menggandeng lenganku. Aku merasa bersyukur sekaligus tidak percaya bisa mendapat teman baru yang baik hati seperti Fiona. Sesuai arahan Fiona di sampingku, kakiku melangkah hingga kami melewati area parkir sekolah. Kehadiranku sebagai murid baru membuat murid lain yang sedang di area parkir yang cukup luas itu serempak menoleh. Seperti biasa, aku yang tidak tahan dengan serbuan tatapan, kembali menunduk. Lebih nyaman memandangi paving block area parkir yang kupijak daripada membalas tatapan asing mereka. Aku berusaha tak menghiraukan berbagai spekulasi buruk. Namun, kalaupun saat ini ada yang menganggapku gadis yang menyebalkan atau aneh, dengan tulus aku tidak akan tersinggung. "Awww!" Refleks, aku memekik ketika badan sebelah kiriku terasa seperti terhantam sesuatu yang keras. Kemudian, kulihat sesuatu yang keras itu memiliki roda yang bergerigi. Aku mengangkat wajah penasaran. Benar saja. Aku baru saja terserempet sepeda motor trail. “Hara, apa dia benar-benar menabrakmu?” “Tidak apa-apa, Fio. Tenang, aku baik-baik saja.” Aku berusaha menenangkan Fiona, walaupun sebenarnya lengan kiriku sedikit terasa pedih. "Dam!" Fiona berseru pada pengendara sepeda motor itu. "Kebiasaan buruk, ya? Bisa tidak kamu mengendarai motormu lebih hati-hati? Motormu itu baru saja menabrak murid baru sekolah kita!" Lelaki yang kuasumsikan bernama Dam itu tidak menjawab Fiona. Ia justru memandang ke arahku. Memberiku tatapan intens dari balik helm full face-nya yang berwarna hitam, selaras dengan warna motor serta jaket yang dikenakannya. Otomatis aku tertunduk risih. "Ayo, Hara. Percuma saja mengharapkan lelaki itu minta maaf. Dam tidak akan melakukannya." Fiona kembali menuntun lengan kananku menuju bangunan berpintu bertuliskan 'Toilet'. "Jadi namanya Dam?" tanyaku, sebelum masuk ke dalam toilet yang dari luar tampak suram. "Ya. Dam Chevaler. Dia satu angkatan dengan kita, berbeda kelas. Tapi cukup kamu tahu nama dan kelasnya saja. Untuk berurusan dengannya, lebih baik jangan." "Ke–kenapa?" "Karena Dam berbahaya. Sekali berurusan dengannya, ke depan kamu akan sulit menghindar." *** “Baiklah, Hara. Sementara waktu, kamu bisa menggunakan ruangan ini untuk beristirahat. Saya akan kembali dan memandumu ke kelas setelah jam pertama berakhir.” Seorang Ibu Pendidik berkata kepadaku dengan mimik wajahnya yang ramah. Ibu itu berambut hitam pendek dan usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan Ayah. Ia memakai setelan seragam khas pendidik ENC School yaitu kemeja putih bawahan warna biru tua, serta jas lengan panjang berwarna hitam. “Baik, Bu. Terimakasih!” ucapku lalu Ibu itu menutup pintu dari luar ruangan. Aku mendesah. Kalau bukan karena rasa pening di kepalaku yang sulit kukendalikan, sebenarnya aku tidak ingin menggunakan jam pertama sekolahku dengan berbaring di ruang kesehatan. Tidak ada pilihan lain, aku pun menerima takdirku ini. Kuperhatikan ruang di sekitarku yang cukup lapang dan didominasi warna putih, terlihat sangat terawat, bersih, dan memiliki sirkulasi udara yang bagus. Jendela- jendela berderet di seluruh dinding ruang menyalurkan cahaya matahari pagi yang terang benderang. Sekarang aku tahu, suasana pagi di pulau Neilborn sama hangatnya seperti saat siang di kota asalku. Tidak heran kalau Neilborn memanfaatkan tenaga surya untuk berbagai macam keperluan listrik. Mencoba duduk, aku meraih secangkir teh hangat yang tadi disiapkan oleh Ibu Pendidik di atas nakas. Setelah dua teguk teh hangat membuatku lebih baik, aku meraih tasku dan mengambil ponsel karena ingat perkataan Ayah bahwa di sekolah ini terdapat fasilitas wifi. Tidak ada hal lain yang kupikirkan saat memeriksa handphone kecuali ingin menghubungi Kina Eshli, sahabatku yang tinggal di kota asalku. Signal wifi menunjukkan kekuatan yang cukup bagus, tetapi tidak berarti apa-apa karena aku belum tahu password-nya. “Oh, seharusnya tadi aku menanyakan kepada Fiona atau Ibu Pendidik,” keluhku. Tanpa melepaskan handphone-ku, aku memeriksa keadaan di luar ruang kesehatan melalui jendela. Posisi jendela itu sejajar dengan kepalaku ketika aku berdiri, jadi dengan mudah aku bisa melongok ke luar. Aku tengak-tengok hingga pandanganku tertuju pada dua orang murid laki-laki yang berdiri saling berhadapan di koridor sebelah kanan. Dalam pandanganku keduanya terlihat seperti angka 10. Yang satu bertubuh kurus tinggi di atas rata-rata, dan satunya lagi–yang terlihat sedang mengacung-acungkan telunjuknya pada lelaki di depannya–berpostur gempal. Di dalam koridor yang sepi itu, posisi mereka tidak begitu jauh, sehingga aku bisa sedikit mendengar apa yang mereka bicarakan. Napasku tersentak saat menyadari kata yang berulang kali mereka lontarkan. D-E-M-O-N? Lalu dari pembicaraan mereka yang tidak begitu jelas, kata demon tersebut dihubungkan dengan kata ... murid baru? Siapa murid baru yang mereka maksud? Apakah aku? Apa hubungannya aku dengan demon? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN