Belum selesai aku berpikir, kurasakan tubuhku kembali melayang. Di luar ekspektasiku, si pemilik mata hazel menegakkan tubuhku, membuatku berdiri dengan satu kali gerakan tangannya yang cepat. Rasanya seperti bobot tubuhku tidak ada apa-apanya dan terlalu ringan untuk ototnya.
Sekarang aku berdiri tepat satu langkah di hadapannya. Aku gugup sekaligus sadar bahwa pada moment ini aku harus mengucapkan sesuatu, seperti terima kasih atau kalau perlu maaf karena telah merepotkannya.
“A…a….”
Aku mengutuk diriku sendiri karena yang keluar hanya kegagapan disusul siulan angin yang berembus melewati sela-sela rambutku. Angin yang lembut, tetapi tidak membuatku merasa tenang sama sekali. Kujatuhkan pandanganku ke tanah setelah melihat sekilas kepada pria pemilik mata hazel itu yang masih berdiri tegap dengan rambut coklatnya tertiup angin seolah menunggu respon dariku.
“Ngomong-ngomong apa kamu tahu?” si pria hazel itu akhirnya memulai percakapan dengan suaranya yang datar. “Banyak yang memimpikan umur panjang tetapi kulihat kamu seperti manusia yang bosan hidup.”
Bosan hidup? Aku sempat berhenti bernapas selama beberapa detik untuk mencerna kata-katanya yang frontal itu. Aku berharap ada kekeliruan dari pernyataan yang baru saja kudengar. Kuberanikan mengangkat wajah dan sesuai dugaanku tidak ada tanda-tanda keramahtamahan yang bisa ditemukan pada ekspresi wajahnya.
“...Apa?” tanyaku. “Apa maksudmu?”
“Begitu saja kamu tidak mengerti?” balasnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan sehingga perawakannya yang tinggi memenuhi penglihatanku. Meskipun memakai jas almamater dan seragam yang sama denganku, tetapi aku bisa membayangkan dia memiliki fisik yang kokoh dan secara tidak langsung mengintimidasi gadis lemah sepertiku. Demi rasa aman, aku memilih diam. Dia terdengar menghela napas sebelum menegakkan dirinya lagi seperti baru saja dihampiri rasa putus asa. “Ya, tentu saja kamu tidak mengerti. Kamu hanya gadis kota. Kalau begitu lupakan saja!” katanya.
Sekali lagi, tatapan mata hazelnya menajam, dan yang membuatku bergidik wajahnya yang semula kupikir cukup tampan itu kini lebih mirip seperti wajah binatang buas yang menggeram padaku. Kenapa? Apa aku baru saja melakukan kesalahan besar kepadanya? Aku yang mendapat serangan verbal secara sepihak ini, tercengang. Mata biruku terbuka lebar dan berkedip-kedip karena heran.
Dia lalu membuang wajah sambil mendengus. “Dasar gadis kota. Lebih baik cepat-cepat kamu tutup mulutmu sebelum ada serangga yang masuk.”
Dua kalimat terakhirnya menimbulkan gema yang nyaring di dalam kepalaku. Aku cepat-cepat mengkondisikan mulutku yang tak sadar memang sedang menganga. Oh, sial! Pria hazel itu lalu berjalan mendahuluiku menuruni bukit dengan menyeringai, sementara aku masih berdiri kaku seperti patung dengan wajah bodoh dan tak terima tetapi tidak mampu membalas apa-apa.
Kupikir pria hazel itu keterlaluan. Hanya karena dia memiliki mulut, bukan berarti dia bisa mengatakan apa pun seenaknya kepadaku, terlebih bukankah aku dan dia belum saling mengenal? Aku bahkan tidak tahu namanya dan dari mana asalnya. Aku mengambil napas, sebisa mungkin mengumpulkan ketenanganku kembali. Jika aku gadis yang dingin, maka pria bermata hazel itu lebih mirip semacam bebatuan beku. Wajahnya masam, tetapi mengesalkan karena dia bisa mengendalikan sikapnya sehingga tampak begitu percaya diri–tidak sepertiku.
"Hei, Nona! Ayo, cepat naik!"
Aku terperanjat dan menoleh ke sumber suara, pada seorang laki-laki berkumis yang kepalanya menyembul dari jendela supir bus sana. Ia memberiku tatapan peringatan agar aku bergegas. Aku mengangguk lalu kembali berlari kecil untuk naik bus yang bertuliskan East Neilborn Coal (ENC) School itu. Kali ini tentu saja dengan lebih hati-hati.
Ketika akan menaiki bus, kulihat sepatu hitamku sedikit terkena lumpur, tetapi… ah, sudahlah. Biarkan saja. Mungkin nanti akan kubersihkan jika sudah sampai di sekolah. Kuteruskan langkahku hingga sampai di tangga pintu bagian depan bus.
Segera kuraih tiang dekat pintu untuk berpegangan. Kemudian mataku menelusur seisi ruang bus. Lalu… tiba-tiba seperti ada jurang yang menganga lebar di hadapanku, siap menyedot dan menenggelamkanku dalam perasaan kikuk tak tertahankan.
Sistem pertahanan tubuhku bereaksi tanpa ampun ketika hampir seluruh murid di dalam bus itu menoleh padaku kemudian menatapku. Sudah bisa kubayangkan, aku yang tidak pernah suka menjadi pusat perhatian ini sekarang menjadi sepucat dan setegang apa. Semua mata tertuju kepadaku kecuali si pemilik mata hazel yang duduk di kursi belakang sopir karena dia langsung membuang wajah begitu aku datang. Dia satu-satunya orang yang mengabaikanku, mungkin aku akan memilih duduk di kursi kosong di sebelahnya seandainya kejadian sarkasme tadi tidak terjadi.
Menjadi pusat perhatian? Oh, tidak! Itu adalah ide yang buruk bagi introvert sepertiku.
Aku menghela napas, mencoba menemukan ketenangan diriku lagi, dan dengan kaki yang nyaris gemetar, kuabaikan serbuan tatapan yang mengarah padaku itu dengan fokus mencari kursi kosong. Dari beberapa kursi yang masih kosong, pilihanku jatuh di kursi paling belakang, di sebelah seorang gadis yang sedang duduk di dekat jendela. Karena gadis itu terus menatapku, kupasang senyuman basa-basi padanya. Beruntung kecanggungan tidak terjadi karena gadis berkaca mata itu langsung membalas senyumanku. Aku melepas tas ransel biruku sebelum duduk.
"Hai!"
Baru saja aku duduk, lalu terdengar sapaan dari arah sebelahku. Apa yang baru saja kudengar? Gadis kaca mata mengucapkan, Hai? Aku menoleh ragu, takut kalau salah dengar karena musik di dalam bus lumayan berisik.
"Kamu pendatang baru itu, 'kan?" tanyanya disertai senyum mengembang.
Kedua alisku terangkat untuk sesaat. Dari pertanyaannya, kuasumsikan gadis itu sudah lebih dulu mendengar berita tentang kedatanganku. Nada pertanyaannya terdengar begitu yakin.
"Uhm… ya," jawabku singkat dibarengi anggukan pelan. Dia gadis berambut ekor kuda yang sangat ekspresif dan ramah. Air wajahnya lembut, sampai-sampai aku berpikir mungkin seperti inilah gambaran tokoh berperangai baik yang ada di dalam n****+-n****+.
"Oke. Kuharap kamu tidak kaget. Aku memang sudah tahu berita kedatanganmu saat rumah itu dibeli oleh Ayahmu. Kebetulan pemilik sebelumnya rumah itu adalah pamanku," katanya lagi dengan kedipan mata coklatnya yang antusias. "Dan lagi pula, pemukiman di sekitar sini tidak besar. Jadi bila ada pendatang sepertimu, beritanya akan cepat menyebar."
Aku terkesan dengan bagaimana antusiasnya dia berbicara, dan sekarang aku bingung bagaimana harus menanggapi. Perlukah aku pura-pura bahagia dan tersenyum lebar? Atau memasang wajah datar dan menyumpal telingaku dengan headset seperti yang ingin kulakukan sekarang?
Tidak. Kurasa pilihan ke dua bukan awalan yang baik.
Akhirnya kupasang cengiran lebar dengan mata menyipit demi menjauhkan kesan dingin dan menutup diri. Entah terlihat aneh atau tidak. Sebenarnya aku pun jarang memasang ekspresi ini.
“Oh, ternyata begitu,” komentarku, meski aku tahu sedikit terlambat.
"Namaku Fiona Kane. Kamu bisa memanggilku Fio atau Fiona." Ia mengulurkan tangan kanannya padaku. "Kalau kamu?"
Aku membalas jabatan tangannya. "Sharena Hara Sterne, panggil Hara saja."
Fiona kembali tersenyum ramah. Kedua matanya berbinar penuh energi positif. "Boleh kulihat resume-mu, Hara?"
Aku mengangguk. Kuambil selembar kertas yang berisi data diriku dari dalam tas ransel biru, lalu kuberikan pada Fiona. Aku pun heran kenapa diriku yang selama ini susah percaya kepada orang asing sekarang sulit menolak permintaan Fiona. Mungkinkah karena energi positifnya yang terlalu kuat sehingga mengintimidasi gadis peragu sepertiku?
"Wah, Hara! Rupanya kamu berada di kelas Obsidian!" tutur Fiona girang. "Jangan khawatir, aku akan menjadi temanmu, karena kita satu kelas!"
“Te–teman?”
Wajah Fiona tampak melesu. “Tetapi aku sangat kecewa kalau kamu bilang keberatan menjadi temanku.”
“Tidak,” sahutku cepat. “Tentu saja, tidak. Aku… aku senang.”
Sebisa mungkin aku mengembangkan senyum terbaikku bersamaan dengan hatiku yang mulai mengembang. Gadis pucat dan tegang sepertiku akhirnya bisa cepat mendapat teman? Sungguh di luar ekspektasiku.
“Hara, kamu sudah berkenalan dengan Eizen, ya?” tanya Fiona tiba-tiba.
“Siapa?” Aku berpikir sebentar. “Eizen?”
Fiona mengangguk. “Eizen Zivon. Dia lelaki yang sebelum masuk bus tadi mengobrol denganmu.”
Mulutku membentuk huruf O sambil mengangguk-angguk. “Jadi lelaki itu bernama Eizen.”
“Kamu baru tahu namanya?” Fiona melebarkan matanya. “Kupikir kalian mengobrol karena sudah saling kenal, padahal kalian ini bertetangga, lho!”
“Oh, ya? Uhm, sebenarnya tadi kami hanya tidak sengaja mengobrol.” Entah bagaimana dadaku terasa sesak mendengar bahwa si lelaki bermata hazel yang tidak ramah sama sekali itu adalah tetangga baruku. Aku pun bersiap dengan kemungkinan buruk lainnya. “Fiona? Apa Eizen juga sekelas dengan kita?”
Fiona menggeleng. “Dia memang satu tingkat yang sama dengan kita tetapi berbeda kelas. Dia murid yang cukup pandai jadi berada di kelas unggulan yaitu kelas Diorit.”
Aku tidak peduli tentang citra Eizen bahwa dia termasuk murid yang pandai di sekolah. Sebab, point pentingnya adalah satu tali yang mengikat dadaku seperti baru saja terlepas begitu tahu bahwa aku tidak berada satu kelas dengan Eizen. Setidaknya, itulah keberuntunganku hari ini selain mendapat teman ramah seperti Fiona.
***