32, Masih Pagi

1312 Kata
Mas Yanto baru saja meletakkan sapu lidi di balik pintu dapur penghubung dengan halaman belakang, saat aku kembali dari depan mempersilahkan menunggu untuk tamunya. Suami tercintaku itu membantu menyapu halaman belakang. Pekerjaan remeh yang selalu ia kerjakan setiap pagi. Bagiku bantuan Mas Yanto berupa apapun sangat berarti sebab benar-benar mengurangi bebanku mengerjakan pekerjaan rumah. Yang terpenting membuatku bahagia. Kedongkolan dalam hati karena masih sepagi ini sudah ada yang mengetuk pintu sirna seketika, menyaksikan peluh Mas Yanto yang berjatuhan setelah menyapu. Wajah tampannya terlihat semakin tampan, setiap kali ia selesai membantuku. Semakin membuat menambah kadar cintaku padanya. Sempat juga aku memaki si tamu dalam hati karena Mas Yanto belum juga sarapan, tetapi sudah ada yang datang mengantri. Pasti suamiku nanti terburu-buru makan dan melakukan kegiatan paginya yang lain. Ketika kuberi tahu kalau praktek buka jam delapan, ia malah mengatakan sengaja datang pagi supaya dapat urutan pertama dengan tanpa beban dan rasa berdosa sedikitpun. Mendengar jawaban tamu berjenis kelamin pria itu, aku hanya bisa menggeleng lirih tanpa bisa menolak. Akhirnya kupersilahkan juga pria itu menunggu di ruang tunggu. “Sudah ada yang nunggu, tuh!” seruku sambil menyalakan kompor. Namun, tentu saja nada bicaraku masih tidak ikhlas. Setelah kompr menyala, kucicipi masakanku sebab sebelum mendengar suara pintu diketuk, aku sedang memasak sayur asem. Sekarang aku melanjutkan memasak menu yang baru setengah jadi. Mas Yanto kulihat tersenyum mendengar ucapanku. Entah apa ada yang lucu dari ucapanku. “suami kamu ini kayaknya sedang laris manis,” balasnya mengedipkan satu mata. “Genit,” kataku mencoba tidak menghiraukan Mas Yanto yang berusaha menggodaku. “Mas, ada kompor.” Aku mencoba menghentikan kejahilannya mencolek, menoel dan menggelitiki bagian-bagian tertentu tubuhku. Mas Yanto menghentikan kejahilannya sejenak, sebelum mencolek pipiku dan berlari ke kamar mandi. Melihat ulah iseng Mas Yanto membuatku berlari kecil mengejarnya untuk sekedar membalas colekan di pipiku. Colekan di pipi aku balas cubitan di pinggang karena hanya itu yang bisa kuraih sebab aku buru-buru balik ke kompor mengingat masakanku yang sudah matang. Untung sendok sayur yang kubawa tidak ikut melayang. Coba kalau dia ikut andil bisa terdengar bunyi klontangan yang membuat curiga tetangga. Ada kepuasan sendiri rasanya saat berhasil membalas colekan Mas Yanto yang sepertinya sengaja menggodaku. Kusuguhkan senyum kemengan padanya. “Dek,” panggilnya sebelum menutup pintu kamar mandi. “Apa,” jawabku serius menatapnya. “Muaach, I love you,” ucap Mas Yanto sembari memonyongkan bibirnya memberi isyarat cium jauh padaku. “1-0,” serunya melihatku kesal sambil menutup pintu. Ternyata Mas Yanto sengaja ngeprank aku. Jika sudah begini rasanya aku ingin cepat-cepat punya anak untuk mengurangi kejahilan Mas Yanto padaku. Minimal saat memiliki momongan sifat jahilnya akan dilampiaskan pada anak, bukan aku. “Kapan aku hamil?” batinku sedih mengingat Mas Yanto yang sengaja menjeda kehamilan. *** Aku kembali ke depan meletakkan kardus berisi air mineral untuk tamu yang menunggu giliran. Aku kembali dibuat terkejut karena kali ini tidak hanya ada satu orang, tetapi ada lima orang duduk berjejer di kursi depan, termasuk si pria pertama. "Silahkan diminum," kataku ramah menyapa tamu-tamu Mas Yanto yang mengantri. Aku sengaja menyediakan air mineral kemasan gelas untuk tamu yang mengantri. Awalnya Mas Yanto melarangku, tetapi aku tidak tega menyaksikan berbagai macam orang yang datang dari berbagai tempat. Bisa jadi salah satu dari mereka haus dan tidak membawa bekal. Apa salahnya jika kita sekedar sedekah air. Mas Yanto pun luluh dan menyetujuinya. Terkadang bukan hanya air. Ada juga beberapa makanan ringan untuk sekedar cemilan agar tidak bosan menunggu karena pekerjaan paling membosankan adalah menunggu. Setelah meletakkan kardus di meja kecil, aku kembali ke dalam menonton drama Korea yang tayang tadi malam. Nontonnya tentu saja dari ponsel barunya Mas Yanto. Kutata ponsel dan tripod senyaman mungkin lalu aku duduk di depannya memeluk bantalan kursi, yang hanya satu dan satu-satunya yang kumiliki. Itupun warisan dari ketiga sahabatku yang sempat datang kedua kalinya, tetapi tidak menginap. Katanya khusus menemui Mas Yanto. Saat mereka datang, keadaan benar-benar private. Tidak ada tamu lain dan sepertinya semua sudah dikondisikan Mas Yanto. Cemilan dan minuman favoritku, es jeruk nipis sudah tersedia di depan meja. Lengkap sudah semua persiapan nonton marathon hari ini. Mengingat besok aku harus nekerja di balai desa. Baru lima belas menit aku mneikmati tontonan di aplikasi yang menayangkan drama kesukaanku, sebuah panggilan dari Mas Yanto tiba-tiba masuk. Aku menghentikan sejenak tontonanku beralih ke panggilan Mas Yanto. “Iya, Mas,” sahutku tanpa salam. Satu kemajuan dari suamiku, biasanya saat butuh bantuanku ia memanggil nama dan mencariku ke seluruh antero ruangan. Namun, sejak hari ini Mas Yanto memanfaatkan ponsel yang ia pegang. Dari pangggilan tersebut, aku diminta untuk mengambilkan garam. Jangan dikira garam yang dicari Mas Yanto adalah garam dapur. Bukan itu, garam yang ia maksud sering disebut uyah krosok oleh orang Jawa, yaitu sejenis garam yang masih berupa butiran-butiran kasar. Garam ini bukan untuk memasak, melainkan sering dipergunakan untuk mengawetkan ikan, kesehatan dan untuk Mas Yanto terkadang digunakan sebagai persyaratan. Entah untuk kasus apa? Aku tidak pernah menanyakan. Aku bergegas ke dapur mengambil garam yang dimaksud. Mas Yanto sengaja meletakkan barang tersebut di sebuah lemari khusus sebab simpanan garam tersebut hampir sama dengan beras yang kami beli. Garam tersebut seolah menjadi kebutuhan pokok Mas Yanto saat ritual. Kuambil satu bungkus ukuran satu kilo dan membawanya ke ruangan Mas Yanto. Sekilas aku mendengar obrolan Mas Yanto dengan pasien pertama yang tadi aku bukakan pintu sambil meletakkan bungkusan garam di belakang tempat suamiku duduk. Aku sudah hafal di mana posisinya. “Pak, coba diingat-ingat kembali! Apa Bapak pernah nadzar atau menjanjikan sesuatu pada seseorang?” tanya Mas Yanto pada pria di hadapannya. Pria itu kulihat mengerutkan keningnya, seakan mengingat sesuatu. Namun, ia menggelang. “Saya lupa, Mas,” jawab pria itu. Suamiku terdengar menghela napas panjang mendengar pengakuan si pria itu. “Terima kasih, ya Dek,” kata suamiku saat aku menyebutkan bungkusan berisi garamnya. “Sama-sama,” jawabku sambil pamit keluar. Tanpa menunggu persetujuan Mas Yanto aku pun keluar. Namun, aku sengaja berdiri dibalik tirai penghubung ruangan Mas Yanto dengan ruang tamu karena masih kepo dengan kasus pasien suamiku yang ini. “Biasanya kalau yang datang itu ular weling pertanda sebagai pengingat atau pengeling.” Kudengar Mas Yanto kembali bertutur panjang pada pasiennya. “Coba Bapak ingat kembali perlahan-lahan. Tidak selamanya ular yang masuk ke rumah itu berbahaya. Ada kalanya ular itu sekedar mengingatkan kita atau mungkin mengabarkan sesutu kebaikan kepada penghuninya.” Suara Mas Yanto terdengar begitu khas di telingaku. Aku sedikit bergidik mendengar ucapan Mas Yanto. Menyimak sebentar saja aku sudah paham, bahwa rumah si bapak didatangi ular weling beberapa kali. Ia datang ke Mas Yanto untuk mencari solusi agar si ular menghilang. Dari penuturan Mas Yanto pula aku akhirnya sedikit paham, jika kedatangan ular weling bisa jadi adalah pengingat dari si pemilik rumah tentang nadzar atau janji yang pernah ia ucapkan. Entah itu kepada sesame manusia atau juga kepada Tuhan. Suasana ruangan Mas Yanto terdengar hening. Tidak terdengar suara dari kedua manusia di dalam. “Mas, sepertinya saya pernah bilang jika anak saya lulus saya akan melakukan syukuran, tapi kejadian itu sudah lama dan anak saya sekarang sudah bekerja,” ucap pria tamu Mas Yanto. “Bisa jadi. Karena sudah terlalu lama dan belum dilaksanakan Bapak diingatkan. Sebaiknya segera dilaksanakan tidak apa terlambat daripada tidak sama sekali,” balas Mas Yanto. “Jika ular itu masih berkeliaran setelah Bapak menunaikan nadzar. Silahkan taburkan garam ini ke sekitar rumah. Namun, harus dilaksanakan dulu nadzarnya sebab jika Bapak melanggar maka yang akan menanggung resikonya Bapak sendiri,” lanjut Mas yanto yang kulihat menyerahkan sebuah bungkusan dari kain. “Sebentar.” Suamiku menarik kembali bungkusannya. “Kenapa, Mas?” tanya si Bapak. “Bapak berjanji menunaikan nadzarnya dulu, kan?” ulang suamiku seolah ia meragukan sesuatu. “Iya, saya janji akan menunaikan nadzar saya dulu. Jika ularnya masih ada baru saya taburkan garam dari bungkusan Mas Yanto,” ucap si Bapak sungguh-sungguh. “Baik.” Kulihat bungkusan itu ditukar dengan amplop. *** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN