Aku bersiap membersihkan rumah karena jam sudah menunjukkan pukul setengah empat. Waktunya untuk beres-beres sesi kedua di hari yang sama.
Baru juga aku memulai menyapu dapur, ketika ponselku kembali berdering. Kulihat nama Mas Yanto calling.
“Iya, Mas,” ucapku setelah terdengar suara sapaan di pendengaaranku.
Tentu saja posisi suamiku masih di ruangannya. Hari ini sudah dua kali Mas Yanto memanfaatkan ponsel untuk memanggilku. Entah kali ini ada apa lagi?
“Dek, ke sini sebentar!” titah Mas Yanto masih dari panggilan ponselnya.
“Sebentar.” Kuletakkan sapu ijuk kembali ke gantungannya demi menunaikan panggilan suami.
Menurut agama yang kuanut, tugas seorang istri itu hanya satu yaitu patuh pada suami maka insya Allah surga sudah di depan mata.
Demi patuh perintahnya aku gegas menemui Mas Yanto di ruangannya karena meskipun keadaanku seperti sekarang, surge masih menjadi tempat impian terindahku kelak di akhirat.
“Iya, Mas. Ada apa?” tanyaku begitu di dalam ruangan keramat itu.
“Duduk sini!” titah Mas Yanto menepuk tikar di sampingnya.
Aku duduk di samping Mas Yanto dengan bersila mencontoh cara suamiku duduk. Kulihat Mas Yanto tersenyum kecil melihat diriku yang mengikuti caranya duduk. Namun, tentu saja senyum itu hanya aku yang tahu.
“Badha ponapa, Cong?” tanya suamiku dengan dialek khas Madura yang, kira-kira artinya ada apa?
Begitu yang aku tahu karena ternyata tamu Mas Yanto kali ini dari suku Madura. Suku yang juga mendiami sebagian wilayah Banyuwangi. Suku yang segan jika ada orang yang menguasai Bahasa asli mereka.
Baru kali ini aku mendengar suamiku menggunakan dialek Madura, aku memberinya nilai plus karena kemiripannya yang hampir seratus persen. Beruntungnya aku juga pernah memiliki teman dari Madura sewaktu kuliah dulu, jadi tidak terlalu asing saat Mas Yanto menggunakan dialek tersebut.
Pemuda di hadapan kami itu tampak sedikit terkejut mendengar Mas Yanto menguasai Bahasa kebanggaannya dengan lancar.
“Saya memiliki kekasih, tetapi saya ragu untuk menjalin hubungan yang serius dengannya. Saya ingin menanyakan apa pacar saya adalah orang yang baik dan tepat buat saya?” jawab pemuda itu dengan Bahasa Madura medok.
Kulirik suamiku mengangguk tanda mengerti permintaannya.
“Sudah kamu apakan saja dia?” tanya Mas Yanto to the point.
Pemuda di hadapan kami kembali menampakkan wajah terkejut mendengar pertanyaan suamiku. Bukan pemuda itu saja, aku pun merasakan hal yang sama. Terkejut.
Sungguh aku tidak tahu apa yang dipikirkan Mas Yanto. Apa yang membuatnya begitu vulgar menanyakan sesuatu yang menurutku pribadi kepada tamunya.
“Aku perlu menanyakan ini untuk pertimbangan dan membenarkan feelingku,” lanjut Mas Yanto tegas.
Pemuda itu tertunduk mendengar ucapan Mas Yanto.
“Apa dia cantik?” tanya Mas Yanto tanpa menunggu pemuda itu menjawab pertanyaan sebelumnya.
“Cantik,” jawab pemuda itu.
Mas Yanto kulirik kembali tersenyum kecil, tetapi tersirat misteri di dalamnya.
“Jemput dia dan bawa ke sini! Setelah itu bicaralah dengan Mbak Mega. Dia lebih tahu mana yang baik dan mana yang buruk.” Mas Yanto menunjuk ke arahku. Memastikan bahwa wanita di sampingnya adalah Mega.
Tanpa banyak bertanya pemuda itu pamit menjemput wanita yang katanya pacar dan ia ragukan.
“Dek, atasi si Acong tadi. Dia lebih butuh masukan psikolog daripada aku,” ucap Mas Yanto setelah si Acong meninggalkan ruangan keramat suamiku.
“Memangnya apa yang Mas tahu dari dia?” tanyaku kepo.
Mas yanto membisikkan sesuatu yang benar-benar membuat mataku membulat penuh tidak percaya.
***
Aku kembali melanjutkan pekerjaan menyapu sebelum si Acong kembali bersama pacarnya. Entah dia serius atau tidak membawa wanitanya menghadapku.
Saat diamanahi tongkat estafet persoalan si Acong aku mulai mengatur kegiatanku sore ini karena pekerjaan rumahku juga menanti disentuh.
Aku tidak banyak berharap karena bisa jadi si Acong hanya iseng atau tidak serius. Namun, aku tetap mempersiapkan sebaik mungkin. Membereskan pekerjaanku lebih cepat lalu mandi dan dandan sedikit agar terlihat lebih segar.
Apa pula yang membuat Mas Yanto yakin bahwa si Acong lebih membutuhkanku daripada dukun sakti macam dia? Hehehe, kali ini aku mengakuinya sebagai dukun sakti.
Hingga aku menyelesaikan semua perkerjaan si Acong tidak kunjung datang. Aku sudah tidak banyak berharap pemuda itu kembali karena hari semakin malam dan Mas Yanto sudah menutup prakteknya.
Menjelang maghrib, terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Saat kutengok di depan pintu berdiri Acong dan seorang gadis cantik.
“Datang juga kamu, Cong! Masuk, gih! Udah ditunggu Mbak Mega, tuh!” sambut Mas Yanto dengan nada bercanda khas dialek Madura.
Acong dan gadis itu mengikuti langkah Mas Yanto dan duduk di salah satu kursi kayu ruang tamu kami. Aku yang juga mendengar ucapan Mas Yanto segera menekan tombol pause di monitor menemui pasien yang diserahkan Mas Yanto padaku.
“Ini pacar kamu, Cong?” tanyaku tentu saja dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar karena aku tidak pandai berbahasa Madura seperti Mas Yanto.
“Iya. Mbak,” jawab si Acong malu-malu. Begitupun si gadis, sempat kulirik wajahnya memerah saat Acong kutanya status mereka.
“Apa nih yang bisa Mbak bantu?” tanyaku sedikit mengakrabkan diri dengan mereka berdua agar suasana canggung segera mencair.
Keduanya terdiam saling bertatap seolah memberi kode agar jawaban mereka sama. Aku tersenyum kecil melihat tingkah keduanya.
“Anu, Mbak itu …,” ucap Acong, tetapi ia berhenti sebelum menyelesaikan kalimatnya. Tersirat keraguan dan ketakutan untuk menjawabnya.
“Anu, anu apa?” tanyaku sedikit menggoda si Acong yang terlihat gugup.
“Ya, anu itu …,” Acong kembali menjeda kalimatnya seakan ragu hendak berterus terang.
“Ya, udah. Mbak siapa namanya?” tanyaku baru sadar kalau kami belum kenalan mengalihkan kegugupan Acong.
“saya Ina, Mbak,” jawab gadis bernama Ina itu.
“Oke, Ina. Bagaimana kalau Ina keluar dulu. Biar Acong bercerita pada saya. Nanti gantian saat Acong keluar Mbak Ina masuk,” pintaku memberi tawaran pada mereka berdua.
Kini di hadapanku ada Acong sedangkan Ina menunggu di luar sesuai kesepakatan.
“Ada apa, Cong?” tanyaku mengulang pertanyaan yang sama entah sudah yang keerapa kalinya pada Acong.
“Mbak, bagaimana Ina menurut Mbak Mega?” tanya Acong menatapku penuh selidik.
Aku tersenyum menatapnya.
“Ina menurut saya baik dan cantik, lalu dimana letak keraguanmu?” tanyaku hati-hati.
“Dia sudah tidak perawan, Mbak,” jawab Acong dengan wajah memerah menahan malu. Aku yakin hari ini adalah sesi pertama kalinya ia konseling dengan seorang psikolog.
“Kamu yang merawani?” tanyaku menuntaskan senyumku yang tertahan melihat wajah tersipunya.
Andai ia tahu jika yang dihadapannya adalah seorang psikolog, aku yakin si Acong tidak akan bercerita. Lagian mana ada yang percaya pada seorang ibu rumah tanggak sepertiku lulusan S2 dan pernah menjadi seorang psikiater terbaik.
Acong menggeleng lemah. Wajahnya dipenuhi gurat kekecewaan.
“Kok tau?” selidikku pura-pura tidak tahu, padahal tadi Mas Yanto sudah sempat membisikiku apa saja yang ia pikirkan tentang si Acong.
Namun, jika langsung menjudge bukanlah jiwa seorang psikolog sepertiku. Aku haru mendengar sendiri dari klienku tentang perasaan dan apa saja yang ia rasakan dan lakukan agar terjalin ikatan emosional antara kita sebab tugas seorang psikolog adalah mendengarkan seluruh keluh kesah pasiennya tanpa boleh menjeda atau mengomentari sebelum selesai.
“Kami sudah pernah melakukannya,” ucap Acong semakin menunduk dalam.
Aku kembali tersenyum mendengarnya. Ternyata prediksi Mas Yanto benar.
“Memang apa yang kamu tahu soal keperawanan?” selidikku untuk menyamakan persepsi dengannya.
***
Bersambung