Diskusi kerjasama dengan pihak puskesmas akhirnya selesai. Dengan hasil pihak puskesmas berkenan dan bersedia menjadi mitra timku sebagai petugas pemeriksaan awal kesehatan masing-masing anak berkebutuhan khusus yang kami tangani.
Kami sebagai tim terapis dan konseling juga memiliki riwayat kesehatan masing-masing anak tidak hanya perkembangannya saja, tetapi juga kesehatan fisiknya tetapi terpantau. Sehingga, kami bisa memperoleh informasi secara berimbang.
Ada rasa syukur tersirat di wajah masing-masing kru-ku, meskipun harus diawali drama tidak mengenakkan yang membuat kami kesal. Setidaknya membawa hasil yang tidak sia-sia. Terutama aku. Aku merasa kemarahanku kali ini berlipat ganda disbanding saat ditolak warga.
Setidaknya saat ditolak, mereka tidak membawa profesi dan nama suamiku. Sedangkan Ibu Kepala Puskesmas terang-terangan menolak karena kehadiran Mas Yanto. Memang siapa dia?
Toh, selama ini kami tidak pernah menganggu dan membuat ulah dengan pihak puskesmas. Aku sampai tidak habis piker, apa yang ada di otak mereka?
Apa mereka sengaja menemui Pak kades karena pucuk pimpinan desa kami itu terggolong orang yang sulit ditemui.
Entah apa yang disampaikan Pak Kades, hingga bisa mempercayai kami. Bu Rieka si kepala Puskesmas yang semula jutek menjadi ramah. Bahkan menerima kami dengan sangat baik. Memperkenalkan kami pada petugas puskesmas yang lain.
Lebih dahsyatnya lagi, tim-ku diperkenalkan sebagai mitra terbaik sepanjang tahun ini. Aku sampai melongo tidak percaya mendengarnya. Serasa diterbangkan ke angkasa dan melayang-layang di atas dengan sempurna.
Harapan kami semoga semua yang disampaikan dokter Rieka bukan hanya sekedar omong kosong. Ucapan yang hanya mempermanis bibir karena sedang berhadapan dengan pak Kades.
Semoga ucapannya bisa nyata dan terwujud. Sebuah harapan indah lain yang muncul di hatiku.
Namun, aku tidak menyalahkan si dokter kepala puskesam atas ketidakpercayaannya karena kenyataannya keberadaan puskesmas memang terancam karena suamiku.
Ngakak enggak, sih. Kami seolah-olah masuk ke dalam mulut harimau. Kami seolah penjahat yang menyerahkan diri pada pihak kepolisian. Si dokter akhirnya bisa meluapkan kemarahannya tanpa harus bersusah payah mencari keberadaan kami.
Kemungkinan juga emosinya pada Mas Yanto sudah terpendam cukup lama dan tidak bisa diluapkan mengingat keberadaan dukun di desa kami sangat diagungkan melebihi profesi yang lain.
“Pak, tadi bagaimana ceritanya bisa menaklukkan si kepala batu Bu Rieka?” tanya Adam kepada Pak Kades saat mekan siang di sebuah warung yang tak jauh dari puskesmas. Bahkan tampan sungkan ia memberi julukan kepala batu pada Bu Rieka.
Pak Kades yang menyimak hanya geleng-geleng, mungkin merasa llucu dengan julukan Adam. Sambil menunggu makanan yang kami pesan. Pak kades sengaja mengajak kami makan siang sebelum kembali ke balai desa, mengingat jam sudah menunjukkan waktunya istirahat.
“Enggak ngomong apa-apa. Hanya diskusi,” jawab Pak Kades santai.
Aku dan Sherly saling tatap seakan mengirim pesan via telepati bahwa Pak Kades pasti membicarakan yang lain juga sebab tidak mungkin bisa luluh begitu saja setelah memaki-maki mas Yanto tidak jelas.
“Sudah makan dulu! Nanti kalian kesiangan, loh!” tutur Pak Kades menyodorkan piring berisi makanan pesanan kami.
***
“Mas,” panggilku saat menyiapkan makan malam.
“Hmm,” jawab Mas Yanto yang mulai sibuk memainkan ponselnya.
Mas Yanto tadi siang dikirimi salah satu tamunya ponsel. Saat kulihat ponsel pemberian tamu Mas Yanto itu merupakan keluaran terbaru. Aku sampai berdecak kagum melihatnya.
Tadi sepulang dari puskesmas ada sepasang suami istri bertamu. Kata Mas Yanto mereka dulu pernah menjadi pasiennya dan sempat beberapa kali berobat.
Keluhannya si pria kurang greng di atas ranjang. Auto aku yang menjadi pendengar langsung mesem-mesem sendiri. Masa, masalah seperti itu dibawa ke dukun juga?
Buktinya mereka memang benar-benar melakkukannya. Memeprcayai suamiku mampu menyembuhan keluhan sang suami.
Setelah melakukan beberapa kali terapi, si istri mulai merasakan perubahan pada suaminya. Sebagai ucapan terima kasih mereka mengirimkan ponsel dan sejumlah uang pada suamiku.
Yang membuatku semakin terperangah, pasangan tersebut berasal dari Probolinggo. Aku hanya bisa mengatakan, “WAW.”
Apakah pamor Mas Yanto sudah semakin luas. Sejak kapan? Bahkan aku yang istrinya tidak merasakan banyak perubahan pada Mas Yanto. Ia tetap suamiku yang tampan dan jahil.
Rumah kami masih sama, semi permanen. Perabot kami belum berubah masih mempergunakan warisan almarhumah ibu mertua. Kendaraanku masih motor matic pemberian salah satu sahabatku di Surabaya.
Yang berubah hanya jumlah dana di rekening. Hehee, tutup mata. Semua dana pemasukan dari pasien Mas Yanto diserahkan padaku. Meski, begitu bukan berarti aku mempergunakannya sembarangan.
Aku sadar hidup tidak selamanya di atas, kadang kita di bawah. Aku dan Mas Yanto sudah pernah merasakan susahnya menjadi di bawah. Meminjam uang saja kita tidak dipercaya, hanya karena Mas Yanto tidak bekerja.
Berbekal pengalaman pahit itu, sebanyak apapun dana di rekening aku harus bisa mempergunakannya dengan hati-hati. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan esok hari.
Andai saja aku bisa menerawang masa depan, mungkin aku tidak akan kesulitan menabung dan memprediksi apa yang akan terjadi. Cukup duduk-duduk saja menunggu taqdir.
“Dek, mau ngomong apa?” sahut Mas Yanto menarik tanganku.
Auto aku menghentikan aktifitas menatap piring.
“Ponselnya ditaruh dulu. Nanti abis makan mainin lagi,” kataku menatap benda yang kutaksir harganya lebih dari lima jutaan itu.
Bukan karena aku iri suamiku memiliki ponsel lebih canggih, tetapi aku masih belum bisa menerima dengan akal sehat. Bagaimana mungkin ada orang yang begitu royal?
Memberikan uang dan sebuah ponsel hanya karena sebuah pengobatan. Bahkan dokter di rumah sakit bisa melakukannya dengan terapi rutin dan obat-obatan.
Lalu dimana keistimewaan suamiku?
Aku masih berusaha mencerna sebetulnya apa saja yang dilakukan suamiku pada pasien-pasiennya?
Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Sekalipun aku istrinya.
Mas Yanto kulihat meletakkan ponselnya dan tersenyum padaku.
“Sini!” ditariknya tubuhku ke pangkuan Mas yanto.
Aku yang tidak siap, langsung menimpanya begitu saja sembari berteriak karena kaget. Mas yanto bukannya khawatir, tetapi malah menertawakanku.
“Jangan lakukan kayak gini lagi, Mas,” rengekku melingkarkan tangan ke leher Mas Yanto.
“Kalo kayak gini, gimana?” Mas yanto bukannya melepas, tetapi malah mengeratkan pelukan di pinggangku.
“Gak gimana-gimana,” ledekku.
“Udah berani nakal, ya, sekarang.” Mas Yanto menggelitikiku dengan riangnya seolah aku mainan yang membuatnya kegirangan.
“Mas udah. Berhenti. Kalo kayak gini terus kapan kita makan? Aku udah laper,” teriakku menahan tangan Mas Yanto agar tidak terus menjahiliku.
Rengekanku berhasil, Mas Yanto akhirnya menghentikan aksinya dan aku melanjutkan menata meja makan yang sempat terhenti sebelumnya.
***
“Dek, bole pinjam ponselnya?” kata Mas Yanto setelah kami makan malam dan duduk di kursi ruang tengah.
“Nih,” jawabku menyerahkan ponsel yang diminta Mas Yanto.
Mas Yanto mulai mengutak atik ponselku dengan teliti. Entah apa yang ia kerjakan, aku tidak begitu memperhatikannya. Aku fokus ke acara televise yang menarik perhatianku.
Sebuah film laris di tahun 2000an bergenre fantasi, Pirates of the Caribbean. Meskipun, sudah berkali-kali diputar ulang rasanya tidak pernah bosan menontonnya. Hingga tanpa sadar aku mengabaikan Mas Yanto.
“Nih, udah!” Mas Yanto menyerahkan kembali ponsel yang tadi ia pinjam.
Aku menerimanya begitu saja tanpa menoleh atau memperhatikan barang yang diserahkan Mas Yanto.
Saat lagu penutup film mulai terdengar kulirik jam digital di ponsel.
“Ini ponsel siapa?” gumamku terkejut membolak balik ponsel yang kupegang.
Lebih slim dan elegan dengan warna silvernya, sedangkan milikku hanya sebuah ponsel hitam yang sudah memudar. Ukurannya juga terlihat lebih lebar dari milikku.
“Mas, ponselku mana?” tanyaku menoleh pada Mas Yanto yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Loh, ini hapeku!” pekikku reflek menarik ponsel yang dipegang Mas Yanto.
“Mulai sekarang ini hapeku,” ucap Mas Yanto dengan santainya.
“Hape dari Pak Haris terlalu bagus buatku. Saking bagusnya aku sampai gak bisa makenya,” seru Mas Yanto sambil tertawa.
“Lalu aplikasinya?” aku menyentuh monitor ponsel silver itu dan mencari aplikasi yang sebelumnya ada download.
“Sudah aku pindah.” Mas Yanto merebut ponsel ditanganku dan menunjukkan semua aplikasi favoritku.
“Jadi, sekarang hapeku baru,” seruku girang memeluk Mas Yanto tanpa malu. Untung hanya ada kami berdua.
"Yang iu jadi punya Mas Yanto?" sambungku masih dalam mode bahagia.
"Terima kasih, ayang."
***
Bersambung