“Mas, yang kapan hari itu beda sama yang kemarin, kan?” tanya penuh kekepoan pada Mas Yanto yang sibuk mencari chanel siaran televisi.
Beberapa hari setelah peristiwa di tengah sawah tempo hari. Selain itu, aku juga baru ingat tentang si genderuwo sekarang.
“kenapa?” Mas Yanto menoleh meletakkan remotnya.
Kulirik televisi sedang menyiarkan ajang pencarian bakat penyanyi, kulihat si Ari Lasso sedang memberi komentar.
Acara televisi yang dulu sempat kugandrungi, tapi seiring usia sekarang sudah tidak seheboh dulu. Apalagi sekarang ada you tube, jadi aku bisa menyaksikan siaran ulangnya di aplikasi tersebut.
“Gak pa-pa, tanya aja. Gak boleh?” kutatap balik wajah tampan suamiku.
“Bole. Gak ada yang ngelarang. Paling-paling aku yang gak mau jawab,” balas Mas Yanto dengan senyum smirk.
“Maaas, kok gitu,” rengekku dengan memasang muka super kiyut, tetapi mimik dibuat kesal.
Kayak gimana, coba? Entahlah aku juga tidak tahu bagaimana wajahku saat ini. Kan, aku tidak bawa cermin jadi gak tahu deh, ekspresi kiyut super kesalku.
Kudengar Mas Yanto malah terkekeh mendengar rengekanku.
“Waduh, kayaknya ada yang salah, nih,” batinku.
“Kok, ketawa sih, Mas?” kesalku dengan bibir merengut gak jelas.
“Habisnya kamu lucu, deh.” Mas Yanto menoel hidungku.
Beruntung hidung ini ciptaan Tuhan, jadi meskipun ditoel berkali-kali masih berdiri kokoh pada tempatnya. Tidak akan berubah sedikitpun. Apalagi hidungku bisa disebut mancung. Tegaknya tidak bergeser.
Mulai deh, gabutku. Jangan terlalu terkejut, ya, kalau tiba-tiba aku terlalu riya karena itu adalah kenyataan.
“Mas, plis deh. Jawab yang bener.” Aku mulai tidak sabar melihat keusilan Mas yanto yang semakin tidak serius dan seperti mengalihkan pembicaraan.
“Udahlah, dek. Gak usah nanya yang kemarin. Udah kadaluarsa,” jawab Mas Yanto terkekeh
Nah, kan feelingku benar. Suamiku tampanku itu menolak terang-terangan.
“Lain waktu hidung kamu disumpal aja,” ledeknya.
Sumpah ya, suamiku ini rasanya ingin kupites kayak kutu rambut saja. Stop, jangan bayangin makhluk hitam dekil itu. Bikin aku jijik dan merinding.
“Emang bisa gitu hidungnya aku kondisikan, entar kalo ada bau-bau kamu aku sumpal, ya!” balasku dengan mode sedikit senyum.
Mas Yanto kembali kudengar terkekeh. Kali ini lebih lebar dari tadi.
“Somplak nih, cowok,” batinku.
“Duh, Gusti punya suami satu, tapi kek gini banget, ya,” runtukku dalam hati.
“Udah, ah.” Mas Yanto menarikku lebih dekat padanya.
“Kita nonton aja, ya!” Mas Yanto menambah volume televisi.
Meskipun kesal, tapi aku berusaha meredam dan menenangkan diriku sendiri.
“Mungkin Mas Yanto belum ingin berrcerita,” gumamku dalam hati.
Kami pun fokus menatap siaran langsung di hadapan kami. Sepertinya beberapa stasiun televisi mulai berani menayangkan beberapa siaran langsung sebab jika terlalu lama mereka fakum imbasnya ke pemasukan juga, kan.
Pihak televisi harus tetap membayar gaji karyawan sedangkan iklan berkurang. Siapa yang mau rugi? Kami pun sebagai rakyat kecil juga menjerit, tapi pada siapa kami mengadu?
Bantuan Langsung Tunai bagi warga tidak mampu memang ada. Namun, tetap saja tidak sebanding dengan kebutuhan. Setiap keluarga memiliki kebutuhannya masing-masing, sedangkan nominal dari pemerintah tidak seberapa.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun masih kurang. Jika sudah seperti itu, kita bisa apa? Tetap bertahan pada PSBB atau PPKM, entah apalagi istilahnya? Yang jelas maknanya sama seperti lockdown.
Mas Yanto sebetulnya juga salah satu warga penerima bantuan uang tunai tersebut. Ia pun mengambil sesuai petunjuk perangkat desa, tetapi uang tersebut ia bagikan kepada warga lain yang tidak menerima.
Bukan maksud menyombong atau merasa kaya, tetapi menurut Mas yanto mereka yang tidak menerima lebih membutuhkan daripada kami. Jumlah anggota keluarga mereka lebih banyak, sedangkan kami hanya berdua.
Satu hal tentang kebaikan hati suamiku yang membuatku semakin tidak bisa jauh darinya. Hatinya begitu mulia dan dipenuhi kebaikan. Namun, entah mengapa Tuhan memilihkan profesi sebagai dukun untuknya.
Sampai sini aku masih belum paham maksud Tuhan padaku. MembuatNya semakin jauh dariku atau aku yang tidak mau mendekat padaNya. Tidak tahulah mana yang seharusnya aku lakukan.
Ah, sudahlah. Aku mau nonton Mas Ari Lasso, Bang Judika, Mbak Unge dan Teh Oca kasih komentar pada salah satu finalis yang baru saja tampil.
“Dek, tau gak?” Tiba-tiba Mas Yanto berkata tanpa menoleh padaku. Tatapannya tetap fokus pada televisi, tapi aku tahu pikirannya sedang kemana-mana.
“Gak taulah. Kan, Mas Yanto belum ngomong,” ocehku asal.
“Oh, iya-ya,” jawabnya sambil tertawa kecil.
“idih.” Kucubit kecil pinggangnya.
“Auh, sakit, Dek,” serunya pura-pura kesakitan padahal aku tidak mencubit dengan keras.
“Biarin emang enak apa digodain kayak gini,” ucapku merebahkan kepala ke pundaknya.
“Yang tadi itu cuma ngisengin kita. Gak ada hubungannya sama yang kemarin. Besok-besok lagi kalo liat Mas bertingkah aneh, Adek masuk aja.” Mas Yanto mengelus punggung tanganku seolah memintaku menuruti semua ucapannya.
“Tapi adek khawatir, Mas,” jawabku gelisah. Meskipun, tadi sudah dijelaskan bahwa si genderuwo bukan makhluk yang tempo hari membuatku deg-degan.
“Adek nurut saja daripada ketakutan,” tegas Mas Yanto.
Aku mengangguk pelan dalam posisi rebahan nyaman.
**
Kutengok jam dinding di ruang tengah. Masih pukul setengah tujuh pagi, saat aku dengar ada yang mengetuk pintu memanggil nama Mas Yanto.
Aku bergegas ke depan karena suamiku sedang asyik dengan ritual paginya di kamar mandi.
“Mbak Wiwik?” seruku setelah tahu tamuku adalah salah satu tetangga yang tidak jauh dari rumah kami.
“Mas Yanto ada?” tanyanya dengan wajah bingung menggoyang bahuku.
“A-ada. Masuk dulu, Mbak,” jawabku mempersilahkan Mbak Wiwik masuk.
Aku segera memanggil suamiku kebetulan sudah keluar dan sedang mengganti pakaian.
“Dicari Mbak Wiwik, tuh!” kataku menatapnya sejenak sebelum berlalu menuju dapur karena aku tidak perlu mendapat jawaban atas kalimatku.
Aku kembali ke ruang tamu membawa sekedar suguhan sederhana untuk tamu suamiku.
Kulihat Mas Yanto sudah duduk berhadapan dengan Mbak Wiwik.
Wajahnya terlihat serius menyimak cerita wanita bahenol dengan dandanan super menor itu.
Dari arah dapur aku menarik napas panjang melihatnya. Ingin rasanya kukatakan jika aku cemburu melihat suamiku yang tampak begitu perhatian pada Mbak Wiwik.
Kembali aku mengendalikan emosiku. Memahami keadaan dan kondisi suamiku yang sedang bekerja. Namun, tetap saja da perasaan tidak rela dan ikhlas.
“Aku gak bole cemburu,” seruku membentuk bibirku untuk tetap simetris tidak menampakkan kesal atau apapun yang berbau negatif karena akan berimbas pada profesi Mas Yanto.
“Silahkan, Mbak,” ucapku menawarkan minum dan makanan yang aku sediakan.
“Makasi, Mbak,” jawab Mbak Wiwik menoleh sejenak padaku.
Aku tersenyum sebelum kembali ke tempatku, di dapur menyelesaikan tahu dan tempeku yang masih berenang di dalam wajan penuh minyak goreng karena teriakan Mbak wiwik.
Segera kunyalakan kompor menunggu minyak panas untuk siap mematangkan lauk khas Indonesia.
“Dek, aku ke rumah Mbak Wiwik dulu, ya!” pamit Mas Yanto mengecup keningku.
“What? Kok ke rumah Mbak menor itu, sih?” batinku kesal, tapi tidak mungkin menyanggahnya.
"Belum juga sarapan udah ke sana, aja," runtukku.
**
bersambung