16. Cintanya Mega

1147 Kata
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan seluas 30 meter persegi dengan perabot meja, kursi, laptop dan beberapa alat untuk terapi tersedia dengan rapi di rak. Aku tersenyum puas dengan hasil kerja bakti, beberapa pegawai Balai Desa yang membantu menata dan mendesain ruangan yang disediakan untukku. Mas Yanto, akhirnya mengizinkanku membantu program kegiatan yang disusun pejabat Balai Desa. Tentunya, dengan berbagai syarat. Salah satunya, aku tidak diizinkan terlalu dekat dengan pria manapun. Sempat pusing juga awalnya, karena sifat posesif Mas Yanto yang baru aku sadari. Rasa cemburunya pada Adam menutup semua logika Mas Yanto. Aku pun hanya bisa pasrah dan mengiyakan semua syaratnya. Selang tiga hari, setelah aku mengabarkan berita baik tentang izin yang sudah kukantongi dari Mas Yanto, Adam dan staf lainnya bertindak cepat. Mereka mengaturkan ruangan yang akan aku gunakan. Bahkan alat terapi dan perangkat administrasi, mereka sediakan dengan baik sesuai permintaanku. Aku mendapat ruangan sendiri terpisah dengan staf yang lain dengan tujuan memberi keleluasaan padaku menangani setiap keluhan. Mereka juga mengenalkan Sherly, yang tak lain terapis yang pernah dibicarakan Adam. Sherly merupakan lulusan sarjana Pendidikan Luar Biasa, yang diminta membantuku. Gadis lokal Banyuwangi. “Gimana, Mbak?” tanya Adam menatapku kagum. “Bagus. Makasih, ya. Aku gak nyangka bisa buka praktek lagi,” ucapku dengan senyum lebar. Tak sia-sia rasanya ilmuku di dusun kecil ini. Ada sesuatu yang Tuhan rencanakan padaku. Sesuatu yang lebih indah dan berguna bagi sekitar. “Apa ada yang masih kurang, Mbak?” tanya Adam setelah kupersilahkan duduk di sofa ruangan sederhanaku. Boleh dong, kali ini aku songong dikit. Karena, bukan hanya Mas Yanto saja yang memiliki ruang praktek, tapi aku juga. Meskipun, pemberian Pak Kades. Hehe, iyalah. Semua yang ada di ruanganku adalah hasil kerja keras Pak kades demi warganya. Yang kudengar Pak kades sampai rela menrogoh kocek pribadinya demi suksesnya program desa tersebut. Aku sampai terharu mendengar cerita dari Adam dan staff lainnya. Ada rasa tanggung jawab lebih agar tidak mengecewakan pimpinan tetringgi desa kami itu. Sungguh, tidak salah jika sebagian besar warga mendukung dan memilih Pak Suwarno menjadi Kades saat pilkades setahun lalu. “Ada sih, Dam. Tapi ….” Aku menjeda kalimatku, ada keraguan mengungkapkan keinginanku. “Tapi apa, Mbak? Katakan saja! Siapa tahu aku bisa membantu,” bujuk Adam. “Massage terapis. Karena beberapa kasus memerlukan terapi tersebut,” jawabku lirih tak yakin akan dikabulkan. “Mak-maksud Mbak Mega tukang pijat, gitu?” tanya Adam kaget. “Iya. Tapi, bukan sembarang terapis pijat. Harus yang sudah bersertifikat,” jelasku detail. Adam terlihat menatapku bingung. “Siapa di sini yang punya lisensi seperti itu?” tanya Adam sambil mengerutkan dahi. “Mas Yanto,” jawabku. "Yang aku tahu cuma dia, satu-satunya terapi massage di sini," tegasku. “Apa? Jadi Mas Yanto itu ….” Kudengar Adam terdiam tidak melanjutkan kalimatnya. “Iya, Mas Yanto pernah kursus dan memiliki lisensi terapis. Bahkan Nanda setiap seminggu dua kali masih rutin terapi pada kami,” ucapku meyakinkan keragu-raguan Adam. “Mbak, speechless aku rasanya. Gak nyangka, Mas Yanto yang dukun sakti ternyata tukang pijat berlisensi,” kata Adam. “Ya udah, kalo gitu nanti aku yang bicara pada Mas Yanto,” sambung Adam. “Okay, tapi hari kerjaku masih berlaku seminggu tiga kali, kan?” tanyaku lagi sebelum Adam meninggalkanku bersama Sherly. “Iya, sesuai kesepakatan,” jawab Adam sambil tersenyum. “Yuk, Sher!” ajakku pada Sherly menyusun beberapa agenda yang disodorkan Adam dan Pak kades tempo hari sebelum praktek resmi dibuka. “Mbak, ini apa saja?” tanya Sherly yang kebingungan dengan program Adam. Aku mengambil alih kertas yang ada di tangan Sherly dan membacanya perlahan. “Sher, kamu kan, penduduk asli sini. Pasti tahu, dong. Karakter mereka. Nah, program ini tujuannya agar mereka sadar akan pentingnya deteksi dini tumbuh kembang anak,” jelasku. “Apalagi di sini, ibu-ibu belum sadar pentingnya membawa anaknya ke Posyandu,” sambungku. “Jadi langkah kita, yang pertama harus rela dan bersedia menjadi relawan door to door atau bisa juga melalui pertemuan dusun,” paparku kembali. Jujur saja, awalnya aku juga kebingungan dengan program yang disodorkan Adam dan Kepala Desa. Namun, aku menyadari bagaimana kondisi masyarakat di sini. Andai di perkotaan besar, mungkin lebih enak. Kita sebagai penyelenggara bisa menggandeng ibu-ibu PKK, bapak ibu Guru atau penyuluhan langusng ke Posyandu, Sekolah Anak Usia Dini , dan lain-lain. Di sini tidak semudah itu. mindset masyarkat tentang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masih rendah. Dari sinilah, aku tergerak untuk gabung bersama tim Adam. Aku mumpuni bidang ini, pemikiran itu yang akhirnya membuat Mas Yanto percaya dan memberiku izin bergabung. Bukan semata-mata karena honor dan sebagainya. Namun, lebih kepada kemanusiaan. Tidak ada salahnya, kan. Toh, saat ini aku tinggal di wilayah ini. Sudah seharusnya aku membangun dan memajukan kesejahteraan bumi tempatku berpijak. Menyingkirkan bagaimana kehidupan pribadiku bersama suami. “Mbak, di sini juga tertulis penyuluhan. Apa nanti kita juga keliling dari dusun ke dusun?” tanya Sherly. “Iya, diawal-awal siapin mental, ya. Kita akan keliling dari rumah ke rumah lalu dari sekolah ke sekolah bahkan ke puskesmas,” ucapku sambil mengingat kondisi jalanan di wilayah ini. Panas, debu, kondisi jalan yang macadam akan menjadi makanan sehari-hari beberapa waktu ke depan. Adam dan Pak Kades hanya memberi kami tenggang waktu sebulan untuk sosialisasi. Selebihnya kami harus stay di lokasi. Kesepakatan awal kami, hanya akan berjalan satu tahun dan selama-lamanya sampai Pak Suwarno selesai menjabat Kepala Desa. Selanjutnya, jika akan diperpanjang akan ada kesepakatan baru dengan Kepala Desa terpilih, jika menghendaki. Mendengar permintaan mereka, awalnya aku pesimi karena harus bekerja sendiri. Harusnya kegiatan seperti ini dilakukan bersama tim. Selain tim dari kantor desa, kita harus menggandeng pihak puskesmas dan perangkat desa setempat. Namun, lagi-lagi kendala yang dihadapai adalah tingkat kepercayaan masyarakat kepada tenaga medis yang masih rendah. Buktinya, mereka lebih percaya kepada Mas Yanto daripada dokter. Bu Siti, langsung percaya begitu saja padaku saat aku setelah tahu, suamiku Mas Yanto. Mengenai batas waktu, aku tidak mempermasalahkan. Mau setahun, dua tahun atau berapa pun. Aku hanya berharap, suatu saat masyarakat akan lebih peduli kepada perkembangan anak. Saat ini aku akan meyakinkan Sherly sebagai rekan kerja, bahwa kita bisa dan mampu menjalankan program tersebut. Ikhtiar dan doa, itulah motoku saat ini. Aku seolah-olah lupa, jika diri ini sedang jauh dari Yang Maha Kuasa. Masa bodohlah dengan ibadah, yang terpenting aku masih percaya Tuhan. Bisik hatiku tak ingin dipersalahkan. Meyakinkan masyarakat dengan pola pikir rendah memang terdengar tidak mungkin. Karena itu, diawal aku pernah meminta Pak Kades agar mengizinkan Adam atau staff lain untuk menemaniku saat blusukan dari dusun ke dusun. Namun, seandainya Mas Yanto bersedia gabung aku tidak lagi membutuhkan mereka. Cukup dengan Mas Yanto, aku yakin penyuluhanku lebih sukses. Dalam hati, aku berharap Mas Yanto mengiyakan tawaran Adam. Dengan begitu, ia tidak lagi jealous kepada pemuda tetangga depan rumah kami tersebut. “Mbak, kenapa?” tanya Sherlu dengan nada cemas melihatku terdiam setelah berceloteh panjang lebar. “Enggak, gak pa-pa,” jawabku sambil tersenyum membalas kecemasannya. ** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN