Aku sudah selesai menata menu sarapan, tetapi Mas Yanto belum kembali dari rumah Mbak Wiwik.
Sebenarnya kalau mau, aku bisa saja nyamperin Mas Yanto ke rumah wanita menor dan bahenol itu. Namun, tentu saja tidak aku lakukan.
Mana mungkin aku mempermalukan diriku sendiri? Enggak mungkin, kan. Jaga image dan gengsi, dong. Pantang bagiku menunjukkan kecemburuan di depan umum.
Lebih baik aku tunggu saja di rumah. Seberapa pun lamanya, aku akan tetap di rumah. Memberi kepercayaan pada Mas Yanto sesuai profesi dan porsinya.
Hampir tiga puluh menit aku duduk sembari menonton drama korea yang baru saja rilis. Mas Yanto belum ada tanda-tanda pulang. Perutku sudah keroncongan minta diisi.
Untuk mengusir dan mengalihkan lapar aku pun ke ruang tamu. Berrharap bisa langsung bertatap wajah saat mas Yanto pulang.
Ponsel aku letakkan di atas tripod agar lebih leluasa menonton tanpa harus memegangi. Capek dan kebas juga rasanya kalau harus memegang ponsel berjam-jam karena saat ini hanya nonton, hiburan terup date-ku.
Bermain sosmed aku tidak seberapa suka sebab yang berseliweran status-status alay, galau dan emosi penghuninya. Membuat mata dan hatiku terpental ke dunia maya yang penuh tipu-tipu.
Aku kembali fokus ke monitor, soundtrack opening sudah mulai terdengar. Kunyamankan posisi duduk, seolah berada di gedung bioskop. Sepertinya ini efek terlalu lama tidak menyambagi si XXI.
Ah, ngomong-ngomong bioskop aku jadi teringat saat pertama kali mengajak Mas Yanto nonton. Meskipun, aku yang ngajak tetap saja yang ngeuarin duit Mas Yanto.
Kejadiannya sekitar lima tahun yang lalu. Kami sudah dekat, tapi jujur aku masih ogah dekat-dekat cowok katrok macam Mas Yanto kala itu.
Ya, pas awal-awal kenal Mas Yanto memang katrok banget.
Herannya meski tidak suka, aku juga tidak menolak ajakannya. Memang Mas Yanto waktu itu sangat medok dan ndeso. Tetapi wajahnya tidak malu-maluin untuk diajak jalan.
Maklumlah kw-nya Hyun Bin, wajah manisnya membuat siapapun betah berlama-lama menatapnya.
“Assalamualaikum,” suara salam membuyarkan ingatan manisku.
Nyebelin, padahal pas manis-manisnya. Namun, ya sudahlah namanya juga tamu. Mana bisa kita request jangan datang dulu.
“Waalaikumsalam. Mas Yono,” jawabku menoleh ke arah pintu.
Di sana berdiri seorang pria paruh baya.
“Mas Yanto ada?” tanya Mas Yono – tetanggaku juga, rumahnya berada di ujung paling dalam dusun area perbatasan pemukiman dan tanah pertanian.
“Maaf Mas Yono, Mas Yanto sedang di rumah Mbak Wiwik,” balasku menghampiri tamu Mas Yanto.
“Waduh,” pekiknya sedikit kencang.
“Ya sudah, saya susulnya,” pamit Mas Yono tanpa menunggu jawabanku. Ia sepertinya juga buru-buru.
Tubuhku lunglai seketika. Padam sudah harapanku menunggu kedatangan Mas Yanto. Aku bisa memastikan suamiku itu pulang lebih lama.
**
“Dek, maaf ya, pulangnya jadi siang begini,” kata Mas Yanto saat kusiapkan makan pagi yang kesiangan.
Mas Yanto baru tiba di rumah sekitar pukul setengah sebelas, padahal jatah sarapan itu hanya sampai pukul sepuluh.
Kuhembuskan napas teratur menyentuh pundaknya, “Gak pa-pa, Mas.”
“Emang tadi di rumah Mbak Wiwik dan Mas Yono ngapain?”tanyaku sambil duduk di samping Mas Yanto.
“Anaknya Mbak Wiwik sudah tiga hari ini badannya panas gak turun-turun. Obat dari puskesmas gak mempan,” jawab Mas Yanto seraya menuangkan nasi di piring.
“Mas, maaf ya, aku tadi sarapan dulu. Perutku gak bisa diajak kompromi,” ucapku merasa bersalah karena sarapan terlebih dahulu tidak menunggu kepulangannya.
“Iya, gak pa-pa. Kalo ayang gak makan terus sakit, Mas juga yang susah. Lain waktu kalo Mas Yanto ada panggilan kayak tadi, sarapan aja dulu,” jawab Mas Yanto mulai memasukkan makanan ke mulutnya.
Aku menunda sementara kekepoanku, menunggu Mas Yanto menyelesaikan makannya dengan sabar. Tidak enak juga bertanya saat ada orang makan. Toh, tidak akan lama.
Suamiku tipe orang yang makannya cepat. Kata orang Jawa, manusia yang makan cepat berarti kerjanya juga cekatan. Rizkinya mengalir terus.
Iya, cekatan karena pekerjaan sudah menunggu. Dulu mana pernah aku percaya mitos begini. Sungguh, diluar nalar dan jangkauanku.
Seiring waktu, aku kembali menelaah semua mitos yang dikeramatkan leluhurku. Mencari filososi lain di setiap makna yang tersirat dan terkandung di dalamnya.
Ternyata, filososi mereka luar biasa. Sangat mendidik dan bagus. Hanya saja cara penyampaian mereka saja yang kurang tepat.
Seperti yang baru saja aku pikirkan, orang yang makannya cepat berarti kerjanya cekatan.
Tidak ada keburukannya sama sekali. Bisa juga disebut benar, meskipun tidak seratus persen karena sesuai perkiraan orang yang makannya cepat pasti ada pekerjaan yang hendak ia selesaikan, sehingga orang menilai cekatan dan rajin.
Masih pada ingat, kan? Penjajah kita dulu sangat kejam. Mereka tidak mentolerir pekerja yang lambat. Apalagi dengan sistem rodi dan romusha, ngeri banget. Semoga tidak pernah lagi kejadian seperti masa itu.
Mereka bekerja tanpa diupah dan bahkan diberi makan ala kadarnya. Namun, diminta menyelesaikan pekerrjaan secepatnya. Sungguh tidak manusiawi. Entah berapa ribu korbannya.
Masa yang penuh penderitaan penduduk pribumi. Dikeruk kekayaan alamnya tanpa kita diberi imbalan yang pantas. Kemiskinan merajalela. Kebodohan dimana-mana. Cukup sudah peristiwa kelam menjadi pelajaran.
Keramahtamahan, kepolosan dan kebaikan rakyat Indonesia bukan untuk disalahgunakan, tetapi jadikan identitas untuk meningkatkan derajat dan martabat bangsa.
Sudah pantes belum, sih dijadikan bahan untuk kampanye? Kejauhan banget dan tidak tahu diri banget aku. Mikir sampai sejauh itu.
Aku yang hanya seorang istri dukun, mana ada yang percaya dengan dalilan politikku begitu. Tidak ada pantes-pantesnya.
Auk, ah. Aku mau balik ke Mas Yanto yang meneguk air putih dengan nikmatnya.
“Seger banget, Dek,” ucapnya kembali menuangkan air putih yang ada di kendi.
Teko khas zaman dulu itu, benar-benar memiliki kemampuan luar biasa. Air putih hasil rebusanku berubah sedingin air yang masuk lemari es.
Sebelum pindah ke Banyuwangi, mana percaya aku pada kendi yang bisa mendinginkan air. Sekarang malah menjadi benda favorit, tidak tergantikan dengan buatan pabrik. Benda berbahan dasar tanah liat itu membuatku takjub sejak awal pindah.
Benar-benar move on dari lemari es. Bukan berarti kami tidak memiliki pendingin tersebut. Lemari es di rumah kami hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan agar awet dan tidak mudah busuk.
“Alhamdulillah,” ujar Mas Yanto mensyukuri nikmat Tuhan.
Tuhan yang lama kita abaikan. Sungguh malu, bukan.
Aku membereskan sisa-sisa makanan Mas Yanto, sebelum kembali mencercanya dengan pertanyaan.
“Anaknya Mbak Wiwik ternyata kenapa, Mas?” tanyaku seraya duduk di sampingnya.
“Sawanen manten,” jawab suamiku.
“Sawanen gimana?” tanyaku serius karena istilah sawan termasuk kata baru di kamusku.
“Mbak Wiwik seminggu lalu datang ke acara manten sodaranya bawa si Adit. Pulang dari sana, anaknya rewel sampai panas,” balas Mas Yanto.
“Tadi pas nyampe sana ternyata ada yang ngikuti si Adit. Ya udah, aku kembalikan ke tempatnya tadi,” lanjut Mas Yanto.
Aku sedikit lega mendengar cerita Mas Yanto, yang tidak membahas Mbak Wiwik sama sekali. Artinya, ia memang benar-benar fokus pada Adit – anaknya Mbak Wiwik.
Mungkin aku saja yang terlalu parno dan cemburu, tapi wajarlah seorang istri cemburu. Mana yang didatangi rumah wanita bahenol pula.
Meskipun, jauh dari kategori cantik karena dandanan menornya. Ups, kututup mulut dengan telapak tangan karena kebiasaan buruk mengghibah orang dalam hati.
Dosa gak, sih?
“Terus Mas Yono tadi kenapa? Kok kayak buru-buru, gitu?” aku kembali bertanya.
“Mas Yono tadi cuma tanya pendapatku soal khitanan anaknya,” jawab Mas Yanto.
Tanpa dijelaskan aku sudah tahu arah pembicaraan dua lelaki itu. Apa lagi kalau bukan hari dan tanggal baik.
“Anaknya yang mana yang mau khitan, Mas?” tanyaku sembari mengingat jumlah anak Pak Yono.
“Anaknya yang nomer 4 dan 5, kan mereka kembar,” jawab Mas Yanto sambil tersenyum.
“Memangnya anak Mas Yono berapa, sih?” Jiwa kepoku kembali meronta.
“Anak Pak Yono sama istri pertamanya ada 2, si Menik sama si Putri. Terus setelah Mbak Titik meninggal Pak Yono menikah lagi sama Mbak Ika janda anak 1. Pernikahan Pak Yono dan Mbak Ika dapat 3 anak. si kembar sama si bungsu yang masih umur 3 tahun,” urai suamiku dengan jelas.
Aku memang tidak seberapa paham penduduk di sini maklum baru setahun. Jadi, terkadang jiwa kepoku muncul sewaktu-waktu.
“Waw, setengah lusin,” pekikku terkejut dengan jumlah anak mereka.
Mas Yanto tersenyum lebar mendengar komentarku yang mungkin dimatanya terlihat norak, sedangkan bagiku di zaman now memiliki anak lebih dari tiga adalah sesuatu banget.
"Aku nanti juga ingin punya anak setengah lusin," bisik Mas Yanto tepat di telingaku.
**
bersambung