34. Kejujuran

1217 Kata
Di hadapanku kini sudah ada Ina. Sedangkan Acong menunggu di luar. “Apa yang ingin Ina sampaikan?” tanyaku setelah merasa bahwa Ina sudah nyaman. Gadis tampak berusaha menatapku tegar. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Menerkapun belum tentu benar. “Si Abang pasti udah cerita kan, Teh,” ujarnya dengan logat Sunda. Wow, amazing ternyata mereka pasangan beda suku. Satu dari Madura dan satu dari Bandung. Aku mulai berpikir tentang rintangan yang pasti mereka hadapai dengan keluarga besar masing-masing. Apalagi penduduk dari suku Madura terkenal dengan sifat keras kepalanya. Sedangkan si Mbak yang dari Sunda terkenal dengan kelembutannya. Ada spekulasi juga bisa jadi karena permasalahan ini, akhirnya menjadi pemicu ketidaknyamanan Acong atau Ina. “Abang sepertinya ragu kalau saya masih virgin saat pertama kali melakukan,” lanjut ina dengan jujur. Tidak aku pungkiri Acong tadi mengungkapkan hal yang sama seperti yang Ina sampaikan. Keragu-raguannya pada status perawan Ina. “Padahal selama ini memang belum ada yang menyentuh saya selain dia,” keluhnya dengan sedih. Aku masih berusaha dalam mode menyimak agar Ina dapat menumpahkan seluruh uneg-unegnya lalu menyinkronkan dengan pernyataan Acong. “Saya pernah jatuh waktu kecil, Teh. Bukan jatuh biasa, tapi kewanitaan saya terbentur sepeda yang saya naiki,” ungkap Ina. “Tapi karena masih kecil dan tidak paham tentang apa itu selaput darah dan tidak ada yang saya lakukan. Menyampaikan ke orang tua juga tidak kepikiran,” lanjut Ina seolah ada penyesalan tentang masa lalunya. Aku menghembuskan napas lirih mendengar penjelasan Ina. “Bahkan saya tidak pernah tahu, ternyata efek dari jatuh saya adalah sobeknya selaput darah.” Ina masih bercerita dengan tenang, meskipun aku tahu ada kesedihan dan kecemasan terukir jelas di wajahnya. Aku pun mulai menyinkronkan fakta dengan pola pikir Acong yang beranggapan bahwa keperawanan seseorang ditandai dengan darah saat pertama berhubungan. “Mbak Ina tenang dulu, sambil berpositif thinking karena kita harus meluruskan pendapat Acong soal ini,” kataku mencoba memberi motivasi bahwa semua bisa diselesaikan. “Berapa kali kalian melakukannya?” tanyaku. “Sekali dan Acong auto illfeel,” jawab Ina. “Ia sepertinya ingin memutus rencana pernikahan yang sudah kami tetapkan,” lanjut Ina. “Berarti keluarga kalian sudah merestui?” tanyaku penasaran. “Sudah, Teh.” Ina mengangguk mengiyakan pertanyaanku. Patah sudah hipotesa bahwa keluarga mereka menjadi pemicu, ternyata pemicunya mereka sendiri. Kebodohan dan kurangnya pengetahuan menyebabkan sesuatu yang harusnya tidak terjadi malah terjadi. “Sudah pernah cerita ke Acong soal kamu yang jatuh?” tanyaku. “Sudah, tapi ia tidak bisa percaya begitu saja,” jawan Ina sedih dan putus asa. “Kalo gitu kita panggil si Acong. Eh, betewe siapa nama pacar kamu, sih? Dari tadi aku memanggilnya Acong mengikuti suamiku,” ucapku menahan diri untuk tidak masuk terlalu jauh sementara, kualihkan dengan tertawa kecil karena kecerobohanku yang belum mengenal klienku kali ini. “Fakhri, Teh. Namanya Fakhri Ardiansyah,” jawab Ina ikut tertawa. “Teh Mega lucu juga ternyata. Tadinya aku sudah ketar ketir takut mau diajak ke dukun. Ternyata dukunnya cantik dan baik tidak seperti ekspektasiku,” puji Ina dengan lancar. “What apa katanya aku dukun cantik? Gak salah tuh, si Fakhri menyebutku dukun?” gumamku dalam hati. “Yang dukun Mas Yanto, kenapa ngimbas ke aku?” batinku menatap Ina. “Tuh, kan Mbak Mega tambah cantik kalau lagi tersenyum gitu,” kata Ina lagi-lagi memujiku. “Mending kamu panggil aja si Acong suruh masuk, entar gak kelar-kelar masalah kalian,” seruku mengalihkan Ina dengan semua pujiannya yang bisa membuatku besar kepala. Ina bangkit dari duduknya memanggil Fakhri sesuai perintahku. Tak lama kemudian Fakhri dan Ina sudah kembali ke ruang tamu bersamaan dengan Mas Yanto yang juga baru selesai mandi. Wajahnya terliihat lebih segar dan berseri. Mas Yanto ikut duduk dan nimbrung diantara kami tanpa perlu meminta izin siapapun. Sempat kulihat wajah Ina yang kebingungan karena kehadiran suamiku. “Ini suamiku, Mbak,” kataku memperkenalkan Mas Yanto khawatir Ina semakin tidak nyaman. “Oh,” ucap Ina tersenyum kecil sebagai sapaan pada Mas Yanto. “Dha’ remmah, Cong?” tanya Mas Yanto dengan dialek Madura begitu Ina dan Fakhri sudah duduk. Fakhri menatap suamiku sambil tersenyum kecil. “Cong, gak selamanya melepas keperawanan harus dengan berdarah. Banyak faktor pemicunya.” Mas Yanto menggeser posisi duduknya lebih dekat ke arahku. “Bisa jadi karena kecelakaan, ketebalan selaput darah atau olahraga. Jadi, yang bisa tahu pasangan masih segel atau belum kalian berdualah,” tutur Mas Yanto tanpa menunggu jawaban apapun dari Fakhri. “Kita cowok pasti bisa membedakanlah mana yang masih ori dan yang sudah pernah dipake. Kamu gak perlu khawatir soal Ina. Aku yakin dia anak baik-baik. Tapi, semua tergantung sama kamu. Kamu yang berbuat harusnya kamu yang bertanggung jawab. Itu baru namanya lelaki gentle,” tutup Mas Yanto memberi sedikit wejangan pada Fakhri. Tadi sempat aku singgung sedikit soal keperawanan pada pemuda itu. Entah dia paham atau tidak. Ketika aku minta keluar pun, ia aku suruh merenungkan kembali perbuatan, perasaan dan kebimbangannya pada Ina. Rupanya Mas Yanto paham persoalan kedua pasangan ini. “Cong, kalian udah melakukan perbuatan dosa. Jangan tambah lagi dosa kalian!” seru Mas Yanto. “Saran saya, segera saja kalian menikah!” lanjutnya. “Nurut kamu gimana, Dek?” Mas Yanto beralih menatapku, begitupun Ina dan Fakhri. Sepertinya mereka berdua juga ingin mendengar pendapat dari versiku. “Setuju dan sepakat sama yang diucapkan Mas Yanto. Sama seperti yang saya sampaikan diawal, bukan?” ucapku yang diangguki Fakhri. “Mulailah berpandangan luas terhadapa semua persoalan yang menimpa kita,” lanjutku. “Kalian yang awalnya saling suka, saling cinta bahkan berniat menikah itu sudah suatu hal yang bagus. Namun, hanya karena kesalahan yang kalian perbuat sendiri, keraguan itu muncul. Sekarang semua kita kembalikan pada kalian sebagai tokoh utamanya.” Aku menatap kedua pasangan muda dihadapanku bergantian. “Apalagi kamu Fakhri. Kamu kelak kepala keluarga. Jangan hanya memandang satu hal dari sudut pandang kita sendiri. Galilah dari orang-orang sekitar juga. Dengarkan keluhan dan cerita pasangan,” kataku. “Pendapatku soal Ina juga sama kayak Mas Yanto. Dia gadis baik.” Kutatap Fakhri yang sepertinya mulai pusing dengan semua ceramahku. Rasanya sudah lama sekali tidak melakukan sesi seperti ini dengan klien. Mengingatkanku saat masih bekerja di Surabaya dulu. “Kalian bicaralah dan diskusikan berdua karena hidup kalian ada ditangan kalian sendiri. Yang menjalani pernikahan juga kalian,” lanjutku. “Mbak Mega, Mas Yanto terima kasih sudah memberikan Bang Fakhri banyak pengertian,” ucap Ina sebelum pamit pulang. Sepertinya pola pikir Fakhri mulai terbuka setelah datang ke tempat Mas Yanto. Kami kali ini memberi solusi tanpa bantuan hal gaib apapun. Bahkan Mas Yanto melimpahkan kasusnya padaku. Entah apa maksudnya? Namun, ada rasa kepuasan tersendiri setelah membantu Mas Yanto kali ini. Dalam hati aku berharap mereka baik-baik saja, bagaimanapun mereka berdua sudah melangkah terlalu jauh dalam hubungan yang belum halal. Aku sampai berpikiran apa semua anak muda rela melakukan hubungan seperti itu hanya karena sebuah ikatan cinta, walaupun belum halal. Kedatangan Fakhri dan Ina memberiku banyak pelajaran bahwa kelak saat menjadi orang tua, aku ingin menjadi orang tua tempat anak bersandar dan berkeluh kesah. Aku ingin menjadi orang pertama yang tahu permasalahan putra putriku. Aku ingin bisa menjadi orang tua dan sahabat sekaligus bagi anak-anakku kelak, Fakhri dan Ina masih beruntung bertemu kami, coba jika mereka bertemu orang yang salah dan memanfaatkan kondisi keduanya. Yang ada malah semakin ruwet persoalan mereka. *** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN