23. Izin Suami

1192 Kata
Aku bernapas lega mendengar Mas Yanto sudah mulai mengizinkan mulai bekerja. Rasanya bahagia sekali seperti mendapat durian runtuh. Badanku juga terasa lebih enakan daripada sebelumnya. Tunai sudah kewajiban istirahat yang membosankan karena hanya boleh rebahan tanpa banyak melakukan banyak aktifitas. Mas Yanto benar-benar jago menjaga dan merawatku sampai aku benar-benar sehat. Kupeluk suamiku dengan erat begitu ia mengizinkan aku sudah boleh bekerja saking bahagianya. Tak ada lagi rasa malu dan gengsi karena peluk suami kan, dapat pahala. Kulirik Mas Yanto hanya tersenyum membalas pelukanku. Sesekali ia tertawa lebar tanpa suara seolah ikut merasakan kebahagianku. "Makasih, ya, Mas," bisikku tanpa melepas pelukannya. Kuciumi pipi, kening dan lehernya tanpa henti. "Sayang, udahan ciumnya entar kalo kebablasan gimana?" balasnya sambil berbisik pula. "Kebablasan kan, ada kasur," elakku sambil melepas pelukan. "Hei jangan dilepas!" seru Mas Yanto menyusulku ke belakang. *** Kurapikan pakaian, dandanan dan tatanan rambutku di depan cermin sambil sesekali membuat garis simetris di bibirku. "Cantik," pujiku pada diri sendiri, kupoleskan bedak warna beige sesuai jenis kulit. Kurapikan kaos berkerah warna merah jambu. Aku sengaja memilih pakaian casual mengingat pekerjaan yang kukerjakan akan banyak dihabiskan di lapangan. Rambut kusisir serapi mungkin setelah kucuci tadi tadi pagi. Aroma wanginya menguar semerbak menusuk indra penciumanku. Ah, shampo kiriman Jehan ini benar-benar pas banget wanginya. Segar dan tidak membuatnya lepek. Sudah kayak iklan shampo aja, nih, tapi beneran pilihan Jihan selalu tepat. kuikat rambut ke belakang lalu kuberi hiasan pita cemol dan memasukkan seluruhnya ke jaring-jaringnya agar suraiku tidak berantakan saat dijalanan. Aku pun sengaja memakai make up yang natural agar tidak terlihat seperti wanita genit yang suka berdandan menor. Padahal aku memang bukan tipe perempuan yang suka berdandan. Semua warna make up yang kupilih hampir semuanya natural. Meskipun, ada warna pink, tapi aku memilih yang sangat soft. Merasa sudah rapi dan tidak ada yang terlewatkan, aku keluar kamar dengan mencangklongkan tas selempang ke bahu. Tetap saja secantik-cantiknya aku dandan tidak akan ada yang bisa melihat. Wajahku tertutup masker sebagai alat pelindung diri dari gempuran virus yang antara ada dan tiada. Di ruang tengah kulihat Mas Yanto sudah menungguku sambil menonton acara berita pagi di salah satu chanel televisi nasional. "Sudah siap?" tanyanya menatapku tanpa berkedip. "Sudah." Aku mengangguk perlahan. "Kamu cantik. Jangan sering-sering dandan kayak gini," bisiknya sembari menggandeng tanganku menuju motor yang sudah terparkir di depan. Dadaku mendadak bergemuruh kencang mendengar ucapan Mas Yanto. Sederhana dan tidak neko-neko, tetapi mampu membuatku ter-Yanto-Yanto. Pokonya all about Mas Yanto, deh. Gak akan ada yang mampu menggantikannya. "Pegangan yang kuat. Sekuat cintaku padam. Jangan dilepas karena aku akan ada bersamamu," kata Mas Yanto begitu aku naik diboncengan. "Gombal terus," balasku sambil tertawa mengalihkan perasaanku yang sudah terbang diawan-awan efek gombalan receh suami tampanku. Semoga tidak ada yang menyadari ketampanannya. Begitu selalu doa yang aku baca setiap kali meninggalkan suamiku bekerja dan bertemu banyak wanita. Alay banget, kan. Namun, begitulah adanya. Dengan profesi dukunnya akhir-akhir ini membuatku cemas suamiku terpikat salah satu tamunya. "Kemana Mas?" tiba-tiba seorang wanita menghentikan motor yang bersiap melaju. Baru saja aku ghibah dalam hati, datang seorang wanita. "Oh, iya Mbak." Kuperhatikan Mas Yanto mengerem mendadak motornya lalu menatap wanita yang menghalangi jalan kami. "Saya ada perlu sama Mas Yanto," seru wanita tersebut mengaggapku seolah tidak ada. "Silahkan ditunggu, Mbak. Saya mengantar istri dulu," kata suamiku ramah. Wanita itu sekilas terlihat menatapku dengan pandangan kesal. Aku yang dibonceng rasanya ingin nyemprot karena seenaknya menghalangi jalan kami. Bahkan dengan tidak sopannya berseru pada suamiku. Lebih gregetannya lagi, Mas Yanto membalas dengan nada yang sopan tidak ada aura marah atau emosi. Duh, kalo aku yang berhadapan dengan wanita macam ini sudah aku usir dengan caraku yang sedikit brutal. Gelar sarjana psikologiku seolah tidak berlaku jika berhadapan dengan orang macam dia. Namun, aku harus menahan diri. Semua kemarahanku hanya sebatas dalam hati tidak mungkin tersalurkan dengan leluasa, mengingat posisi Mas Yanto dan diriku sendiri yang saat ini mulai bekerja untuk masyarakat. Entah siapa wanita dihadapan kami sekarang. Bisa jadi, suatu saat kita akan bertemu kembali. Jika saat itu tiba, aku tidak ingin ia memiliki penilaian negatif padaku. Jatuh gengsiku seketika, jika itu benar-benar terjadi. "Mbak, silahkan tunggu sebentar di sana!" kudengar Mas Yanto mengarahkan tamunya untuk menunggu di teras. "Saya tidak akan lama. Paling cuma lima belas menit," lanjut Mas Yanto. "Baiklah," jawab wanita itu mengalah seraya menatapku. Kuberi anggukan dan senyuman sebagai isyarat pamitan, tetapi tentu saja wanita itu tidak bisa melihat senyumku yang tertutup masker. Masa bodohlah, yang penting aku sudah berusaha seramah mungkin, menurunkan egoku yang terkadang setinggi langit. *** Kucium punggung tangan Mas Yanto sebelum meninggalkan halama balai desa. "Baik-baik, ya! Nanti aku jemput lagi," pesan Mas Yanto sebelum pulang. "Pulangnya biar saya antar, Mas!" tiba-tiba Adam muncul dari belakangku sambil membetulkan letak tas punggungnya yang terlihat penuh barang. Tampaknya ia juga baru sampai. Terdengar napasnya yang tidak beraturan. Terdengar sangat keras dan payahnya terlihat dengan jelas. Ingin rasanya aku tertawa melihatnya. Namun, tidak mungkin juga bisa-bisa Mas Yanto kembali jealous. Berabe, kan. Kutahan semampunya hasrat ingin tertawa sekuat-kuatnya. "Gak perlu, Dam. Toh, jam kerja kalian berbeda. Mega sudah pulang kamu masih di sini," tolak Mas Yanto. Kudengar ada nada tidak suka dari caranya menolak tawaran Adam. Tuh kan, untung saja aku menahan diri. "Okelah," jawab Adam sambil terkekeh. "Balik dulu, Dam. Bye, Mega." Mas Yanto berpamitan pada kami berdua sembari memutar balik motornya kembali ke rumah. "Masuk yuk, Mbak!" ajak Adam setelah motor Mas Yanto sudah tidak terlihat lagi. "Yuk!" balasku berlalu dari halaman balai desa. Akhirnya, aku menumpahkan tawaku sekencang-kencangnya sebelum benar-benar masuk area pendopo. "Kenapa, Mbak?" tanya Adam keheranan. "Gak pa-pa. Cuma denger kamu bernapas ngos-ngosan kayak dikerjain hantu terlihat lucu banget." Kututup mulutku menahan suara agar tidak terdengar sampai ke ruangan lain karena kami sudah hampir ke balai utama. "Mbak Mega, apa kabar?" Pak Kades tiba-tiba keluar dari ruangannya menyapaku. "Alhamdulillah, baik, Pak," jawabku gugup karena jarang-jarang berinteraksi dengan pnguasa desa kami itu. "Sudah sehat, Mbak?" tanya Pak Kades meneliti ke arahku dengan seksama. "Alhamdulillah, sehat. Bapak bagaimana kabarnya? Maaf ya, Pak karena sakit program jadi mundur," balasku merendah. "Slow aja, Mbak. Wong namanya juga sakit. Siapa yang mau sakit. Apalagi kondisi saat ini tidak banyak menguntungkan. jadi, kita harus pandai-pandai jaga kesehatan sendiri," urai Pak Kades bijaksana. "Iya, Pak. Pak, saya masuk dulu ke ruangan saya," pamitku pada Pak Kades. "Silahkan, Mbak." Pak Kades mempersilahkanku. "Dam, kamu ikut saya!" titah Pak Kades sebelum Adam mengikuit langkahku masuk ke ruangan. Kuletakkan tas di kursi kayu khas pegawai. Kuedarkan pandangan menatap setiap sudut yang sudah dua minggu aku tinggalkan. Sepi. Hanya ada aku sendiri. Sherly masih dalam kondisi pemulihan di rumah. Virus ditubuhnya sudah dinyatakan negatif. Untunglah, kondisinya bisa semakin baik sebab yang aku dengar banyak pasien yang gugur di rumah sakit akibat virus mematikan ini. Dua minggu istirahat, membuatku merindukan ruangan yang baru sehari aku tempati bersama Sherly dan Adam. Bukan hanya ruangan, tetapi juga Sherly. Untuk Adam aku tidak merindukannya sebab ia terlalu sering bolak balik rumahku. Wajahnya terlalu sering muncul, sehingga kehadirannya bukan sesuatu yang spesial. Ia tetap menjadi partner terbaik. Segera kubuka laptop mengecek data yang sudah Adam persiapkan, seperti yang ia sampaikan malam sebelumnya di rumahku. Hubunganku dan Adam semakin dekat karena proyek ini. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN