"Kondisi Mbak Mega, gimana?" tanya Adam saat menjengukku di rumah.
hari ini adalah hari keenamku istirahat di rumah. Selama lima hari berbaring, akhirnya hari ini aku merasa lebih enakan.
Sehingga saat Adam datang, aku bisa menemuinya. Sedangkan Mas Yanto masih fokus di ruang prakteknya melayani pasien dengan berbagai keluhan.
Entah siapa saja pasiennya selama enam hari ini? Aku tidak mempedulikannya. Enam hari ini aku hanya ingin sehat.
Aku melupakan semua kekepoanku tentang pasien Mas Yanto yang menurutku aneh-aneh dan tidak bisa diterima nalar.
Namun, begitulah profesi dukun. Andai permintaan mereka biasa-biasa saja, tidak perlu repot-repot menemui Mas Yanto.
Mas Yanto sendiri selalu menerima dan jarang menolak permintaan pasiennya. Aku senang-senang saja tinggal terima amplop. Amplop yang isinya entah halal atau haram.
Amplop yang tidak pernah kami pikirkan bagaimana kelak mempertangggungjawabkannya di akhirat.
Bagi kami adalah kelangsungan hidup. Meskipun, terkadang ada pertentangan di hati. Namun, aku bisa apa? Karena aku ikut menikmati hasilnya.
Terdengar munafik sekali jika aku tidak mengakuinya, bukan? Saat kondisi seperti ini, dimana ekonomi terombang-ambing kata haram dan halal seakan tidak ada bedanya.
Manusia hanya mementingkan perut dan dirinya sendiri. Itu saja terasa susahnya, tidak ada yang peduli dengan kondisi orang lain.
Bagaimana terpikir mementingkan orang lain, jika kebutuhannya sendiri saja belum terpenuhi. Menyesakkan.
beginilah efek sebagai makhluk rebahan karena larangan dan pembatasan sosial. Padahal setiap orang butuh melanjutkan hidup.
bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup saat semua dibatasi, bahkan kegiatan ekonomi tidak berjalan stabil.
Aku dan Mas Yanto hanya salah satu yang beruntung karena mampu bertahan hingga sejauh ini.
Entah karena keberuntungan atau Tuhan yang masih berbaik hati pada kami. Tidak membiarkan kami kekurangan.
Namun, hidup terus berjalan. Tanpa melihat kondisi penghuni bumi yang terus kesulitan mempertahankan diri.
Berbagai jalan mereka tempuh untuk meneruskan hidup yang semakin tidak berarti.
Nyawa seakan tidak ada nilainya. Pagi masih bernyawa sore sudah dinyatakan mati. pemakaman hanya sebatas simbolis tidak ada pengiring seperti normalnya penghormatan kepada orang yang pernah hidup.
Entah apa yang ada di otak masing-masing profesor dan ilmuwan apalagi negarawan yang men-nas virus ini sebagai wabah.
Desa yang pada awal aku datang damai dan tenang, kini mulai ramai karena penyebarannya sudah ke pelosok.
"Kondisi Sherly, bagaimana?" tanyaku memikirkan nasib rekan timku itu.
Aku yakin ia dan keluarganya pasti mengalami kesulitan saat ini.
Menurut cerita Adam, Sherly masih berada di lokasi karantina hingga seminggu ini.
Belum ada perkembangan yang signifikan. Namun, kedua orang tuanya sudah diizinkan pulang setelah hasil tes swab terakhirnya negatif.
Di tempat karantina hanya tinggal Sherly dan kakaknya. Kondisi mereka masih belum stabil, terutama Sherly.
Entah stabil itu ynag seperti apa? Aku hanya mendengar dari Adam yang sepertinya juga rutin menengok.
Kondisiku sendiri Alhamdulillah, sudah semakin membaik. Mas Yanto memilih merawat sendiri aku di rumah tanpa perlu ke puskesmas apalagi rumah sakit.
Bagi Mas Yanto, ia sanggup menjagaku tanpa takut tertular virus apapun.
Setiap pagi jendela sudah dibuka lebar bahkan sampai sore tidak ia tutup. Menjelang matahari terbenam, mas yanto kembali menutupnya.
Entah apa maksudnya? Namun, setiap sinar matahari menerobos tanpa malu-malu dengan panasnya yang tidak kira-kira aku merasakan semakin enakan.
Saat ini pun, Mas Yanto memintaku untuk lebih banyak bergerak.
Suamiku dengan telaten membuatkan minuman hangat dan menyediakan beberapa vitamin.
Aku tidak ditinggal begitu saja. Saat ada pasien, Mas Yanto tetap menyediakan makanan dan minuman di meja.
Sehingga kapanpun aku haus atau lapar bisa segera makan tanpa menunggu Mas Yanto.
Aku tidak diizinkan ke rumah sakit, khawatir diisolasi seperti keluarga Sherly. Apalagi masyarakat sini masih parno tentang C-19.
Terdampak virus ini seperti kena penyakit menular yang wajib dijauhi. Tidak hanya penderitanya, tetapi juga keluarganya.
Mas Yanto seperti menjaga gengsinya demi profesi. Syukurlah aku akhirnya sehat setelah lima hari ngedrop.
Adam yang tahu kondisiku, hampir setiap hari memantau. Aku tahunya dari Mas Yanto yang selalu cerita kalau Adam datang.
Saat ini, kulihat sudah tidak ada lagi tatapan cemburu saat Mas Yanto menyebut Adam. Entah apa yang pernah mereka bicarakan? Hingga Mas Yanto mulai percaya pada rekan sekaligus tetangga kami itu.
Aku sangat bersyukur dengan kondisi tersebut.
"Mbak, Mbak Mega istirahat saja dulu sampai seminggu ke depan. Agenda kita tunda sampai kalian benar-benar sehat," seru Adam mengailhkan rasa cemasku pada Sherly.
"Maaf ya, Dam. Karena sakit pekerjaan jadi terbengkalai," kataku menyesal.
"Jangan dipikirkan. Mana ada orang yang mau sakit di dunia ini, Mbak. Udah Mbak Mega selow aja. sembuhin saja dulu badannya," balas Adam.
Aku mengangguk setuju.
***
Sepeninggal Adam aku kembali ke kamar, tubuhku masih terasa lelah.
"Adam sudah balik, Dek?" Aku sedikit terperanjat mendengar suara Mas Yanto saat aku membuka pintu kamar.
"Sudah, Mas," jawabku menuju ranjang.
Sejak kapan Mas Yanto di kamar?? Setahuku Mas Yanto sejak masih di ruangannya.
Ah, sudahlah Mungkin aku terlalu asyik berbincang dengan Adam sampaii tidak tahu suamiku sudah selesai.
Perlahan kupejamkan mata, tanpa mempedulikan Mas Yanto yang masih berdiri sambil tersenyum menatapku.
***
Kurasakan sebuah tepukan halus membangunkanku dari tidur yang begitu lelap. Selama enam hari terdampar di kasur aku baru merasakan nikmatnya tidur.
Rasanya baru memejamkan mata sebentar sudah ada yang membangunkan. Namun, aku tetap membuka mata. Merasa sedikit terganggu dengan tepukan tersebut.
"Ayo, makan!" suara khas milik Mas Yanto menunjukkan piring berisi menu yang ia masak hari ini.
Begitulah Mas Yanto, selama enam hari ini menggantikan tugasku di dapur. Kasihan juga karena harus bangun lebih pagi agar pekerjaannya juga tidak terbengkalai.
"Mas Yanto sudah bangun dari tadi?" tanyaku menerima piring yang dibawa Mas Yanto.
"Tidur, gimana? Aku sejak tadi di ruangan praktek. Bahkan kamu masuk saja aku tidak tahu," jawab Mas yanto terkejut.
Seingatku tadi, setelah aku berbaring, Mas Yanto juga ikut terbaring di sampingku.
Aku menatap Mas Yanto bingung. Kupindai seluruh wajah dan tubuh suamiku dengan cermat.
"Mas Yanto ganti baju?" tanyaku ragu.
Sebelum tidur aku ingat suamiku mengenakan t-shirt garis-garis hitam putih, tetapi sekarang yang ia kenakan kemeja polos warna navy.
"Ganti baju?" Mas kembali menatapku keheranan.
"Mas sejak tadi pakai kemeja ini, Dek." Mas Yanto menyentuh kemejanya dengan erat seolah mengingatkanku bahwa tadi aku yang menyiapkan pakaiannya.
Kuhentikan suapanku. Menyentuh wajah, kemeja lalu bahu, lengan dan telapak tangan Mas Yanto. Hangat.
Semua yang kusentuh terasa hangat dan kokoh seperti tubuh Mas Yanto biasanya, tidak ada yang patut dicurigai.
"Dek, ceritakan tadi kamu kenapa?" Mas Yanto terlihat panik.
Aku menggeleng lirih, meminta air yang ada di nakas. Selesai minum, aku menyerahkan piring dan gelas pada suamiku.
Kuhembuskan napas kasar saking bingungnya dengan keberadaan Mas Yanto saat ini dan tadi.
"Setelah Adam pulang, aku masuk kamar. ternyata di sini sudah ada Mas Yanto menungguku," uraiku dengan jelas.
"Tapi Mas sejak tadi belum keluar ruangan." Mas Yanto tampak celingukan mencari sesuatu.
"Oh, kamu, ya! Berani sama aku!" suara lantang Mas Yanto menatap ke arah sudut jendela.
***
Bersambung