9. Siapa Dia?

1101 Kata
Sebuah suara yang begitu familier mengejutkanku dari belakang. Seketika aku menoleh. “Mas,” kataku cepat. “Bukannya kamu ….” “Aku tadi dari kamar mandi,” potong Mas Yanto. “Tapi tadi di sana ….” Aku menunjuk ke ruangan praktek suamiku dengan gemetar. “Looh, kok kosong?” pekikku kaget karena ruangan tersebut kosong tidak ada siapapun. Padahal sebelumnya aku jelas-jelas melihat Mas Yanto sedang melakukan ritual di sana. “Kamu kenapa?” tanya Mas Yanto dengan wajah terlihat panik. “Dek, wajah kamu pucat. Pasti kedinginan lagi,” tebak Mas Yanto memeluk dan menuntunku ke kamar. “Mas,” seruku tanpa mengizinkannya melepas pelukan. “Kenapa, dek?” Tangannya yang kokoh merebahkanku dengan lembut. “Mas, jangan tinggalin aku.” Kutarik tubuh Mas Yanto agar berbaring di sebelahku. Tanpa banyak cakap, segera kudekap erat tubuh kekarnya. Kudengar Mas Yanto terkekeh melihat tingkahku. “Kamu, kenapa, dek?” tanyan Mas Yanto disela-sela tawanya. “Mas, mulai sekarang jangan jauh-jauh dari aku!” pintaku memaksa. “Memangnya, selama ini Mas pernah jauh-jauh dari kamu?” suaranya mulai terdengar genit. “Mas, aku serius,” ucapku mendongak menatap matanya yang bulat. “Aku juga.” Kecupan manis mendarat sukses di keningku. “Ada apa? Katakan,” ucapnya lembut sembari membelai suraiku yang berantakan. “Aku tadi liat Mas Yanto ritual di ruang praktek,” ucapku lirih dan terbata-bata karena masih ada rasa takut bersarang. “Tapi kamu malah datang dari belakangku.” Kudekap kembali tubuh Mas Yanto. “Dia bukan aku,” ucap Mas Yanto lirih. “Sepertinya makhluk itu sudah berani menantangku,” kudengar Mas Yanto bergumam pada dirinya sendiri. “Tadi itu aneh, Mas. Dinginnya luar biasa. Terus pas aku ke ruang tamu, ada bau-bau wangi. Lalu di ruangannya Mas Yanto ada bau menyan. Padahal selama ini Mas Yanto ndak pernah pake menyan.” Kueratkan dekapan sambil menyembunyikan kepalaku. Memindai rasa takut menjadi nyaman. “Udah, jangan takut. Dia gak akan berani macam-macam. Dia itu terpesona sama kamu. Sini aku pijit biar cepet tidur.” Mas Yanto mengurai pelukanku. Namun, dengan cepat kutahan. “Aku gak capek. Peluk aku saja,” pintaku gemetar. Mas Yanto kembali terkekeh mendengar permintaanku. Mungkin baginya permintaanku kali ini sedikit aneh. Jujur saja, aku bukan tipe wanita manja yang setiap hari inginnya disayang-sayang terus. Baru kali ini juga, aku meminta dipeluk suamiku. Aneh sih, tiga tahun menikah baru minta peluk sekarang. Kalau ada yang mengatakan jaim atau jaga imej, terserah ya. Namun, aku sering merasa tidak nyaman tidur berpelukan. Bahkan setelah melakukan ritual suami istri, aku hanya sanggup bertahan sepuluh sampai lima belas menit dalam pelukan Mas Yanto. Selebihnya aku memilih tidur terlentang di sampingnya. Baru kali ini juga aku merasakan nyamannya berada dalam pelukan Mas Yanto. Hahaaa, a***y. Serius aku jadi malu. Setelah tiga tahun, gitu loh. Lama banget. Sepertinya Mas Yanto mengalah, dengan sabar menidurkanku dalam pelukannya. “Awas terlalu nyaman. Ntar gak mau lepas loh,” godanya di telingaku. “Mas, kalo kamu goda terus. Kapan aku bisa tidurnya?” ucapku kesal. Mas Yanto kembali terkekeh dan mendekapku dengan nyaman. Dalam kenyaman Mas Yanto aku sempat memikirkan, siapa dia? Orang yang mirip Mas Yanto? Apa maunya? Apakah benar, dia cuma terpesona denganku? Seperti yang dikatakan Mas Yanto. Namun, tentu saja semua pertanyaanku tidak bisa terjawab. Karena Mas Yanto tidak pernah menceritakan apa pun yang berkenaan dengan perdukunan, kegaiban dan ritualnya. Katanya karena aku tidak percaya. Jadi, percuma juga menceritakannya begitu selalu yang ia ucapkan. Kusembunyikan kepalaku lebih dalam ke d**a bidang Mas Yanto. Semakin nyaman dan tenang. Perlahan aku mulai mengantuk dan terlelap ke alam mimpi. Aku membuka mata bertepatan dengan suara azan dari masjid terdekat. Suaranya begitu lantang dan nyaring. Posisiku masih berada dalam pelukan Mas Yanto. Kulihat wajah ganteng itu semakin lama semakin mempesona. Walaupun, terdengar adzan aku tetap tidak pernah peduli. Bagiku salat atau ibadah tidaklah penting. Yang penting bagaimana kelangsungan hidupku berikutnya. Hidupku benar-benar sudah jauh dari Tuhan. Bahkan aku sudah lupa, kapan terakhir kali beribadah. Aku kembali mengeratkan pelukan di tubuh Mas Yanto. Kulihat suamiku juga sangat lelah. Beberapa hari ini, ia memang kurang tidur. Aktifitasnya di kebun benar-benar menguras tenaga. Karena bukan hanya sekali ini aku melihat cara panen warga desa, jadi aku mulai paham bagaimana lelahnya bekerja di kebun atau sawah. Setelah masjid sudah tidak terdengar suara-suara doa atau apa pun yang tidak kutahu namanya, segera aku bangkit dan membersihkan diri. Walaupun hanya sekedar cuci muka dan gosok gigi. Kucuci beras dan mulai menyalakan kompor, memasak untuk dikirim ke kebun tempat panen suamiku. “Dek,” sapa Mas Yanto dengan suara khas orang bangun tidur. Kusenyumi Mas Yanto yang masuk ke kamar mandi. saat melintas di dekatku, Mas Yanto menarik pinggangku lembut dan satu kecupan menempel di dahiku dengan selamat. “Masak apa?” tanyanya memutar tubuhnya dan memelukku dari belakang. “Goreng lele,” jawabku. Mas Yanto tampak menghirup dalam-dalam aroma masakanku. “Sedap,” pujinya tanpa melepas pelukan, kepalanya bahkan bersandar di ceruk leherku. Rasanya geli dan membuat sekujur tubuhku bergetar. Meskipun, ini bukan pertama kalinya mas Yanto melakukannya. "Mas, udah. Ntar kamu kesiangan, loh. Masakanku belum selese juga," ucapku mengingatkan Mas Yanto agar tak melebihi batas mengingat padatnya kegiatan hari ini. Andai saja, hari ini Mas Yanto tidak sibuk aku tidak akan menolak ritual sayang-sayangan tak peduli waktu dan tempat. Mas Yanto kulirik sedang tersenyum misterius, "Aku ingat. Tapi ganti nanti malam, ya!" "Iya, semintanya Mas Yanto," balasku membalas kecupannya di kedua pipi Mas Yanto bergantian. Andai saja kami sudah memiliki buah hati, mungkin kami tak kesepian. Karena ada anak yang menyibukkan. "Aah ..." aku menepis jauh-jauh keinginan terbesarku. Kembali berpasrah. Mungkin Tuhan belum memercayai kami menjadi orang tua. Aku sadar diri, jika aku belum bisa menjadi umat terbaiknya. Aku masih sering melanggar laranganNya. Kewajiban banyak yang lalai. Bagaimana kelak bisa mendidik anak-anak jika iman kami masih lemah dan tipis. Aku melepas napas panjang, seolah membuang beban dipundakku. Melepas rasa bersalah kepada Mas Yanto soal anak. "Ndak usah mikir yang jauh-jauh. Kita slow down aja," bisik Mas Yanto seolah tahu yang aku pikirkan. "Dek, kalo suatu saat kamu melihatku berbicara atau melakukan kegiatan aneh sendiri, jangan diganggu, ya! Karena aku sedang berkelahi dengan makhluk dari dunia lain." Mas Yanto melepas pelukannya sembari memutar tubuhku menghadapnya menatap tajam dengan mimik serius. Aku hanya mengangguk pelan, meski tidak tahu arti ucapannya itu. "Anak baik. Aku siap-siap ke kebun," pamit Mas Yanto yang kubalas dengan senyuman. Di dalam hati aku melantunkan banyak-banyak doa untuk keselamatan dan keberkahan rizki suamiku. Meskipun dalam kehidupan aku merasa sangat jauh dari Tuhan. Namun, aku yakin Tuhan masih bersamaku. Masih mengasihi kehidupanku. Walaupun dalam bentuk berbeda. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN