Ba’da maghrib, sekitar lima belas anak berusia enam hingga delapan belas tahun berkumpul di rumahku. Mereka bukan orang jauh, tetapi anak tetangga kanan kiri. Bukan untuk berobat. Tujuan mereka datang untuk numpang belajar.
Kok bisa?
Apa aku menerima les?
Tidak. Di sini tidak ada penduduk yang paham tentang les. Mereka mau menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMA saja sudah baik.
Aku dan Mas Yanto sengaja menyediakan tempat untuk mereka belajar, karena hanya rumah kami satu-satunya yang sudah menggunakan penerangan dari listrik. Warga lain masih belum bisa memasang listrik terkendala biaya pemasangan yang relatif mahal bagi masyarakat pedesaan yang berpenghasilan rendah.
Saat Mas Yanto memasang listrik, banyak penduduk yang takjub. Walaupun desa sebelah sudah mulai banyak warga yang pasang, tetapi tetap saja mereka masih terkagum.
Kami yang merasa prihatin dengan anak-anak sekitar yang belajar dalam keremangan tergerak untuk memberi sekedar tempat untuk mereka belajar di malam hari. Mereka bisa datang setelah maghbrib dan bubar saat isya’ atau sampai tugas mereka selesai. Aku dan
Mas Yanto memberi kebebasan waktu. Karena keberadaan listrik tersebut jugalah, kami memiliki ponsel yang belum dimiliki penduduk sekitar.
Keterbatasan tersebut menjadi penyebab tidak adanya pembelajaran online di desa kami. Penyebaran virus C-19 yang merajalela memaksa pemerintah menutup pembelajaran tatap muka sampai waktu yang belum ditentukan menjadikan banyak murid belajar tanpa arah.
Beruntung guru desa, berhati mulai. Mereka bersedia melakukan pembelajaran dari rumah ke rumah, walaupun tidak setiap hari. Karena harus bergiliran dengan siswa di desa lainnya. Tugas tetap diberikan dan mereka mengerjakannya waktu malam. Karena mereka memilih membantu orang tuanya mengerjakan sawah atau kebun di pagi hari.
Corona benar-benar membuat kebiasaan berubah total. Bukan hanya penduduk kota, tetapi kami yang di desa juga mengalaminya. Hanya saja. Kami tidak begitu mempedulikan. Bukan karena tidak mengerti, tetapi kami mementingkan perut.
Siapa yang memberi kami makan?
Itulah yang kami pikirkan sebagai penduduk desa. Bagi kami, menghidupi keluarga lebih penting dari sebuah virus. Beruntungnya, penduduk di sekitar kami tidak ada yang terkena virus mematikan tersebut.
“Mbak mega, ini bagaimana?” tanya Tiya yang masih duduk di bangku kelas satu. Wajahnya terlihat bingung dengan buku yang ia bawa.
Aku menerima buku dari Tiya dan mulai membaca buku tematik tersebut.
“Coba kamu baca ini!” pintaku menunjuk perintah yang ada di buku tersebut.
Tiya menggeleng.
“Maksud kamu?” tanyaku bingung.
“Aku belum bisa baca, Mbak,” jawabnya menggigit bibir bawahnya ketakutan.
Kali ini aku yang mengerutkan dahi.
“Terus Bu Guru ngajarinnya, bagaimana?” tanyaku sambil menenangkannya. Kulihat beberapa anak lain menatap prihatin Tiya.
Tiya kembali meggeleng.
“Bu guru ngasih buku itu aja,” jawabnya menunjuk buku yang kubawa.
“Waduh,” batinku bingung.
Seumur-umur belum pernah mendapatkan anak usia SD belum bisa membaca. Selama ini yang aku tahu, anak masuk SD sudah siap dengan kemampuan membaca dan menulisnya. Bahkan saat aku observasi pada beberapa murid taman kanak-kanak di Surabaya, mereka sudah pada lancar membaca.
Entah apa dan bagaimana guru mereka mengajar membaca dan menulis pada anak usia dibawah lima tahun. aku tahunya mereka sudah lancar.
“Duduk sini, dekat Mbak,” pintaku menepuk kursi kosong di sampingku.
Tiya dengan patuh duduk di sebelahku.
Kuambil kertas kosong di kolong meja lalu mulai ku tulis abjad. Mengajarkan Tiya mulai dari yang sederhana. Ternyata, Tiya belum mengenalnya sama sekali.
Dalam hati aku hanya bisa bergumam sedih atas kehidupan anak-anak desa ini. Di fase awal pendidikan mereka diawali dengan kurikulum corona yang menyakitkan, yakni penurunan standard hasil belajar.
Terbukti dari Tiya, harusnya guru mengajarinya dari awal. Karena aku yakin guru di sini berbeda dengan guru di Surabaya. Jika penduduk kota terbiasa menyekolahkan anaknya sejak usia dini, sedangkan di sini untuk masuk SD saja terkadnag harus didahului maklumat dari Kepala Desa.
“Tiya, tirukan Mbak Mega!” titahku mengenalkan satu per satu abjad pada Tiya.
Aku tersenyum lega, karena Tiya termasuk anak cerdas. Dalam sekali menyebutkan abjad, ia sudah hafal. Kulanjutkan menyambung tiap suku kata. Belum begitu lancar, tetapi Tiya sudah mulai paham dengan yang aku ajarkan.
“Makasi, Mbak,” ucap Tiya sebelum pamit dengan senyum puasnya.
“Mbak, kalo nomer 3 ini, gimana?” tanya Widodo mendekatiku.
Kali ini aku yang kewalahan, bukan hanya Widodo menyusul ada Dela, Fero dan Hari yang datang mendekat untuk bertanya item soal yang tidak mereka paham. Rupanya kejadian Tiya, menginspirasi mereka untuk bertanya kesulitan soal.
“Satu per satu, ya. Tapi, kalo Mbak Mega gak bisa kalian gak boleh maksa,” ucapku menanggapi anak-anak SD yang terus bertanya.
Aku yang lelah efek anak-anak yang meminta bantuan mengerjakan soal, tertidur dengan pulasnya. Mas Yanto sampai aku abaikan saking capeknya. Padahal aku hanya membantu mereka sebisaku, apa kabar dengan mereka yang berprofesi guru? Yang setiap hari mengajar kepada siswa sekelas dengan berbagai sifat dan watak? Salut aku kepada bapak dan ibu guru.
Seperti semboyan yang kami sanjung, engkau pahlawan tanpa tanda jasa.
Yang aku ingat sebelum masuk kamar, di ruang tamu Mas Yanto masih berbincang dengan seseorang. Aku meninggalkan keduanya setelah menghidangkan jamuan seadanya.
***
Aku merasakan hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Hawanya terasa lebih dingin dari hari-hari biasanya. selimut tebal yang menutup tubuhku sudah tidak mampu menahan dingin. Aku mulai menggigil. Kuraba sebelahku, kosong.
“Mas … Mas Yanto!” panggilku lirih menahan dingin. Namun, tidak ada sahutan.
Dengan paksa kuedarkan pandangan ke ruang tidur yang luasnya hanya 12 meter persegi itu. tidak ada siapa pun, hanya aku seorang karena sudah tidak tahan dengan hawa dingin yang menusuk ke tulang. Aku segera bangkit mencari keberadaan suamiku.
Dapur dan ruang makan kuamati dalam kondisi gelap. Mas Yanto tidak mungkin berada di sana. Aku pun beralih ke ruang tamu. Aku yakin tidak ada siapa pun. Namun, lamat-lamat aku mendengar suara dari ruangan khusus milik Mas Yanto.
Kembali aku mencium aroma yang wanginya persis dengan waktu itu. kudukku kembali meremang, ada sedikit penyesalan karena ingin mencari Mas Yanto, hanya karena kedinginan. Harusnya aku tetap di kamar, menggunakan selimut dobel. Bukan malah mencari suamiku.
Aku menghela napas panjang. Memberanikan diri dengan situasi. Kata orang-orang sih, berdamai dengan keadaan. Namun, kalau situasiku bukanlah berdamai. Menyeramkan. Mana ada orang yang berdamai dengan situasi menakutkan?
Kuhiraukan aroma menyengat yang begitu lekat, kudekati bilik yang ditempati Mas Yanto praktek. Aroma kemenyan yang belum pernah aku temukan, malam ini merebak ke seluruh ruangan.
Instingku mengatakan Mas Yanto sedang melakukan ritual. Entah ritual apa? Kubuka tirai pembatas ruangan. Dihadapan Mas Yanto ada tiga orang pria yang tidak kukenal, fokus menatap suamiku. Seumur-umur baru kali ini aku mengintip ritual aneh Mas Yanto.
Padahal tadi pagi, aku merasa begitu tenang karena praktek di tutup. Eh, malamnya kenapa Mas Yanto tidak menolak? Apa dia tidak lelah? Tidak capek? Bukannya besok masih harus melanjutkan panen? Pertanyaan tersebut menyelimuti otakku yang belum menyadari apa pun.
“Dek, kamu ngapain di sini?”
***