“Mas, sepertinya akan ada tetangga baru,” ucapku pada Mas Yanto melihat sebuah pick up berhenti di depan rumah kosong yang berhadapan dengan rumah kami, saat pamit ke kebun.
Kucium punggung tangan Mas Yanto. Ritual rutin yang selalu aku lakukan sebelum Mas Yanto bepergian.
“Sepertinya, karena kemarin juga ada orang yang melihat-lihat kondisi rumah Pak Silo,” jawab suamiku sambil mengecup kening membalas ciumanku dipunggung tangannya.
“Ooo …,” ucapku sambil tersenyum.
“Jaga rumah baik-baik,” pamit Mas Yanto sambil melambai.
“Hati-hati,” balasku sambil melambai.
Kutunggu sampai Mas Yanto menghilang dari pandanganku. Sebelum masuk, kusempatkan menatap lebih intens ke arah rumah seberang.
Pick up hitam tadi, rupanya sudah selesai menurunkan barang-barang milik penghuni rumah Pak Silo – pemilik rumah sebelumnya yang sekarang sudah dibawa anak-anaknya ke kota. Entah kota mana, aku tidak seberapa mengenal Pak Silo dan keluarganya karena rumah tersebut sudah kosong sejak aku pindah ke sini.
Pick up tersebut perlahan masuk ke halamanku, drivernya mengangguk, pamit padaku sekaligus mengucap terima kasih karena memutar di pekarangan rumah. Kubalas anggukan dengan anggukan dan senyuman, sebagaimana aturan sopan santun di Indonesia tentang keramahan. Hihihi, sok tahu aku soal ini. Namun, hal ini jugalah yang bikin warga asing tertarik dengan Indonesia. Budaya dan keramahannya.
Setelah pick up berlalu, di depan rumah Pak Silo berdiri seorang anak muda. Dari wajahnya terlihat bingung. Karena tidak ingin disebut kepo, aku segera berbalik masuk ke rumah. Aku harus menyiapkan makanan untuk dikirim ke kebun.
“Mbak-Mbak!” panggil seseorang di belakangku, auto aku berbalik.
“Iya, Mas,” jawabku membalas si sumber suara yang tidak lain adalah pemuda penghuni baru di seberangku.
“Mbak, warung terdekat di sini sebelah mana, ya?” tanya Mas yang sudah ada di depan pintu rumahku.
“Oh, Masnya jalan aja ke arah utara. Gak jauh, kok. Paling sekitar 300 meter-an. Warungnya di kiri jalan. Ada warungnya Bu Rizki. Kalo Bu Rizki masih tutup, selisih lima rumah di sebelah kanan jalan, ada warung lagi. Masnya bisa belanja di situ,” jawabku ramah.
“Oh, iya Mbak, makasi. Saya Adam.” Pemuda itu mengulurkan tangannya sambil menyebutkan nama.
“Mega,” balasku membalas uluran tangannya.
“Istrinya kemana, Mas Adam?” tanyaku basa basi karena feelingku mengatakan dia masih single atau bahkan jomlo.
Kulihat Adam tersenyum lebar, tidak ada kesan tersingggung atas ucapanku.
“Saya belum menikah, Mbak Mega. Saya ke sini juga dalam rangka tugas dinas,” ucap Mas Adam.
“Ooh, semoga betah ya, Mas Adam,” balasku.
“Aamiiin. Tapi mangilnya Adam saja deh, Mbak. Karena saya lebih muda dari Mbak Mega,” pinta Adam.
“Hmm ...., boleh,” jawabku setelah berpikir beberapa saat.
“Terima kasih, Mbak sudah menerima dan menjadi teman pertama saya di desa ini. Saya ke warung dulu,” pamit Adam santun.
“Oke, Dam. Sampai ketemu lagi,” jawabku melambai ke arah pemuda tampan yang kuperkirakan masih berusia 25 tahunan itu. Usia yang selisihnya tidak jauh beda denganku. Bisa disebut dia seusia Aldi, adikku satu-satunya yang ada di Surabaya.
Aku pun melangkah kembali ke rumah, menyelesaikan tugasku yang belum rampung.
***
“Mas, ngapain? Kok keliatannya sibuk banget?” tanyaku menatap heran Mas Yanto yang terlihat sibuk mencari sesuatu.
“Nyari, surat kematiannya ibu,” jawab Mas Yanto tanpa menoleh padaku.
“Oh, suratnya ada di sini,” ucapku menunjukkan sebuah map besar yang ada di kotak tersebut.
“Syukurlah,” ucap Mas Yanto lega.
“Memangnya mau dipake, apa?” tanyaku kebingungan.
“Tanah ibu mau aku sertifikatkan,” jawab Mas Yanto mantap.
“Tanah yang mana?” tanyaku kepo.
Setahuku tanah warisan ibu hanya rumah yang kami tempati dan sepetak kebun yang dikelola Mas Yanto.
“Ya, rumah ini sama kebun, Dek.” Mas Yanto menatapku dengan penuh cinta di matanya. Hehehe, percaya diri banget ya, aku ini. Tapi tak apalah siapa lagi yang akan menatapku penuh cinta kalau bukan Mas Yanto. Masa iya, suami tetangga. Tuh kan, udah somplak aja mikirnya yang aneh-aneh.
“Oh, kirain ibu masih punya tanah yang lain,” ucapku sambil terkekeh pelan. Sadar diri sama kesalahan.
“Kamu tuh, ya.” Mas Yanto mengacak rambutku.
Aku kembali nyengir, mendapatkan perlakuan romantis ala pria desa, berduit kota. Hahaha, auto jangan ngakak ya, sama julukanku pada suami kesayangan.
“Sini!” Mas yanto menarik kakiku, diletakkan di atas pangkuannya.
“Ngapain?” tanyaku.
“Aku pijitin, kamu capek, kan? Seharian kerja di rumah sendirian,” ucapnya sambil tersenyum.
“Kamu, kan juga capek, Mas,” sanggahku merasa tidak enak hati, karena selama ini Mas Yanto lebih sering memijatku daripada aku yang memijatnya. Padahal yang bekerja keras di kebun dia.
Kerjaanku di rumah hanya masak, cuci-cuci, beres-beres rumah. Sisanya aku pakai nonton drama di ponsel.
Untuk agenda menonton, memang wajib. Minimal satu hari ada serial yang aku tonton. Entah itu drama korea, China atau Indonesia. Bukan sebagai apa-apa, tetapi lebih kepada hiburan. Mengingat di Banyuwangi sepi. Tidak ada sanak dan saudara. Bahkan Mas Yanto sendiri anak tunggal.
Di sini, bisa dikatakan hanya aku yang memiliki ponsel paling bagus. Lah, jangankan ponsel, listrik saja penduduk belum banyak yang pasang. Auk ah, jangan ngakak lagi, ya. Jadi, merk dan tipe apa pun, ponselku tetap yang terbaik.
Eh, balik ke Mas Yanto yang mulai memijat kakiku. Awalnya biasa-biasa saja selang dua menit aku mulai merasakan sakit dan menjerit. Kalau sudah begitu reksi Mas Yanto hanya terkekeh, seolah-olah mengolokku.
“Belum diapa-apain juga, eh malah teriak-teriak,” ucapnya setiap aku teriak menahan sakit.
“Tapi, kan sakit,” balasku sambil menahan rasa sakit di kaki.
“Sakitnya sebentar aja. Abis itu, kan enakan,” jawab suamiku tanpa melapas kakiku.
“Mas, kenapa sih kamu suka sekali mijat daerah situ?” tanyaku penasaran. Karena yang selalu ditekan Mas yanto paling sering kaki. Sedangkan, untuk bagian lain hanya sekedar memberi sensasi tenang padaku.
“Gak pa-pa, kan saraf refleksi pusatnya di kaki,” jawab Mas Yanto.
“Bukan karena ada sesuatu yang serius di tubuhku, kan?” tanyaku kepo.
“Enggak ada, Dek,” jawab Mas Yanto seolah-olah meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.
“Beneran, ya?” tanyaku ulang.
“Iya, beneran,” ulang Mas Yanto.
“Aaaaawwwhhh, sakit banget, Mas,” teriakku menahan sakit tak terkira di kakiku.
“Minum air putih yang banyak!” kata Mas Yanto melihatku menjerit.
Menyebalkan. Bukannya berhenti, tetapi malah terus menekan dan memberi wejangan soal air putih.
Eh, tapi yang dikatakan Mas Yanto beneran. Aku sangat jarang minum air putih. Aku suka lalai untuk kebiasan baik yang satu ini. Harusnya kan, aku berterima kasih. Bukannya memaki.
“Kamu bulan ini belum datang bulan, ya, Dek?” tanya Mas Yanto kembali mengingatkan jadwal tamu bulananku.
***
Bersambung