Segerombol pria bertubuh besar, tinggi dan bertato berdiri tegap di depan rumahku. Seketika jantungku seolah berhenti berdetak. Melihat wajah mereka yang angker dan seram, aku sudah ketakutan. Bahkan mempersilahkan masuk saja, lidahku rasanya keluh.
“Mana, Yanto?” tanya salah satu dari mereka yang bertubuh paling besar menatapku.
“Se-sebentar,” jawabku terbata-bata sembari masuk ke kamar memanggil suamiku.
“Mas, Mas Yanto,” panggilku gugup.
“Hei, ada apa?” jawab suamiku mengusap pipi kananku lembut.
“A-a-ada preman,” ucapku masih tergagap.
“Oh, sebentar. Buatkan mereka minum,” ucap Mas Yanto sambil tersenyum. Seolah sudah mengenal dan tahu kedatangan para preman tersebut.
Aku mengangguk cepat, sebelum Mas Yanto keluar.
Benar saja, saat aku menyuguhkan minuman dan cemilan kudengar suamiku dan para preman tersebut bercanda dengan santainya. Ada rasa syukur tak terkira. Karena, aku sudah khawatir, jika suamiku bermasalah dengan para preman tersebut.
Aku takut, suamiku dipukuli atau apa pun oleh pria bertubuh besar-besar tadi. Ternyata, aku salah. Mereka ternyata tamu suamiku. Kata Mas Yanto, pasien.
Lamat-lamat kudengar keluhan mereka.
“Mas, beri kami nomer,” ucap salah satu dari mereka yang terlihat paling kharismatik. Mungkin dia pemimpinnya, dugaku.
Ha ha ha, diam-diam aku memperhatikan semua tamu Mas Yanto. Kupukul pelan kepalaku. Udah deh, Ga. Pergi aja ke dapur sana. Daripada di sini malah bikin tamu Mas Yanto gak nyaman. Eh, bukan mereka yang gak nyaman, tapi aku yang gak nyaman liat muka mereka.
“Silahkan diminum,” ucapku mempersilahkan tamu Mas Yanto.
“Makasi, Mbak,” sahut pria bertato yang bertubuh paling kurus. Aku mengangguk dan bersiap meninggalkan mereka.
Dari balik dinding aku menguping pembicaraan mereka. Masih tidak ikhlas meninggalkan Mas Yanto bersama preman-preman tadi.
“Mas, nomer!” kudengar suara kasar salah satu preman.
“Buat apa?” tanya suamiku. Aku sangat hafal suara Mas Yanto.
“Togel,” jawab mereka.
“Aku bisa saja memberi kalian nomer dengan mudah. Tapi ada syaratnya ....” suamiku menjeda kalimatnya. Entah apa yang ia lakukan, karena aku hanya bisa menguping tanpa bisa tahu apa yang mereka lakukan.
“Apa?” sahut satu suara dengan nada kasar.
“Bang Oji,” seru suamiku.
“Persyaratanku mudah. Setelah kalian menang, jangan judi lagi,” aku masih mendengar suara suamiku tegas saat mengatakannya.
“Apa gak ada syarat yang lain gitu?” tanya mereka.
“Gak ada, Bang. Syarat dari Simbahnya begitu,” pungkas Mas Yanto. Karena setelah itu ruang tamu sepi, tidak terdengar suara apapun.
Otakku kembali travelling, membayangkan apa saja yang dikerjakan Mas Yanto dan preman-preman tadi.
“Astaga,” pekik Mas Yanto saat masuk ke ruang makan, ruangan dimana aku ngumpet dan menguping.
“Hehehe,” cengirku tanpa merasa bersalah.
“Kamu tuh, ada-ada aja,” ucap Mas Yanto sambil meletakkan cangkir kosong di tempat cuci piring.
Jangan membayangkan tempat cuci piringku sebuah wastafel, ya. Tempat cuci piringku hanya terdiri dari dua buah ember besar dengan kran yang terhubung dari sumber air, tanpa pompa air. Karena sumber air di desa Mas Yanto lumayan bersih dan jernih. Sehingga langsung dialirkan ke rumah-rumah, tanpa harus ada tandon maupun pompa air.
Benar-benar menghemat pengeluaran listrik. Cara mencuci perlalatan makan atau apa pun itu dengan jongkok atau duduk di dengklek, yaitu sebuah kursi kecil identik dengan bahan kayu. Namun, seiring waktu kayu semakin langkah sehingga dengklek juga ada yang terbuat dari plastik.
“Mereka tadi siapa, Mas?” tanyaku kepo begitu Mas Yanto duduk di hadapanku.
“Mereka gengnya Bang Oji, preman pasar Rebo,” jawab Mas Yanto singkat. Tangannya terulur meraih kendi yang ada di meja.
Kuulurkan gelas yang tak jauh dariku kepada Mas Yanto. Kuperhatikan Mas Yanto minum air dari kendi dengan nikmatnya.
“Ngapain mereka, Mas?” tanyaku memastikan bahwa pendengaranku tidak salah.
“Minta nomer,” jawab Mas Yanto.
“Mas kasih?” ucapku cepat.
“Enggak. Wong dia gak bisa nerima syaratku,”
Aku mengangguk mengerti.
“Tapi mereka, gak ngapa-ngapain kamu, kan?” tanyaku khawatir meskipun tidak kulihat satu luka pun di wajah mulusnya.
“Enggak, sayang. Mereka gak akan berani melukai suami kamu ini. Takut aku santet,” jawab Mas Yanto kocak. Aku ikut terkekeh mendengarnya.
Benar-benar ada keuntungannya juga punya suami dukun, pada gak berani berbuat macam-macam sama kita. Takut disantetlah, diteluh atau dikirimi barang-barang aneh lainnya. Sesuatu yang selama ini tidak pernah aku percaya. Namun, dipaksa percaya karena keadaan.
“Eh, tapi besok lagi kalau mau nguping jangan di sini. bikin aku kaget saja,” sindir Mas Yanto mengingatkanku.
“Hahahaaa, terus dimana dong?” tanyaku.
“Duduk saja di sebelahku,” balas Mas Yanto.
“Itu sih bukan nguping, tapi sengaja ndengerin,” omelku meninggalkan Mas Yanto yang tertawa lepas.
“Dek, tunggu Dek!” panggil Mas Yanto mengikutiku ke kamar.
“Ngantuk, mo tidur,” pamitku karena hari sudah semakin siang dan aku sudah merasakan lelah.
“Ikuuut,” pekik Mas Yanto menutup pintu depan sebelum menyusulku ke dalam kamar.
***
Aku dan Mas Yanto baru saja selesai menikmati makan malam dan duduk bersantai di depan televisi. Ada tayangan pertandingan sepak bola, lebih tepatnya siaran ulang. Karena sejak pandemi belum ada siaran langsung dari stasiun manapun, bahkan dari luar negeri. Semua stasiun membatasi siaran langsung masing-masing.
Aku sudah terbiasa menemani suami menonton acara apa pun yang ia sukai. Meskipun terkadang aku sering protes. Namun, tetap saja demi rasa sayang dan cinta aku tetap menemaninya. Anehnya lagi, Mas Yanto kerap kali tidak mempermasalahkan protesanku.
Sesekali ia pernah ikut nonton sinetron kesayanganku yang lagi booming. Namun, endingnya selalu tertidur nyenyak dipangkuanku sebelum sinetron selesai. Nyebelin, kan? Padahal pas giliran aku nemenin, gak bisa sedikitpun memejamkan mata. Ada saja kerjaan Mas Yanto yang bikin aku betah, meski acaranya ngebosenin.
Saat berdua saja, Mas Yanto bisa berubah menjadi super romantis. Kami bercengkerama layaknya pasangan muda mudi yang kasmaran. Terkadang aku merasa, hubungan kami terasa bagai orang berpacaran bukan pasangan suami istri. Apalagi belum ada anak diantara kami, kepuasan bermanja dan bercinta seolah tidak ada habisnya.
Bukan kami menunda, hanya saja Tuhan belum memberikan kepercayaan kepada kami. Menundanya, entah sampai kapan. Beruntung tidak ada yang mendesak kami, untuk segera memiliki momongan.
Aku percaya, Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk umatnya.
Rasanya aneh, bukan? Seorang istri dukun masih percaya Tuhan. Hehehe, Mas Yanto saja yang dukun masih sering mengingatkan pasiennya tentang Tuhan. Apalagi aku, yang bukan siapa-siapa di desa terpencil ini.
Aku masih percaya seratus persen dengan Tuhan. Aku masih berdoa dan meminta pertolongan padaNya. Jika tidak, entah bagaimana aku bisa bertahan sampai sejauh ini.
Dari kehidupan serba ada di kota, tiba-tiba berubah menjadi penghuni desa yang bergantung apa adanya. Tidak mudah dan sulit awalnya. Namun, Mas Yanto meyakinkan bahwa aku bisa dan akan terbiasa.
Benar saja, setahun di Banyuwangi aku mulai terbiasa dengan kebiasaan masyarakat setempat. Tidak keluyuran malam hari, tidak membiasakan diri ngemall, berbaur dengan penduduk sekitar karena masyakat desa identik dengan jiwa sosial tinggi. Mereka bukan makhluk individu seperti kami sewaktu di kota metropolitan.
Saat asyik menonton, kudukku tiba-tiba berdiri. Aku merasakan hawa aneh mulai menyerang.
“Mas, kok aku mencium bau wangi?” seruku mengenggam erat jemari Mas Yanto.
***
Bersambung