Pandanganku menghadap monitor yang dipenuhi gambar empat orang wanita dengan senyum khasnya masing-masing.
“Ga, senyum elo asem,” maki Putri.
Aku masih mempertahankan posisi diam seribu bahasa mendengarkan semua ledekan dan guyonan mereka yang bertubi-tubi.
Jehan, Wulan dan Davina terlihat menatap Putri sama sepertiku. Entah apa yang ada di otak ketiga sahabatku sekarang. Aku tidak ambil pusing, tetapi mendengar cerita Jehan tentang salonnya membuatku ikut geram.
Saat semua geram hanya Putri yang merasa bahwa cerita Jehan lucu. Lebih tepatnya meledek dan menyalahkan.
“Jehan my bestie, udah gue kira kalo si Indah itu biang kerok. Elo sih kagak pernah percaya ama gue,” lanjut Putri.
“Gue tuh gak sengaja pernah dengar dia ngobrol di hape ama orang nyeritain salon elo.” Putri ganti menatap kami bergantian.
“Gue juga ikut sebel kali liat muka tuh cewek, tapi berhubung si Jehan percaya banget ama dia. Gue bisa pa coba?” ucap Putri jengah wajahnya terlihat ikut emosi.
Dua minggu setelah kepulangan mereka dari rumahku, Wulan, Jehan dan Putri menceritakan progresnya masing-masing. Tentunya tak lupa aku ucapkan terima kasih kepada mereka bertiga.
Hari ini kami melakukan virtual meet by whatspp, aplikasi terpopuler masa kini. Melepas rindu karena jarak dan pandemi yang masih belum berakhir. Pembatasan masih berlaku ketat terutama di kota besar.
Untunglah Banyuwangi tidak seketat Surabaya, cukup menerapkan protokoler kesehatan danjaga jarak. Tidak ada peraturan lain yang membuat kacau penduduknya.
Aku memang tidak tahu banyak situasi di Surabaya, hanya mendengar cerita saja dari keempat sahabatku. Dari cerita mereka saja sudah membuatku pusing, apalagi jika masih tinggak di sana.
Bagaimana aku dan suamiku bisa bertahan?
Di saat Surabaya masih menutup semua lokasi, Pemerintah Banyuwangi mulai berupaya mencari jalan membuka lokasi wisata demi mengangkat perekonomian yang kian memburuk.
Dari monitor kecil, Jehan baru saja menceritakan sosok yang membuat onar di salonnya. Setelah mendapat pencerahan dari suamiku, Jehan beraksi baak detektif. Hasilnya mencengangkan, benar-benar orang kepercayaannya yang merusak sistem marketingnya. Jehan yang kesal akhirnya melaporkan dan menjebloskan Indah ke penjara.
Putri menertawakan kebegoan Jehan karena tidak pernah mempercayainya. Sebagai balasan wanita Betawi itu mengolok-olok Jehan. Aku yang menjadi penonton hanya tersenyum kecut melihat atraksi keduanya. Tidak ada niatanku untuk menjadi wasit karena sudah terlalu malas melihat adegan lempar makian antara Jehan dan Putri.
Semenit kemudian kulihat keduanya sudah saling melempar senyum. Begitulah, setelah puas saling memaki, mengolok dna menghina mereka kembali berbaikan. Bahkan terkadang tanpa mengucap maaf sudah saling sapa karena kami sudah saling memahami dan mengerti karakter masing-masing.
Bagi kami makian, olokan atau ledekan merupakan bagian dari keeratan persahabatan. Tak jarang juga umpatan khas Surabaya mengiringi percakapan dan kami fine-fine saja menyimaknya.
“Sudah puas?” omelku menatap mereka dengan santai dari monitor miniku.
Monitor 6 inchi yang selalu setia menemaniku di selama setahun ini di desa terpencil di wilayah Banyuwangi. Dengan benda pipih ini, aku melewati hari-hari sepi di sini. Meskipun, harus merogoh kocek yang lumayan banyak untuk stok kuota.
Maklum di sini belum tersambung wifi dan semacamnya. Bisa menggunakan kuota dengan lancar saja sudah suatu kebahagiaan.
Melalui benda ajaib ini pula aku menonton drama korea kesayanganku, mendapatkan berbagai resep masakan untuk memanjakan lidah Mas Yanto. Intinya hiburanku terletak dari benda kecil itu.
Kehidupanku di Banyuwangi berbeda jauh dengan saat di Surabaya. Bagaimanapun Surabaya adalah kota besar. Kota metropolitan kedua setelah Jakarta.
Kehidupan di sana lebih mudah daripada di sini. Aku bisa mendapatkan apa saja dengan sedikit perjuangan, tetapi tentunya dengan mengelurakan uang.
Iya, di Surabaya semua akan mudah dengan uang. Lembaran tipis itu yang menjadikan segala mudah. Di Banyuwangi tidak semua hal bisa diukur dengan uang.
Kehidupan kami di sini benar-benar diuji. Kemiskinan, kekurangan dan keterpurukan berbaur jadi satu. Saat semua tampak lebih terang dan jelas, jalannya abu-abu. Entah haram atau halal? Aku benar-benar tidak bisa membedakan.
Keuangan kami saat ini bisa dikatakan stabil bahkan melebihi dari ekpektasi, tetapi Mas Yanto tidak menginginkan perubahan. Suamiku menginginkan kehidupan kami terlihat sama dan wajar di mata masyarakat sekitar.
Ksederhanaa. Begitu kata Mas Yanto saat memberiku wejangan tentang kehidupan di desa terpencil ini.
Memberontak, tentu saja pernah kulakukan. Namun, tidak merubah prinsip suamiku. Aku pun pasrah dengan prinsipnya. Menjalani hidup sebagai istri seorang dukun. Dukun tampan yang menjadi idola masyarakat.
“Ga, next kita balik ke sana lagi, ya!” seru Wulan membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum menatap wajah cantik sahabatku itu. Aku tahu kalimatnya mengandung makna tersembunyi yang hanya ingin diperlihatkan padaku atau pada Mas Yanto. Dukun tampan yang ia perrcaya.
Aku kembali menarik bibirku simetris sembari mengangguk, meskipun terlihat ambigu pada keyakinanku.
**
“Dek, senyum!” Mas yanto menjajariku saraya mengusap lembut kedua pipiku.
Perlakuan manisnya membuatku geli dan ingin terawa kecil seperti biasanya. Namun, kali ini berbeda. Ada yang mengganjal di dadaku.
Aku menghela napas panjang mendengar godaannya. Kata-kata mas Yanto terasa seperti angin menyejukkan. Namun, belum bisa meyakinkan hatiku.
Kedatangan ketiga sahabatku yang sekaligus menjadi pasien suami, membuka hatiku bahwa Mas Yanto memiliki akses paling banyak untuk melirik wanita lain.
Rasa cemburu sepertinya mulai menyerangku. Apalagi para wanita di sekitar suamiku bukan orang sembarangan. Mereka memiliki sesuatu yang lebih dariku.
Apa salah kalau aku cemburu? Tidak bukan?
Kali ini kami duduk berdua di ruang tamu, setelah pasien terakhir Mas Yanto pulang dan ruangan prakteknya di tutup.
“Kenapa?” Mas Yanto memeluk pinggangku dari belakang. Rasa geli dan hangat menjalar ke seluruh tubuh. Aku berusaha menahan gejolak yang mulai menyerang demi memperoleh jawaban atas rasa penasaranku.
Iya, penasaran pasa perasaan Mas Yanto. Lebih tepatnya keragu-raguanku. Tentang perasaannya. Tentang hatinya saat bersama pasien wanitanya.
“Mas,” panggilku yang reflek membuatnya menoleh.
“Kenapa? Galau banget?” tebak Mas Yanto.
“Mas, kalo Mas Yanto kedatangan tamu cewek cantik, gimana sih, perasaannya?” tanyaku sedikit deg deg-an.
“Biasa aja,” jawabnya seraya mengulurkan tangannya yang sebelah sehingga kedua tangannya saling bertaut melingkar di perutku.
“Emang gak deg deg-an atau gimana gitu?” selidikku.
“Ya, enggaklah, De. Kenapa? Adek cemburu?” Mas Yanto tersenyum manis banget menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Gak usah cemburu-cemburuan. Secantik apapun mereka gak akan bisa ngalahin kamu,” bisik Mas Yanto tepat ditelingaku.
Hembusan napasnya terasa begitu hangat di ceruk leher, seketika tubuhku terpapar derunya. Ada rasa tegang dan meremang ke sekujur tubuhku. Bukan sesuatu yang pertama, tetapi rasanya selalu berbeda.
Ada sensasi baru yang selalu membuatku terlena dengan semua yang Mas Yanto lakukan. Aku sendiri tidak pernah tahu apa yang membuat Mas Yanto bisa membuatku semakin tergantung dan menginginkannya sepanjang waktu.
Andai aku tidak ingat waktu dan tempat, bisa kuserahkan semua tanpa batas. Namun, aku masih berusaha mempertahankan kewarasanku setiap waktu, sehingga bisa membatasi dengan baik.
“Kamu tahu tidak? Belum ada perempuan manapun di dunia ini yang bisa menandingi kamu. Kamu yang terbaik, sayang,” bisik Mas Yanto tepat di telinga.
Tubuhku merinding seketika mendengarnya bukan karena takut, melainkan karena sensasi bisikannya yang terdengar begitu menggoda di telinga.
Kubalas pelukan Mas Yanto dengan reflek, menengadahkan kepalaku tanpa diminta. Seolah semua berjalan otomatis tanpa instruksi.
Kupejamkan kedua mataku merasakan sensasi terbaik dalam tubuhku saat tangan kokoh Mas Yanto memainkan suraiku dengan lembut.
Ah, bukan hanya tangannya yang bergerak. Aku mulai merasakan seluruh tubuhnya memberiku sensasi.
“Mas, jangan lakukan ini pada wanita manapun,” bisikku membungkam bibirnya tanpa ampun.
“Aku tidak akan sanggup berbagi dengan siapapun,” lanjutku dengan napas menderu membalas setiap sensasi yang ia salurkan.
“Gak akan,” balas Mas Yanto tanpa melepasku sedetik pun.
“Cuma kamu. Berapapun perempuan yang datang, bagi Mas Yanto, adek yang paling indah,” pungkas pria yang sudah kupatok sebagai milikku.
**
bersambung