Mas Yanto membungkam bibirku dengan telapak tangannya seakan berharap aku diam.
Dengan sigap priaku itu segera mendekapku. Mendengar penuturanku yang tidak biasa karena baru kali ini aku mengeluh dengan aroma-aroma, ia tampak khawatir.
“Kamu mau, apa?” ucap Mas Yanto lantang tentu saja bukan ditujukan padaku.
“Pergilah, jangan ganggu istriku, kalau mau lewat. Lewat saja! Gak usah liat-liat,” ucap Mas Yanto seakan menghalau seseorang yang hendak menggangguku.
Kusembunyikan wajah ke d**a bidang Mas Yanto yang begitu nyaman. Tiada tanding dan bandingannya dengan d**a siapa pun. Ngakak, deh. Kan, memang aku tidak pernah dipeluk siapa pun, kecuali suamiku.
Kata Mas Yanto, “Tidak ada kecap nomer 2.” Setiap kali aku memujinya.
“Gimana? Masih bau?” tanya Mas Yanto melepas pelukannya.
“Sudah enggak,” jawabku masih sedikit gemetar.
“Udah gak pa-pa. Dia tadi cuma lewat dan terpesona sama kamu,” ucap Mas Yanto.
“Maksud kamu?” tanyaku mendekap kembali Mas Yanto karena aku memang masih dalam keadaan takut.
“Dia itu tadi, sempet mau godain kamu. Makanya kamu bisa nyium wangi,” kata Mas Yanto.
“Mas, jangan aneh-aneh, deh. Aku beneran takut.” Kupeluk Mas Yanto lebih erat.
“Ciyeee ... awas keterusan loo,” goda suamiku.
“Biarin, daripada takut. Aku jangan ditinggal sendirian,” pintaku manja.
“Ke kamar mandi, ikut?” Mas Yanto sepertinya mulai menggodaku.
“Ikut, pokoknya Mas Yanto kemana saja, aku ikut,” rengekku.
“Ntar kalo dia balik, gimana?” protesku dalam pelukannya.
“Ya gak pa-pa. Toh, cuma balik doang. Gak bakalan berani deh, dia godain lagi,” sahut Mas Yanto dengan nada meyakinkan.
“Bo-ong,” sungutku tidak yakin.
“Emang bisa liat yang lewat tadi, siapa?” tanya Mas Yanto.
“Ya, enggaklah.” Kucubit pinggangnya.
Mas Yanto terkekeh, mencolek pipiku gemas. Aku hanya merengut merespon ulahnya.
“Udah ada Mas Yanto. Dia gak bakal datang lagi,” bisiknya sembari mengelus rambut panjangku.
Rambut yang sengaja aku urai, walaupun sudah sepanjang pinggang. Kecuali saat memasak dan mencuci aku akan menguncir dan menggulungnya agar tidak terkena cipratan air dan minyak.
Aku mulai melonggarkan pelukan dari tubuh Mas Yanto, memberinya senyum. Bukan senyum manis, melainkan senyum masam. Hadiah dariku yang sudah ia goda sejak tadi.
Namun, apapun respon dan reaksiku, Mas Yanto tidak pernah membalas dengan nada tinggi, marah atau semacamnya. Seperti saat ini, ia hanya nyengir sambi mengecup keningku. Auto, aku tak bisa berlama-lama dalam posisi senyum masam. Setelah Mas Yanto menyelesaikan kecupannya, aku beralih ke mode manis.
Wkwkwk, pengen ketawa tapi aku tahan, tengsin dong ama ulah sendiri.
**
Pukul setengah enam pagi, aku pamit ke pasar. Aku pergi sendiri, karena Mas Yanto harus ke kebun. Beberapa hasil tanamannya ada yang waktunya panen.
Mas Yanto awalnya tidak tega membiarkanku berangkat ke pasar sendiri. Namun, aku meyakinkan bahwa aku bisa. Akhirnya, ia pun luluh dan memberiku izin ke pasar sendiri.
Kukendarai motor pemberian Wulan tempo hari dengan kecepatan sedang. Kusapa beberapa warga yang aku kenal.
“Mari, Bu Ika,” sapaku pada salah satu tetangga sebelah rumah sebelum menstater motor.
“Iya, Mbak Mega. Kok, tumben sendirian? Mas Yanto kemana?” tanya ibu Ika.
“Ke kebun, Bu. Kedelainya panen,” jawabku yang diangguki ibu Ika.
**
Sampai di pasar aku segera membeli kebutuhan sehari-hari yang aku butuhkan seminggu ke depan, diantaranya, beras, gula, kopi dan aneka camilan. Sedangkan untuk bumbu dapur, aku terbiasa mengandalkan hasil kebun dan tanaman toga di halaman.
Menyenangkan, karena tidak perlu menimbun sampai kering seperti saat di Surabaya. Semua bahan dan bumbu yang kugunakan masak saat ini fresh from kebun. Hasil akhir masakanku juga berbeda. Entah apa yang membuatnya berbeda. Padahal bumbunya sama.
Mas Yanto mengatakan, semua itu karena bumbu yang kupakai fresh.
Aku sendiri tidak pernah memusingkan bumbu, bagiku membahagiakan Mas Yanto dengan masakan sudah lebih dari cukup.
Belanjaanku kali ini terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Sengaja, karena semingggu ini aku harus memasak lebih banyak dari biasanya. Untuk menyediakan beberapa pekerja yang membantu Mas Yanto memanen hasil kebunnya. Walaupun tidak luas, tetapi saja membutuhkan bantuan tenaga orang lain.
“Mbak Mega, sini saya bantu!” seorang pria menyambar sekarung beras berat 25 kilogram yang sejak tadi aku seret.
“Bang Oji,” ucapku terkejut karena yang menarik karung berasku ternyata Bang Oji, preman pasar yang pernah bertamu ke rumah.
“Kalau ada kesulitan panggil Oji,Mbak,” sahut Bang Oji memanggul beras yang kubeli.
Beberapa pedagang menatapku keheranan karena sikap ramah yang ditunjukkan pria bertampang seram tersebut.
“Makasi ya, Bang. Mega gak tahu kalo Bang Oji mangkal di sini,” ucapku jujur.
Bang Oji tampak tertawa lepas mendengar kejujuranku. Menggugurkan penilaian seramku pada preman pasar tersebut.
“Mbak Mega orangnya lurus. Gak pernah tolah toleh, jadi gak pernah liat saya. Padahal saya sering liat Mbak Mega sama Mas Yanto belanja di sini,” ucap Bang Oji.
Aku hanya tersipu mendengar ucapan Bang Oji.
“Ko, bantu Mbak Mega!” pekik Bang Oji memanggil salah satu anak buahnya.
“Siap, Bos!” seru pria yang dipanggil Ko tadi.
“Motornya yang mana, Mbak?” tanya Ko dengan ramah. Ko juga salah satu anak buah Bang Oji yang bertamu ke rumah.
“Itu yang beat warna putih,” ucapku menujuk ke sebuah motor matic.
Ko segera mengeluarkan motor yang aku tunjuk. Bang Oji pun menata karung beras dan tas bawaanku agar aku lebih mudah mengendarainya.
“Salam ke Mas Yanto, ya Mbak. Katakan Bang Oji nungguin nomernya,” gumam Bang oji sebelum aku menstater motor.
“Makasih, Bang,” sahutku ramah tanpa membahas nomer yang dimaksud sambil mengulurkan tangan bermaksud memberi upah kepada Bang Oji dan Ko.
“Gak usah, Mbak. Saya ikhlas bantuin Mbak Mega,” tolak Bang Oji ramah.
“Serius, Bang gak mau?” godaku berusaha melawan rasa takut.
“Serius, Mbak,” jawab Bang Oji yang ditatap aneh Ko.
“Syukurlah bisa Mega pake beli bakso,” seruku sambil tertawa lebar tanpa suara.
Bang Oji kulihat ikut tertawa seraya membantuku mendorong motor agar bisa lebih mudah jalan.
Dalam perjalanan aku sangat bersyukur, tidak buruk juga profesi dukun. Dengan profesi anehnya, aku dimudahkan dengan kehadiran Bang Oji yang notabene preman.
Sampai rumah, aku segera mengeksekusi beberapa bahan yang kubeli, karena nanti siang aku harus menyiapkan makan siang untuk suami dan pekerjanya di kebun. Praktek pun di tutup selama beberapa hari ke depan.
Aku menjadi lebih tenang untuk beberapa hari ini. Sebab, tidak lagi melihat ritual dan aura aneh di rumah. Andai saja, bisa setiap hari begini. Namun, jika suamiku tidak praktek apa kami bisa hidup lebih layak seperti saat ini?
Aku kembali termangu mengingat semua yang kami dapatkan dari profesi dukun Mas Yanto. Aku kembali bimbang, semua yang aku miliki saat ini sedikit banyak memang berasal dari pemberian tamu atau pasien Mas Yanto.
Meskipun kondisi rumah kami masih sama. Masih dari kayu dan anyaman bambu. Mas Yanto mengatakan kalau ia tidak ingin terlalu mencolok diantara penduduk yang lain. Nanti malah menimbulkan fitnah.
Jika sudah begitu aku hanya bisa pasrah dan mengiyakan ucapannya. Karena merasa bukan penduduk asli dan masih merasa perlu beradaptasi.
**
Bersambung