11. Terlambat

1180 Kata
Aku melonjak meraih ponsel, melihat kalender. Benar. Harusnya tamu bulananku datang seminggu yang lalu, tetapi sampai sekarang aku masih belum terlihat tanda-tandanya. “Kok, kamu inget, Mas?” tanyaku lebih kepo. “Aaawh,” pekikku karena Mas Yanto menjitak kepalaku. “Sakit, Mas,” omelku mengusap pelan dahi yang dijitak Mas Yanto. “Makanya kalo ngomong yang bener. Ya, jelas aku hafal. Yang tiap hari aku kelonin , kan kamu!” balas Mas Yanto terdengar ada kejengkelan di nada bicaranya. “Hahaha, maaf. deh. Baru sadar ternyata suamiku ini perhatian banget,” ucapku menyesal tapi dengan genit. “Eh, tapi bagus kan kalo telat. Siapa tahu aku hamil,” sambungku senang. “Ngaco, ah!” ucap Mas Yanto seakan tidak senang jika aku hamil. “Emang ada yang salah?” tanyaku. “Iyalah, kamu gak mungkin hamil saat ini,” jawab Mas Yanto seolah-olah tahu aku tidak hamil. “Kok gitu?” tanyaku masih dengan rasa kepo. Aku merasa ada yang Mas Yanto tutupi dariku selama ini. “Bisalah, ingat dong, aku selalu menghitung masa subur kamu.” Aku kembali mengingat semua perlakuan yang Mas Yanto berikan padaku saat di ranjang. Sepersekianmenit, aku masih terdiam mengingat satu per satu aktivitas intim kami. “Aish,” ucapku pelan memukul lengan suamiku. “Hei, kenapa?” pekik Mas Yanto menahan tanganku yang memukuli lengannya. “Aku inget, kamu sering buang di luar itu, kan? Berarti itu masa suburku?” tanyaku meminta penjelasan. Mas Yanto mengangguk pelan, “Iya.” “Kenapa?” tanyaku lirih ada rasa sedih, hinggap di dadaku menyadari ketidaktahuanku selama ini. “Gak pa-pa. karena ada sesuatu yang harus Mas pastikan dan lakukan sebelum memiliki anak,” jawab Mas Yanto. “Apa aku bisa membantu?” tanyaku yang dijawab gelengan oleh Mas Yanto. “Apakah itu? Apa terjadi sesuatu padaku?” batinku. “Kamu gak pa-pa, baik-baik saja, sehat dan siap menerima benihku. Hanya saja ….” Mas Yanto menjeda kalimatnya beralih menatapku iba. “He, kenapa?” tanyaku merendah, sungguh aku ingin marah saat ini. Ternyata aku bukannya susah hamil, tetapi ini semua karena ulah suamiku sendiri yang mencegah untuk memiliki anak. Kecewa. Iya dan pasti. Namun, aku kembali tidak bisa berbuat banyak. “Bagaimana bisa? Bukannya setiap pasangan yang menikah itu menginginkan keturunan?” aku masih terbelit dengan kekepoanku sendiri. “Dek, Mas tahu kamu pasti marah. Tapi, semua Mas lakukan dengan banyak alasan. Semua demi kamu juga,” Mas Yanto menurunkan kakiku. Menjajari dudukku. “Maafin Mas, ya,” ucap Mas Yanto. Aku masih terdiam, tidak ingin berbicara apa pun. Ngambek, gitu istilahnya. “Mas begini karena, ada makhluk gaib yang menyukai wanita hamil dan salah satu diantara mereka membuntuti kamu.” Auto aku langsung mendekap tubuh Mas Yanto mendengar penuturannya. “Terus pijatan yang tadi, sengaja Mas lakukan untuk mencegah kehamilan juga,” aku Mas Yanto tegang. Sepertinya ia takut aku kembali marah. “Terus, aku harus bagaimana?” tanyaku dalam dekapan Mas yanto. “Ya, gak usah gimana-gimana. Diam, duduk dan nurut sama Mas,” ucap Mas Yanto. Aku pun mengangguk dalam dekapannya, menyembunyikan ketakutanku dalam diam. “Apa yang kemarin itu?” tanyaku lirih. “Iya,” jawab Mas Yanto tegas. *** “Dek, Mas bisa minta tolong?” tanya Mas Yanto setelah selesai sarapan. “Bisa,” jawabku tanpa bertanya apa keperluannya. “Tolong, bawa ini ke Bale Desa.” Mas Yanto mengulurkan berkas di map warna biru. “Jangan lupa di foto copi dulu ya, Dek,” kata Mas Yanto saat aku membuka mapnya. “Oke,” jawabku sambil tersenyum. Perbincangan kemarin sepakat kami lupakan dan tidak disinggung kembali demi kelangsungan rumah tangga. Setelah Mas Yanto berangkat ke kebun dengan membawa rantang yang biasa aku kirim. Karena, aku harus ke Balai Desa, mengurus surat waris almarhumah ibunya Mas Yanto. Kupastikan semua dokumen yang diminta sudah lengkap. Kurapikan pakaian dan dandananku. Kupastikan penampilanku tidak norak, tetapi tidak terlalu ndeso juga. “Permisi,” sapaku begitu sampai di salah satu ruangan yang ada di Balai Desa. Kebetulan di pendopo sepi, biasanya ada beberapa petugas berjaga. “Iya, ada yang bisa saya bantu?” ucap salah satu pegawai menatapku. “Looh, Mbak Mega!” seru petugas yang tidak lain Adam, tetangga baruku. “Adam,” sahutku tak kalah kaget. “Kamu dinas di sini?” tanyaku. “Iya, Mbak. Baru dimutasi. Hanya membenahi kantor yang ada di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Adam meminta berkas yang kubawa. “Sebentar ya, Mbak. Saya proses dulu,” ucap Adam menatap monitor di depannya. Setelah mendengar penjelasan maksud dan tujuanku ke Balai Desa. “Apa bisa saya tinggal, Dam?” tanyaku bimbang. “Eh, udah Mbak. Silahkan, ditinggal berkasnya. Nanti malam saya kabari ke rumah.” Adam tersenyum menatapku. Duh, senyumnya. Andai aku belum bersuami, bisa kesengsem cuma dari senyumnya saja. Hahaha, kembali kubuang jauh-jauh senyuman Adam yang menggoda iman. “Beres, syukurlah ada Adam. Semoga bisa dimudahkan,” batinku sambil menstater motor meninggalkan area Balai Desa. *** Menjelang isya, terdengar seseorang mengucapkan salam di depan pintu rumahku. “Adam,” panggilku setelah tahu tamuku adalah Adam, tetanggaku depan rumah. “Masuk, Dam!” ajakku. “Kok rame, Mbak?” tanya Adam keheranan menyaksikan banyak anak-anak di rumahku. “Iya, Dam. Mereka numpang belajar. Kasiyan di rumahnya belum ada listrik. Jadi, saya minta mereka belajar di rumah saya,” jawabku tersipu. “Oh,” jawab singkat Adam. “Soal yang tadi, Mbak,” kata Adam. “Sebentar Dam, aku panggilkan Mas Yanto dulu,” aku pun permisi masuk ke dalam memanggil Mas Yanto yang sedang tiduran. Capek, setelah panen. Untung hari ini hari terakhir. Besok ia sudah mulai beraktifitas sebagai dukun kembali. “Malam, siapa ya?” tanya suamiku keheranan menatap Adam. “Saya Adam, Mas. Tetangga depan rumah. Kebetulan tadi di Balai Desa, saya yang menangani berkas Mbak Mega,” ucap Adam memperkenalkan diri. “Oh, silahkan. Bagaimana?” tanya Mas Yanto. “Mbak Mega …!” panggil Tiya dengan centilnya. “Mas, Dam, aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Mas Yanto dan Adam. “Oh, iya Mbak,” jawab Adam menoleh ke arahku. Mas yanto kulihat tersenyum membalasku. Aku pun meninggalkan dua lelaki tersebut, kembali bergabung dengan anak-anak yang asyik mengerjakan tugas dari gurunya masing-masing. Sesekali aku memberi penjelasan pada mereka. *** “Dek, jangan dekat-dekat sama cowok tadi!” ucap Mas Yanto dengan senyum yang menyebalkan. Senyum yang belum pernah aku lihat sebelumnya. “Dia baik, Mas,” sanggahku. “Tapi, Mas gak suka kalo kamu deket-deket dia!” Mas Yanto seolah-olah tidak mau mendengarkan penjelasanku. Aku baru menyadari, ternyata suamiku dalam mode jealous. Aku sampai tersenyum sendiri melihat tingkahnya yang bak ABG yang baru jatuh cinta lalu melihat kekasihnya sedang didekati cowok lain. “Ya udah, nanti Mas Yanto sendiri aja yang langsung berhubungan dengan Adam,” ucapku menenangkan perasaannya yang saat ini pasti sedang tidak baik-baik saja, karena seorang Adam. Kulihat Mas Yanto tersenyum, bukan senyum yang tadi. Namun, sudah kembali ke senyum biasanya. “Bentar, Dek. Sepertinya ada yang tidak beres di luar. Kamu masuklah dulu!” Mas Yanto memintaku masuk kamar, sedangkan ia keluar. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN