Kupeluk dan kuhadiahi Mas Yanto dengan ciuman bertubi-tubi di pipi kanan dan kiri karena keputusannya yang menurutku sangat tepat. Menerima tawaran Adam, bekerjasama denganku di proyek yang digagas Pak Kades dan Adam.
Cukup hanya ciuman saja karena waktu masih menunjukkan belum terlalu malam. Bisa saja tamu Mas Yanto masih ada yang datang.
Bisa tengsin sendiri kalau sampai kepergok mereka. meskipun, kami sudah sah sebagai suami istri. Tetap saja ada etika yang harus kami patuhi.
Di awal Mas Yanto sempat ngotot menolak dan tidak mau dengan alasan sibuk dengan tamu-tamunya.
Entah sudah berapa kali Adam datang untuk membujuk, tetapi tidak pernah berhasil.
Kadang kudengar ada jawaban, "pikir-pikir dulu."
Namun, tetap saja hasilnya nihil. Aku sampai kecewa dan hampir putus asa. Belum lagi Pak Kades yang selalu bertanya tentang progres kami.
Duh, semakin tidak konsen saja saat presentasi. Aku sampai galau harus memakai cara yang mana lagi untuk meyakinkan Mas Yanto.
Aku merasa suamiku terlalu angkuh untuk menerima pekerjaan yang menurutku lebih baik daripada menjadi seorang dukun.
Pekerjaan yang tidak bisa aku banggakan saat pulang ke Surabaya kelak.
Membayangkan bagaimana reaksi mama, papa dan adikku yang pasti akan mengejek kami. Apalagi keluargaku bukanlah manusia yang perrcaya dengan keghaiban atau sejenisnya.
Belum lagi cemoohan tetangga. Aku belum siap menerima semuanya. Duh, insecurelah pokoknya.
Aku masih beranggapan pekerjaan dukun tidak profesional, walaupun aku ikut merasakan hasilnya yang lebih dari cukup untuk hidup sepuluh tahun ke depan jika hanya berdua.
Sebagai istri aku juga masih memiliki harapan dan impian agar suamiku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak seperti sebelumnya.
Ya, meskipun dulu ia juga seorang tukang pijat berhubung tempat kerjanya di mall jadi terlihat lebih elite dengan sebutan terapis massage.
Namun, seelit-elitnya tetap saja tukang pijit. Menyentuh tubuh setiap pelanggannya, tentunya dengan aturan yang berlaku sebagai terapis tidak lebih dari itu.
Jika ada pelanggan yang puas, tak jarang Mas Yanto dipanggil ke rumah. Tentu hasilnya berbeda jika panggilannya di rumah.
Tidak sedikit yang merasa puas dengan pelayanan suamiku, hingga titik puncaknya saat pandemi. Tidak ada lagi panggilan yang masuk pada mas Yanto dan aku sendiri sudah tidak bekerja setelah menikah.
Semua hal yang kami miiki dan membuat terlena dengan dunia, ternyata bisa hilang dalam sekejap saat pemerintah memberlakukan PSBB besar-besaran.
Entahlah ini teguran dari Tuhan atau hanya sebatas ketidakberuntungan kami. Toh, yang merasakan seluruh dunia bukan hanya kami berdua.
Diawal pemberlakuan yang katanya hanya dua minggu bertambah dan terus bertambah. Geliat kami semakin menyesakkan, tidak ada bantuan apapun dari pemerintah.
Tambang rizki kami seolah ditutup paksa mereka. Serasa riski kami seperti dirampok secara halus.
Dimana semua mall buka tutup bergantian. Bahkan jika buka, ada tenan-tenan yang tidak diizinkan beroperasi, seperti massage, salon, play ground dan sejenisnya yang bersentuhan langsung dengan orang.
Hanya tenan yang melayani jasa delivery online saja yang masih diizinkan beroperasional.
Dengan ditutupnya tenan itu, auto penghasilan suamiku pun tidak ada. Tidak hanya berkurang. Tabungan kami raib untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.
Jika pegawai lain masih merasakan menerima gaji setengah, berbeda dengan Mas Yanto karena sistem penggajian sebagai terapis adalah komisi.
Ada pelanggan gajian tidak ada ya, tidak menerima upah. Bekerja sebagai terapis tidak ada gaji pokok, tidak ada tunjangan apalagi uang makan dan lain-lain. Gaji suamiku murni hasil komisi dengan si pemilik tenan.
"Dih, kok keliatannya seneng banget, sih?" tanya Mas Yanto menatapku curiga.
"Lagi gak pengen sesuatu, kan?" Mas Yanto tampaknya masih berusaha mencari jawaban atas kebenaran dugaannya.
Namun, aku hanya tersenyum menatapnya dengan genit. Mode menggoda kupasang.
Meski terlihat curiga, yang ada Mas Yanto malah balas menciumiku. Duh, Mas bucinnya, bikin klepek-klepek.
Dipeluknya aku erat seolah tidak ingin kehilangan. Ada getaran kuat menyerang tubuhku, meskipun ini bukan yang pertama. Namun, rasanya tetap saja menyalurkan getaran terindah.
Kuredam perlahan seluruh rasa yang hampir menguasai tubuhku agar tidak terlihat terlalu aagresif.
"Duh, curigaan banget, sih," balasku.
"Abis genit, gitu," gumam Mas Yanto.
"Kan, sama Mas doang. Ama yang lain kagak dan gak berani," jawabku mengerlingkan satu mata padanya.
Mas Yanto kembali menatapku dengan tidak biasa, menyaksikan reaksinya aku hanya tersenyum kecil tanpa berani mengelularkan suara.
"Mas, jangan bikin aku takut," seruku saat Mas Yanto malah melotot membalas kerlinganku.
"Enggak, aku cuma jaga-jaga saja, sapa tahu istri cantikku ini meminta sesuatu yang tidak bisa aku lakukan," balas Mas Yanto.
"Memangnya aku pasien atau tamunya Mas Yanto," sewotku.
Mas Yanto terkekeh mendengarnya, tidak terlihat ada aura tersinggung. Ia malah terlihat hepi.
Kurebut remote televisi yang ada di tangannya. Kuganti acara ke channel lain yang lebih menarik, tetapi semua berisi iklan.
"Duh, kenapa sih, isinya iklan semua. Stasiun tivi janjian apa, ya?" gerutuku.
"Udah siniin remotenya. Nonton ini saja." Mas Yanto kembali meraih remote ditanganku memindahkan siaran ke chanel semula. Mungkin ia kesal mendengar keluhanku.
Balapan motor, itulah acara yang sedang ditonton Mas Yanto. Aku yang tidak paham itu acara apa. Mengerucutkan bibir karena kesalnya.
Yang aku baca cuma formula F1, ada suara komentator menyebut beberapa nama asing yang tidak aku kenal.
Meskipun menurut orang-orang atletnya tampan, tetapi kalau tidak suka seganteng apapun tidak akan membuatku respek.
Melihat motor saling kejar-kejaran. Meliuk-liuk di jalanan dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang mereka cari? Kepuasan atau kejuaraan.
Aku yang tidak terlalu suka, akhirnya mengalihkan perhatian ke ponsel. Bagiku saat ini aplikasi ponsel lebih menarik daripada acara televisi yang membosankan.
"Mas, kenapa sih pas Adam yang minta gabung ke timnya, gak segera kamu iya-in saja?" tanyaku tiba-tiba sambil sesekali menatap mas Yanto lalu kembali beralih ke ponsel.
"Ya gak pa-pa, belum mantap aja," jawab Mas Yanto datar.
"Terus emang pas aku yang ngomong, udah mantap?" kepoku karena memang Mas Yanto menyetujui bergabung di tim kami, setelah aku yang membujuk dan mengatakannya. Meskipun, masih ada Adam bersama kami tadi.
Iya, tadi. Setelah dua minggu Adam bolak balik tidak membuahkan hasil. Namun, setelah aku yang mengatakan bahwa kami membutuhkan bantuannya, Mas Yanto langsung mengiyakan.
Kulihat Mas Yanto terkekeh mengecilkan volume televisi.
"Ya, tentu saja beda kamu dan Adam yang mengatakananya. Aku menolak Adam karena benar-benar belum tertarik." Mas Yanto menjeda kalimatnya.
Diraihnya telapak tanganku dan digenggamnya dengan sayang.
"Sedangkan kalau kamu yang bilang, tentu saja itu sebuah permintaan dan wajib kupenuhi karena sudah seharusnya suami melindungi istrinya." Dikecupnya punggung tenganku dengan lembut.
Ya Tuhan, tubuhku berdesir hebat. Apalagi tatapan Mas Yanto seakan memberi kode bahwa ia begitu mencintaiku dan tak ingin kehilangan.
Padahal kalimat Mas Yanto tdak mengandung gombalan receh. Lalu kenapa aku sampai meleleh.
"Tau gitu, sejak awal aku aja yang ngomong. Gak perlu nyuruh Adam," protesku yang langsung dibalas pelukan oleh Mas yanto.
"Ya, gak serulah, Dek," balas suamiku tanpa menghentika tawanya.
"Gak ada seninya dan gak ada dag dig dugnya. Semua pasti akan datar-datar aja. Gak bisa liat muka Adam yang hampir putus ada. Gak bisa denger reaksi dan pendapat kamu," lanjut Mas Yanto.
"Mas, kan juga butuh pernyataan menguatkan bahwa tenaga Mas benar-benar dibutuhkan bukan hanya dimanfaatkan," jelas Mas Yanto.
"Apalagi mendengar bagaimana reaksi penolakan para warga. Aku tidak ingin bergabungku hanya untuk dimanfaatkan. Setelah kalian berhasil lupa dengan tujuan semula," urai Mas Yanto lebih detail.
Aku yang sejak tadi menyimak hanya bisa mengangguk dan membenarkan pernyataan Mas Yanto.
Memang saat ini tidak sedikit perusahaan yang hanya mengambil keuntungan dengan cara memanfaatkan kemampuan pegawai tanpa memperhatikan kesejahteraan atau kebutuhannya.
Bisa jadi pengalaman yang Mas Yanto peroleh memberinya banyak pelajaran di dunia kerja.
"Apapun pekerjaannya yang penting kita ikhlas dan tidak neko-neko," nasehat pria yang sudah mendampingiku lebih dari tiga tahun ini.
"Terima kasih sudah menjadikanku istri paling beruntung," bisikku dengan suara seksi.
***
Bersambung.