“Assalamualaikum.” Terdengar seseorang mengucapkan salam di depan pintu.
“Waalaikumsalam,” sahutku dan Mas Yanto barengan.
Benar saja dugaanku, baru juga kami dudu-duduk santai sudah ada yang mengetuk pintu. Entah siapa kali ini?
“Kamu di sini, aja. Biar Mas yang keluar,” titah Mas Yanto melarangku beranjak dari kursi.
“Okay,” jawabku sambil tersenyum manis.
“Dek, buatkan minum. Ada Adam di luar!” titah Mas Yanto saat kembali ke ruang tengah.
“Apa? Ngapain lagi tuh anak ke sini?” seruku kaget barusan pamit pulang sudah kembali ke rumahku.
Apa mentang-mentang rumah kami berhadapan, sehingga dengan mudahnya ia bolak balik seenaknya. Dasar anak muda. Hehehe, padahal usia kami tidak terpaut jauh. Aku pun belum bisa dikatakan tua.
Mas Yanto kulihat hanya mengedikkan bahu tanda tidak ia juga tidak tahu.
Tanpa banyak tanya, aku pun segera ke dapur menyiapkan suguhan untuk Adam. Dua cangkir kopi s**u dan dua toples cemilan sisa kemarin kutata sedemikian rupa di atas baki tua milik almarhumah ibu mertua.
Begitulah kami, seluruh perabaot belum ada yang kami ganti. Hampir 95 persen adalah milik ibu Mas Yanto. Kami merasa belum perlu mengganti, karena perabot ibu masih bagus dan layak dipakai meski terlihat kuno. Namun, aku melihat ada keunikan dalam setiap perabot tersebut.
Belum tentu juga tetangga kanan kiri memiliki barang yang sama dengan kami. Karena itu aku berusaha menjaga sebaik mungkin. Mas Yanto juga tidak mempermasalahakn dengan perabot milik ibu aku gunakan.
Hemat pengeluaran. Kan, waktu itu kondisi keuangan kami tidak sebagus saat ini. Mana ada orang pengangguran punya banyak duit.
Tabunganku dan Mas Yanto habis untuk membayar sewa rumah bulanan, biaya hidup selama PSBB dan sisanya untuk transpot pulang kampung. Beruntung kami masih memliki sedikit tabungan dari sisa uang belanja yang diberi mas Yanto, sehingga saat awal-awal di Banyuwangi bisa kami gunakan.
Lebih beruntungnya lagi, ibu mertuaku termasuk tipe yang tidak cerewet. Bahkan sampai akhir hidupnya, ia tidak pernah mengeluh apa pun. Aku yang hanya sempat tinggal bersama selama enam bulan, sampai merasakan begitu kehilangan yang luar biasa.
Dari beliaulah, aku mendapat banyak wawasan dan ilmu tentang kehidupan masyarakat Banyuwangi dan kebiasaannya. Beliau juga yang selalu memberi nasehat tentang rumah tangga dengan Mas Yanto.
Meski bukan termasuk anak yang bisa dibanggakan profesinya, tetapi ibu mertua tidak pernah mengeluh. Jika, aku memberinya uang, selalu saja ditanya,” Apa kamu sudah punya tabungan? Apa kebutuhanmu sudah terpenuhi?”
Sungguh aku benar-benar merasakan tinggal bersama ibu kandung, bukan ibu mertua. Lahumul fatihah untukmu, ibu. Maafkan menantumu ini, jika belum bisa menjadi menantu idaman. Bahkan mendoakanmu saja tidak pernah.
Ah, kan jadi merasa bersalah.
Langkahku terhenti, saat melihat dua pria di ruang tamu saling tertawa lebar melempar canda.
“Mbak,” sapa Adam menghentikan obrolannya dengan Mas Yanto.
“Dek,” seru Mas Yanto menoleh padaku.
Tanpa menjawab aku segera menata suguhan yang aku buat kepada Adam dan Mas Yanto di meja. Begitulah yang diajarkan orang tua. Letakkan cangkir pertama untuk tamu, baru yang kedua untuk tuan rumah. Bukan untuk apa-apa, hanya sebagai penghormatan kita kepada tamu.
“Pantesan lama, wong suguhannya special,” kudengar Mas Yanto memuji dan melirik cangkir kopi s**u buatanku.
“Makasih ya, Dek,” ucap Mas Yanto.
“Makasih, Mbak. Wah, kayaknya mantap, nih,” seru Adam.
“Kalo kayak gini, jadi pengen cepet-cepet nyusul Mas yanto dan Mbak Mega,” usil Adam.
“Nyusul kemana, Dam?” tanyaku sengaja meski aku tahu kemana arah pembicaraan tetanggaku itu.
“Nyusul kawinlah, Mbak,” jawab Adam tergelak.
“Lah kawin? Udah kayak sapi, aja!” sindirku.
Adam dan Mas Yanto tergelak mendengarnya.
“Gak nyangka ternyata Mbak Mega bisa kocak juga,” kata Adam sambil berusaha menghentikan tawanya.
“Aku gak nyangka juga, kalian bisa akur. Kayak kepompong aja,” ledekku merasa aman terkendali.
“Anjir,” oceh Mas Yanto.
“Kenthir,” balasku.
“Hahahahaaa,” suara tawa Adam semakin keras mendengar kami saling mengumpat satu sama lain. Bukan maksud saling mengolok, tetapi begitulah cara kami saling mendekatkan diri.
Ingat, aku arek Suroboyo. Bahasa khasku terkadang tidak bisa hilang begitu saja. Melekat erat, sebagai ciri khas dimana pun berada.
“Mbak, aku tadi lupa belum menyampaiakn kalau mulai lusa Mas Yanto sudah bisa gabung ke tim kita,” ucap Adam girang, seolah-olah baru saja mendapat lotre jutaan rupiah setelah reda tawanya.
Kutepuk jidatku dengan keras, tadi aku memang belum sempat menanyakan tentang kapan Mas Yanto bisa aktif saking girangnya karena sumiku menerima tawaranku dan Adam.
***
“Tujuan kita kemana, Dek?” tanya Mas Yanto di hari pertama bekerja menemaniku di Balai Desa.
Sungguh aku bahagia sekali hari ini karena tidak akan jauh-jauhan lagi dengan mas Yanto. Sherly juga sudah mulai aktif seminggu yang lalu.
“Nih,” aku menunjukkan agenda hari ini.
“Oh, Sumbermulyo. Oke. Jalan!” ajak Mas Yanto.
Kuperhatikan Mas Yanto mempersiapkan peralatan yang akan kami bawa untuk penyuluhan. Sedangkan Sherly, ia sibuk mengemas bekal kami. Aku sendiri, mempersiapkan admisnistrasi yang dibutuhkan.
“Ready?” ucapku setelah menyaksikan Sherly dan Mas Yanto duduk anteng menunggu yang baru saja selesai memasukkan buku terakhir ke dalam ransel.
“Ready. Sher, kamu bawa motor, kan?” tanya Mas Yanto menoleh kepada Sherly.
“Bawa, Mas,” jawab Sherly.
“Ya, udah kita berangkat sekarang. Karena aku dan Mega boncengan,” lanjut Mas Yanto mengkode Sherly bahwa kami pasangan.
“Hihihi. Iya, Mas,” ucap Sherly sambil terkikik.
Ya, mana ada penduduk Desa Bangorejo yang tidak kenal Mas Yanto. Artis saja kalah tenar sama pamornya. Setahun di sini membuatku kewalahan dengan tamu-tamunya. Meskipun, aku tidak mengenal secara personal, minimal pernah melihat wajah mereka nongol di rumah.
“Mas Yanto, Mbak Mega,” panggil seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruangan kami.
“Adam,” sahutku dan Mas Yanto kompak.
“Aku ikut hari ini. Karena aku mau bikin laporan lapangan tentang wilayah yang kalian kunjungi. Jadi, sekalian saja biar gak bolak balik. Sayang transportnya,” kata Adam menjelaskan keberadaan.
“Ayo deh kalo gitu, boncengan ama Sherly aja atau kamu bawa motor sendiri?” tanyaku menatap Adam.
“Bareng Sherly aja, deh. Hahahaa, kapan lagi bisa bonceng cewek manis kalo gak sekarang,” ucap Adam melirik Sherly.
“Huust! Udah ada yang punya, dia!” ucapku.
“Ya, aku kalah cepet,” sahut Adam pura-pura kecewa. Padahal memang ia sengaja menggoda Sherly yang sudah bertunangan dengan pilihan orang tuanya.
“Sher, kok kamu mau-maunya gitu dijodohin?” tanya Adam sembari membantu Sherly membawa perbekalan kami.
“Gak usah nanya aneh-aneh, Dam! Di sini wajar dijodohin, begitu,” timpal Mas Yanto menjajari langkah Adam keluar pendopo Balai Desa.
“Kayak zaman Siti Nur Baya, aja,” ucapnya masih belum terima dengan jawaban Mas Yanto.
“Kan, pacaran juga gak dibolehin dalam islam,” kata Sherly menyerempet soal agama. Aku akui, meski Sherly tidak mengenakan pakaian tertutup khas orang islam, tetapi ia termasuk umat yang taat kepada Allah.
Setiap kami bersama, ia selalu izin menunaikan salat dzuhur ketika suara adzan berkumandang. Berbeda denganku yang sering lalai dan meninggalkannya. Duh, Gusti jadi malu hamba.
Terkadang, ada keinginan dari sudut hati untuk beribadah. Namun, aku tidak tahu harus memulainya darimana.
Salat tidak hafal bacaannya. Membaca Al-quran tidak fasih. Bacaanku masih gratul-gratul. Sungguh, aku terkadang malu kepada Allah. Kapan aku bisa memantaskan diri sebagai hamba Allah yang selalu berada di jalan yang ia ridhoi.
Karena itu, aku berusaha berbuat baik kepada sesama sambil berharap akan ada seseorang yang membawaku ke jalan yang lurus suatu saat kelak.
***
Bersambung