Di dalam kamar, aku merasa cemas dan khawatir kepada Mas Yanto. Sudah lebih dari tiga puluh menit, tetapi belum juga kembali. Kuraih sweater yang tergantung di gatungan baju, bergegas keluar.
Sampai di halaman, aku mendapati pemandangan yang tidak bisa kutuliskan dengan kata-kata.
Mas Yanto – suamiku, sedang meliuk-liukkan tubuhnya di udara. Sesekali kakinya menendang dan tangannya meninju seolah-olah sedang bertarung dengan seseorang, padahal tidak ada siapapun di sana.
Aku berdiri termangu di depan pintu, tidak ada keberanian mendekati Mas Yanto. Menatapnya dari jauh saja sudah ngeri, apalagi mendekat. Kalau terjadi sesuatu denganku, bagaimana?
Kubuka tutup mataku berkali-kali, berharap ini hanya mimpi. Ternyata, semua nyata dan bukan mimpi.
Sekian menit, aku masih belum paham situasi apa yang dihadapi Mas Yanto. Antara terkesima dan takut. Antara bingung dan tidak percaya.
“Ngapain mas Yanto latihan bela diri malam-malam, gini?” batinku sambil terus memperhatikan gerakan tubuhnya yang semakin lincah.
Deg.
Perlahan aku mundur, teringat ucapan Mas Yanto beberapa hari lalu. Aku baru sadar. “Suamiku sedang bertarung dengan makhlusk gaib,” ucapku bermonolog dengan diri sendiri.
Segera aku masuk dan menutup pintu. Dari balik pintu aku memanjatkan doa dan puji-pujian kepada Tuhan, memohon perlindungan untuk Mas Yantoku tersayang.
Tubuhku bergetar lemas, mengingat yang terjadi di luar. Bagaimana nasib suamiku? Apa yang terjadi? Aku harus bagaimana?
Aku belum mau menjanda.
Aku pun belum mau menjadikan Mas Yanto duda.
Otakku sudah travelling ke sana saja. Pokoknya aku sudah merinding disko. Mikir yang enggak-enggak sampai pusing.
Pertanyaan-pertanyaan sepele terus menghantuiku. Perlahan kuintip aktifitas Mas Yanto bersama makhluk gaib yang tak bisa kulihat melalui celah pintu. Mas Yanto masih fokus dengan aktifitasnya yang tadi.
Sesekali kulihat Mas Yanto terjungkal lalu bangkit kembali. Menyerang. Menghalau. Terakhir kulihat tangannya mengeluarkan sinar berwarna merah seperti menarik sesuatu. Semakin lama sinar tersebut semakin kuat dan besar.
Aku serasa menonton adegan laga secara live, mirip sekali dengan sinetron-sinetron. Serius, serial drakor saja tidak seseram penglihatanku.
Sinar merah tersebut tiba-tiba menghilang. Aku yang masih dalam posisi mengintai, kembali dilanda kecemasan.
“Sebenarnya tadi itu apa?” ucapku lirih.
Kembali kuintai aktifitas suamiku. Mas Yanto tampak sedang memejamkan kedua matanya sambil membaca sesuatu karena bibirnya terlihat komat kamit.
Sebenarnya aku ingin sekali berteriak memanggil namanya. Namun, aku teringat ucapnnya agar tidak menganggu saat menghadapi makhluk gaib yang katanya menyukai dan menguntitku sejak lama.
“Ais, kalo memang sudah lama tahu, kenapa baru sekarang kamu usir dia, Mas?” tanyaku dengan diri sendiri.
Tubuhku semakin lemas, kakiku gemetar tidak jelas.
Akhirnya, kuputuskan menunggu Mas Yanto sambil duduk di kursi ruang tamu.
Rumah kami tidak memiliki sofa. Hanya seperangkat meja kursi tamu yang terbuat dari bambu.
Itupun baru terbeli ketika aku dan Mas Yanto memutuskan pindah ke Banyuwangi dengan persetujuan ibu mertua yang waktu itu masih sehat. Sederhana, tapi aku menyukai bentuk dan ukirannya yang unik. Meskipun, harganya tidak mahal.
“Ya Allah, lindungi Mas Yanto,” ucapku seraya menengadahkan kedua tangan.
Sebuah aktifitas yang sangat jarang aku lakukan akhir-akhir ini. Sangat berbeda dengan diriku waktu muda.
Dulu, aku termasuk wanita yang bisa disebut rajin beribadah. Meskipun, aku tidak banyak hafal doa dan surat dalam Al-quran. Namun, aku selalu berusaha untuk memenuhi panggilan Tuhan.
Hubunganku dengan Tuhan semakin menjauh saat menikah, karena Mas Yanto bukanlah suami yang sering mengajakku beribadah. Ibadah dia sendiri saja lalai apalagi mengingatkanku, belum pernah sekalipun. Hingga, kami ke Banyuwangi dan bergelut di bidang perdukunan.
“Mega,” seru Mas Yanto memanggilku, begitu membuka pintu, ada nada khawatir dari ucapannya.
“Kamu gak pa-pa?” tanyanya sembari mengelus pipi, dahi dan pundakku beruntun.
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya.
“Harusnya aku yang tanya,” ucapku lebih panik.
“Mas Yanto ngapain di luar tadi?” Pertanyaan kepoku muncul juga.
Mas Yanto menatapku curiga, “Apa yang kamu lihat?” tanyanya.
Aku kembali menggeleng, “Gak ada, Mas Yanto sendirian.”
Mas Yanto terdengar menghela napas panjang beberapa kali.
“Dia tadi datang berniat menganggumu lagi,” jawab Mas Yanto mengenggam tanganku.
“Lalu?” tanyaku kepo.
“Aku usirlah!” jawab Mas Yanto seakan tidak terima aku diganggu makhluk lain. Apalagi makhluk gaib yang tak kasat mata.
***
Keesokan paginya. Setelah melepas Mas Yanto ke kebun. Hari ini katanya mau membersihkan sisa-sisa panen kemarin. Adam menemuiku.
“Mbak Mega,” sapanya ramah.
“Iya, Dam,” balasku.
“Mas Yanto, ada?” tanyanya.
“Barusan berangkat ke kebun,” jawabku menunjuk ke arah kebun peninggalan keluarga Mas Yanto.
“Mbak, sampaikan Mas Yanto nanti saya tunggu di Balai Desa jam sepuluh. Usahakan tepat waktu ya, Mbak. Mumpung Pak Kades ada di tempat,” ucap Adam terburu-buru.
“Udah ya, Mbak. Saya pamit dulu,” lanjut Adam seraya melambaikan tangan ke arahku.
Tanpa menjawab, aku menatap kepergian pegawai Balai Desa tersebut dengan keheranan.
“Kenapa tuh, anak?” gumamku kepo sambil masuk ke dapur mempersiapkan rantang untuk dikirim ke kebun.
Selang dua puluh menit, aku sudah ada di kebun.
“Mas, tadi Adam nyariin kamu,” kataku sembari menunggu pekerja yang sedang menikmati sarapan buatanku.
“Mbak Mega, masakannya enak,” seru salah satu dari mereka memuji masakanku.
“Makasi, Mas,” balasku ramah.
“Gak nyangka, meski orang Surabaya, tapi pinter masak,” sambung pekerja yang lain.
“Gak semua orang Surabaya, kali Mas kayak gitu,” sahut Mas Yanto membelaku.
Aku hanya menanggapi ketiga pria tersebut dengan terkikik. Karena aku belajar masak juga baru-baru ini. Guru terbaiknya, tentu saja you tube.
“Terus ngapain tadi si Adam nyariin aku?” Mas Yanto kembali ke topik awal yang aku infokan.
“Nyuruh Mas Yanto ke Bale Desa, mumpung Pak Kades ada, katanya gitu,” jawabku.
“Oh, ya udah nanti aku ke sana,” jawab Mas Yanto.
“Jam sepuluh, ya,” ucapku mengingat ucapan Adam tadi pagi.
“Oke. Abis ini aku pulang bareng kamu,” sahut Mas Yanto.
“Mas, abis ini saya tinggal ke Bale Desa dulu,” pamit Mas Yanto setelah kedua pekerjanya selesai sarapan dan aku merapikan rantang bekas makanan mereka.
“Siap, Bos,” balas keduanya kompak.
“Yuk, Dek!” ajak Mas Yanto menuntunku ke sepeda motor yang aku pakai.
Kuserahkan kunci motor, yang ada dikantong. Dengan kecepatan sedang Mas Yanto memboncengku.
Selama perjalanan, Mas Yanto menayapa siapa pun yang ia temui. Baik laki-laki, perempuan, tua, muda bahkan ana-anak. Padahal, tidak ada yang kukenal satu pun. Maklumlah, pergaulan selama ini masih terbatas tetangga kanan kiri. Belum banyak yang kukenal. Meskipun, sudah setahun di Banyuwangi.
***
“Ayo ikut, Dek!” ajak Mas Yanto sebelum berangkat ke Balai Desa.
“Ngapain aku iku?” tanyaku ragu.
“Ya, iku saja. Temenin, Mas,” ajak Mas Yanto.
Tanpa banyak bertanya aku segera berganti pakaian yang layak dan berdandan sekedarnya.
***
Sampai Balai Desa.
“Mas, Mbak, silahkan,” ucap Adam menyambut kedatangan kami.
“Makasih, Dam,” balas Mas Yanto cepat.
“Biar aku yang jawab, kamu diam saja!” bisik Mas Yanto sambil mencubit kecil lenganku saat aku hendak membalas dan memberi senyum Adam.
“Ternyata, masih jealous,” batinku sambil tertawa, tapi tentu saja hanya dalam hati.