20. Lelahku

1200 Kata
Kakiku terasa linu setelah berjalan sekitar satu kilometer bolak balik. Rasanya lelah dan ingin berbaring di kasur empuk. Perjalanan kami hari ini sungguh luar biasa. Aku yang tidak biasa membawa motor melewati perbukitan sedikit kesulitan. Lebih parahnya lagi, begitu tiba di lokasi harus jalan kaki dulu karena motor tidak bisa dibawa masuk. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa. Sudah gitu, pas penghuni rumah kita datangi. Bukannya disambut dengan baik, kita malah diusir. "Ya Allah, Gusti. Melas dan apes banget hari ini." ocehku dalam hati. Baru hari pertama sudah dihujat dan ditolak mentah-mentah. Ingin nangis rasanya saking sedihnya. Namun, aku kembali teringat bahwa yang kita hadapi adalah warga luar biasa. Di situlah letak tantangan kita. Bagaimana kita bisa menaklukkan semesta. Adam dan Sherly yang ikut serta terlihat tidak jauh beda denganku. Hanya saja, Sherly tidak terlihat selelah diriku. Aku yakin ini karena Sherly penduduk lokal asli sini. Sedangkan aku dan Adam yang notabene pendatang sangat tersiksa. Aku yang sudah tidak pernah lagi berolah raga merasakan kelelahan yang sangat. Mengubah mindset penduduk yang rata-rata masih memiliki pemikiran tradisonal tentang anak memang tidak mudah. Tidak sedikit yang menganggap memiliki anak cacat, tidak pandai dan berbeda adalah karma. Yang lebih menyakitkan anak autis dianggap anak gila. Mereka bahkan awam dengan istilah-istilah anak berkebutuhan khusus. Awal-awal aku miris mendengarnya. Bahkan sebelum tergabung dengan tim Adam aku sangat prihatin dengan perkembangan desa kelahiran suamiku. Saat aku memiliki niat memperbaiki, aku kembali terbentur pada paradigma siapa kamu? Kamu tidak akan dianggap ada selama belum menjadi sesuatu di sini. Ini yang aku pelajari dari Mas Yanto. Saat bersama Mas yanto, aku merasa sangat disanjung dan diakui. Padahal suamiku hanya seorang dukun. Profesi yang menurutku norak dan tidak pantas. Ternyata profesi suamiku sangat diidolakan di sini. Mau protes? Protes kemana dan ke siapa? Beda belahan bumi, beda pula tata caranya. Berada di sini membuatku sedikit memahami banyak perbedaan antara Kota kelahiranku dan suami. "Capek, Mbak?" tanya Adam yang sejak tadi begitu perhatian padaku. Aku sampai tidak enak sendiri pada Sherly. Namun, gadis itu hanya tersenyum melihat ke arah kami. "Banget," jawabku sambil ngos-ngosan. "Sabar, Mbak. Bentar lagi juga nyampe," jawab Sherly yang terlihat lebih kuat dibandingkan aku dan Adam. "Tapi, motor kita tadi aman gak, sih?" tanyaku teringat motor yang kami tinggalkan begitu saja di depan pekarangan rumah orang. "Aman, Mbak. Jangan khawatir," jawab Sherly yang lebih tahu situasi desanya. Benar saja keluar dari jalan setapak yang naik dengan terjalnya, motor kami masih terparkir dengan rapi. *** "Capek banget, ya, Dek?" seru Mas Yanto yang tiba-tiba sudah menjajariku yang sedang berbaring. Begitu tiba di rumah, aku langsung menuju kamar dan rebahan. Sehingga, Mas Yanto menghampiriku. "Iya," jawabku menoleh padanya. "Sini." Diraihnya tubuhku dan dibawanya kepelukannya. Rasanya nyaman dan tenang sekali. Kulingkarkan tangan membalas pelukan Mas Yanto, meskipun posisi mata masih terpejam. "Kerjaan Mas Yanto bagaimana?" tanyaku lirih sehingga terdengar seperti berbisik. "Lancar," jawabnya. "Tadi ada perempuan gitu datang minta penglaris." Mas Yanto mengeratkan pelukannya. Mendengar kata perempuan mataku terbuka lebar. "Terus?" kepoku menatapnya. Kulihat Mas Yanto terkekeh mendengarnya. "Ya, aku kasihlah. Kan, cuma penglaris," jawab Mas yanto. "Cantik, gak?" aku kembali menatapnya serius. "Cantik." Mas Yanto kembali tersenyum menatapku. Bibir kupaksa tersenyum manyun, melihat reaksi Mas yanto yang tampak santai. "Kamu kenapa?" tanya Mas Yanto terlihat bingung. Aku semakin memanyunkan bibirku karena ketidakpekaan Mas Yanto. Dia bilang perempuan cantik. Mas Yanto bukannya menghibur, ia semakin tertawa lebar. Entah menertawakan apa? "Dia cantik, tapi lebih cantik kamu," seru Mas Yanto. Aku kembali merengut mendengarnya. Bagiku terdengar seperti gombalan receh seorang kekasih. Namun, Mas Yanto kembali membawaku ke pelukannya. "Dia seorang wanita panggilan yang kalah bersaing dengan rekan sesamanya. Makanya datang ke aku minta susuk kecantikan biar laris," jelas Mas Yanto. "Udah jangan cemburu lagi. Kamu tetap yang paling cantik," ucap Mas Yanto menoel wajahku. Tak urung manyunku berganti menjadi senyuman. Ternyata Mas Yanto tidak secuek dugaanku. Ia sangat peka dan tahu perasaan istrinya. "I love you," bisikku. "Love you, too," Balas Mas yanto. "Jangan cemburu-cemburu lagi, ya," bisiknya. "Gak janji," jawabku tidak mau kalah dengan Mas Yanto. "Aaaa," pekik kegelian karena Mas Yanto menggelitikiku. ** Selesai sarapan aku duduk santai di ruang tengah. Kebetulan hari ini aku libur dan tamu Mas Yanto juga belum ada. Kuselonjorkan kakiku dan mulai memijat perlahan. Efek perjalanan kemarin rupanya masih belum hilang. "Emang kemarin kalian darimana saja? Kok sampai seperti ini?" tanya Mas Yanto sembari mengangsur gelas berisi air jahe hangat. "Minum dulu biar capeknya hilang," kata Mas Yanto. Tanpa banyak bertanya aku meminum air jahe buatan Mas Yanto berlahan karena asapnya yang mengebul menandakan masih sangat panas. Minum wedang jahe pagi-pagi seperti ini memang menenangkan dan menghangatkan tubuhku yang belum beradaptasi sepenuhnya dengan kondisi alam Banyuwangi. Aku menceritakan lokasi mana saja yang kemarin kami datangi, termasuk cercaan dan penolakan para warga. "Ya, kalian harus berjuang lebih keras karena tidak mudah mengubah jalan pikiran oarang lain," komentar Mas Yanto. Pria kesayanganku itu kembali meletakan tangan kokohnya ke kakiku memberi pijatan yang menenangkan. Pijatan Mas Yanto berakhir saat ada seseorang memanggil namanya. "Kalo masih capek, gak usah bawain apa-apa ke ruanganku," pesan Mas Yanto sebelum menemui tamunya. Aku mengangguk mengerti, Mas Yanto tampaknya paham kesulitanku. Seumur hidup belum pernah jalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba harus berjalan di lokasi terjal. Jalan masuknya tidak terasa karena turun, sedangkan saat balik kita harus naik. Uh, rasanya pinggangku. Dari ruang tengah lamat-lamat kudengar suara wanita. Semakin kudengar semakin manja nadanya, walaupun permintaannya masih wajar. Pendengaranku masih normal saat ia meminta jimat pengasih agar kekasihnya yang notabene masih memiliki istri tidak meningalkannya. Aku yang mendengar sangat geram dengan permintaannya. Seorang pelakor mau bagiamanapun tetap pelakor. Aku benar-benar tidak mentolerir perbuatan seperti ini. Namun, aku kembali tersadar andai si suami mengatakan sejujurnya ingin memiliki wanita lain, pasti tidak ada izin. Duh, repotnya jadi wanita. Mencintai orang salah atau waktunya yang tidak tepat, begitu alibi yang sering k****a dan kudengar. Entah apa yang dilakukan suamiku di dalam sebab aku tidak bisa mengintip. Kakiku masih belum sanggup diajak jalan kembali. Sehingga, aku hanya menngandalkan pendengaranku agar jelas. "Mbak, bisa memenuhi persyaratannya?" ucap suara yang aku pastikan milik Mas Yanto. "Sanggup," suara seorang wanita dengan nada yakin. Sungguh, aku sampai bergidik mendengarnya. Apa tidak ada cara lain selain ke dukun, ya? gejolak batinku. Seolah tidak terima makhluk dari jenisku menghalalkan segala cara, tapi kembali semua tergantung pada masing-masing orangnya. Mungkin orang lain menganggap aku beruntung karena bersuami Mas Yanto. Mungkin juga yang lain menganggap aku sial karena bersuami seorang dukun. Kata orang Jawa sih, sawang sinawang. Karena yang tahu kehidupan kita adalah kita sendiri. Orang lain hanya bisa melihat kulitnya. Melihat enaknya saja tanpa tahu bagaimana kita pernah merasakan susah dan berjuang agar bisa bertahan untuk melanjutkan hidup di tengah ketidakpastian seperti ini. Kudengar suamiku mengatakan semua syarat dan ritual yang harus wanita itu jalani. "Kalau ibu sudah siap, minggu depan kita mulai ritualnya," ucap Mas Yanto sebelum wanita itu pamit. "Duh, kenapa sih, harus wanita terus," gumamku dalam hati. "Apa yang banyak bermasalah di dunia ini hanya perempuan?" aku masih bermonolog dengan diriku sendiri. Baru juga si wanita tadi keluar, aku mendengar suara wanita lain masuk. "Duh, Gusti kalo gini terus aku bisa darah tinggi. Dam, kapan kamu bicara sama Mas Yanto?" seruku dalam hati membatin agar Adam segera mengeksekusi rencananya. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN