"Dam, gimana?" tanyaku keesokan harinya saat di ruanganku menunggu jadwal sosialisasi hari ini.
Selain Adam di sana ada Sherly yang sibuk mengetik. Entah apa yang ia ketik? Yang pasti masih berhubungan dengan pekerjaan.
Aku sih, percaya apa yang dilakukan Sherly pasti yang terbaik. Apapun hasilnya pasti akan dilaporkan.
"Belum ada acc dari Pak Kades," jawab Adam membuat nyaliku sedikit menciut.
Harapan terbesarku saat ini Adam segera menemui Mas Yanto dan menyampaikan keinginannya agar pekerjaan kami sedikit ringan.
Lebih tepatnya sih, keinginanku karena aku merasa kewalahan menghadapi penduduk asli di sini. Berharap kehadiran Mas Yanto bisa membantu menyukseskan.
Ditolak memang bukan hal yang memalukan, tapi tidak ada salahnya kita memperkecil hal tersebut.
Bagiku tim baru ini membutuhkan sosok yang dikenal dan diidolakan warga agar keberhasilannya bisa mendekati sempurna.
Bukan hanya kami yang terkdadang tidak dianggap oleh mereka. Warga masih bernaggapan aparat seperti kami malah membuta onar dan menganggu kebiasaan lama yang diwariskan leluhur.
Kembali aku fokus pada pria seper empat abad itu, "Lalu hari ini tujuan kita kemana?" tanyaku.
"Sosialisasi ke desa Jati Luhur," jawab Adam.
"Apa kita akan melewati jalan yang seperti kemarin?" Aku kembali bertanya memastikan medan yang kita lalui.
Tidak aku pungkiri ada sedikit rasa trauma jika harus melewati jalanan itu lagi.
"Enggak, Mbak. Jalan ke Jati Luhur datar-datar saja," sahut Sherly yang sepertinya sudah menutup laptopnya.
"Mbak, ini yang kemarin Mbak Mega minta." Sherly menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.
"Apaan?" seruku bingung sebab aku lupa pernah meminta tolong apa pada gadis itu.
Sherly sepertinya sengaja membuatku bingung dengan tidak menjawab pertanyaanku.
Setelah kertas ada di tangan baru aku ingat, ternyata kertas itu berisi hasil kunjungan atau sosialisasi tim untuk dijadikan bahan laporan dan diskusi berikutnya.
"Makasi, ya," ucapku sebab Sherly terlihat dalam posisi silent, enggan menjawab.
"Mbak Mega kebanyakan pikiran kayaknya," seru Sherly menatapku serius.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan sambil menggelang.
Sherly yang tadinya berdiri kembali duduk ke kursinya dengan tergesa.
"Kenapa kamu, Sher?" tanyaku panik apalagi sempat kulirik wajahnya pucat.
"Sakit?" Reflek aku menyentuh dahinya.
"Panas," batinku.
"Dam, panas banget," ucapku lirih.
"Kenapa gak izin saja, sih!" Lanjutku sedikit berang karena Sherly terlihat mengabaikan kesehatannya.
"Sebentar!" Adam kulihat keluar dengan cepat.
"Aku gak enak, Mbak. Baru bekerja sehari, izin sakit," ujar Sherly kembali duduk di kursinya.
"Aduh, Sher!" Aku menepuk dahiku khawatir.
"Kamu tuh, ya. Ingat! Situasi sekarang sudah tidak seperti dulu. Keberadaan virus membuat banyak orang ketakutan." Kupinta ia pindah ke sofa panjang dan menyelonjorkan kakinya
"Kita ke puskesmas," ajakku.
"Lalu agenda kita bagaimana?" tanya Sherly khwatir.
"Kerjaan bisa dikerjakan besok. Sekarang pikirkan kesehatan kamu," jawabku jengah karena Sherly masih saja memikirkan pekerjaan.
Okelah kita memang dikejar target, tapi apa harus mengorbankan kesehatan. Tidak, bukan?
Kesehatan saat ini adalah modal utama untuk bekerja. Aku masih mengingat petugas kesehatan yang mendatangi desa kami, mereka menggunakan APD yang disebut hazmat hanya demi kesehatannya agar terhindar dari virus bernama Covid.
Lalu disaat petugas kesehatan berjuang apa kita mengabaikan?
Harusnya kita mendukung dengan menjaga kesehatan diri sendiri.
Adam masuk menyerahkan thermo gun padaku, "Cek suhu tubuhnya!"
Tanpa banyak komentar segera kudekatkan thermo gun di punggung tangan Sherly.
"Tiga puluh tujuh koma lima," seruku.
"Bawa ke puskesmas, Mbak!" titah Adam sambil mengodeku.
Kupapah Sherly ke halaman balai desa. Kulihat Adam menekan sesuatu di tangannya. Benar saja, sebuah toyota yaris berbunyi nyaring mengeluarkan alarmnya.
"Bawa masuk, Mbak!" perintahnya sedikit panik.
"Jangan bingung, tadi aku pinjam punya Pak Kades," ucap Adam saat kami dalam perjalanan ke puskesmas seolah tahu apa yang aku pikirkan.
***
"Kok, sudah pulang?" tanya Mas Yanto keheranan melihatku sudah di rumah padahal baru pukul setengah sebelas.
"Iya, Sherly sakit," jawabku mencium punggng tangan Mas Yanto sebelum ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki.
Setelah tiba di puskesmas Sherly diperiksa lengkap oleh petugas termasuk tes swab untuk menunjukkan gejala yang ia alami.
Setelah melakukan tes lengkap kami diizinkan pulang karena hasilnya akan keluar nanti siang, sehingga orang tua Sherly kami minta untuk mengambilnya.
Aku dan Adam akhirnya membatalkan agenda hari ini sampai Sherly sehat sekalgus menunggu keputusan Pak Kades mengenai Mas Yanto.
Aku merasakan tubuhku sedikit tidak enak. Segera kuraih jaket yang tergantung dan kurebahkan ke kasur.
Kucoba memejamkan mata meski sebenarrnya tidak mengantuk.
Tak lama kemudian aku mendengar suara decitan pintu. Aku menduga Mas Yanto masuk karena mataku tidak bisa diajak kompromi.
"Dek, kamu kenapa?" tanya sebuah suara yang begitu familiar. Namun, aku tidak bisa menjawabnya.
kepalaku tetiba menjadi begitu berat. Kedua mataku memanas.
Sebuah telapak tangan mendarat ke keningku.
"Panas," kudengar suara panik dari pria di sampingku, tetapi aku seolah tidak sanggup bereaksi apapun.
"Tunggu sebentar." Kudengar langkah kaki menjauh. Ingin rasanya kukatakan jangan jauh-jauh, tapi bibirku sudah tidak sanggup mengeluarkan kata apapun.
Aku merasakan hembusan angin dan hawa panas masuk. Entah apa yang dilakukan suamiku. Namun, ada rasa lega dan hangat merasuk ke tubuhku.
Suara langkah kaki kudengar semakin jauh dan kamar menjadi hening. Aku kembali mencoba untuk tidur menghilangkan rasa yang tidak enak di tubuhku.
Nihil. Aku tidak bisa tidur, meskipun mata terpejam.
Beberapa menit kemudian aku kembali mendengar suara pintu dibuka seseorang. Aku masih yakin Mas Yanto yang melakukannya. Sehingga, aku tidak banyak bergerak karen badanku terasa ngilu.
"Dek, bangun bentar. Minum ini!" Tepukan halus terasa di bahuku.
Mau tak mau membuatku membuka paksa kedua mata. Terlihat senyum khawatir suamiku sembari menunjukkan gelas di tangannya.
Perlahan aku bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Mas Yanto menyodorkan gelas berisi air.
Kusentuh gelas tersebut, pertama yang kurasakan panas. Kucoba menghirup aroma yang mengebul, tetapi indera penciumanku seolah tidak berfungsi.
"Ada apa ini?" batinku kebingungan.
Perlahan kuteguk minuman panas dari Mas Yanto. Lidahku bisa merasakan campuran rempah-rempah di air panas tersebut.
Mas Yanto tadi pasti sibuk membuatkan aku minuman ini di dapur. Aku memikirkan Mas Yanto yang bekerja di dapur, pasti ia sangat kewalahan mencari rempah-rempah.
Ada rasa kagum dan bangga memikirkan suamiku yang begitu perhatian. Tidak peduli apapun profesinya. Bagiku Mas Yanto is the best.
"Istirahat, ya." Mas Yanto kembali merebahkan tubuhku dengan lembut lalu menutupinya dengan selimut.
***
"Dek, bangun makan dulu!" Kembali kurasakan seseorang menggocang tubuhku yang semakin lemah.
Aku menggeleng karena memang perutku tidak enak dan mulutku terasa pahit, sehingga malas mengunyah makanan.
"Ayo, makan sedikit." Mas Yanto memaksaku untuk bangkit.
Dengan malas aku membuka mata menatap ke piring berisi bubur. Perutku terasa semakin mual menyaksikan makanan yang dibawa Mas Yanto. Namun, jika menolak suamiku pasti marah.
Pasrah. Itulah yang bisa aku lakukan sekarang.
"Tadi Adam ke sini. Aku bilang kamu lagi gak enak badan." Mas Yanto mengulurkan sendok berisi bubur ke mulutku.
"Kata Adam, Sherly positif Covid. Sekarang mereka sekeluarga dikarantina." Mas Yanto menyuapiku sambil terus bercerita tentang kondisi terkini Sherly, rekan satu timku.
Terselip keterkejutan di dadaku mendengar cerita Mas Yanto. Namun, karena cerita itu aku rasa malas makanku teralihkan.
Tanpa terasa setengah piring aku habiskan. Aku menghentikan suapan setelah perutku terasa penuh.
"Apa aku juga terpapar?" gumamku dalam hati karena aku yang berinteraksi paling banyak dengan Sherly sejak pagi.
Bahkan aku yang memapah Sherly dari balai desa ke puskesmas hingga ke rumahnya.
"Mas, apa aku tertular virusnya Sherly?"
**
Bersambung