Aku menyalami Bu Ifa, istri Pak Joko. Lelaki yang beberapa bulan lalu mendatangi rumahku meminta hitungan hari baik untuk pernikahan Afika – putri sulung mereka.
Pak Joko akhirnya memtuska menikahkan Afika dengan pria pujaan hatinya, meskipun sudah diingatkan Mas Yanto tentang hasilnya yang ketemu pati.
Rupanya Pak Joko sangat menyayangi putrinya, sehingga ia mengabaikan pesan suamiku.
Mungkin bagi orang tua, kebahagiaan anak adalah yang utama, sehingga mereka mengabaikan dirinya sendiri.
Tadi pagi melalui toa masjid diumumkan berita kematian Pak Joko. Sebagai tetangga yang baik, aku pun melayat. Meskipun aku terkejut dengan berita tersebut.
Kemarin aku masih sempat bertemu almarhum tampak sehat. Tidak ada tanda-tanda sakit atau tidak enak badan. Namun, kematian adalah salah satu rahasia Ilahi.
Kulihat wajah Bu Ifah sangat menyedihkan. Segera kupeluk dan kuhibur sejenak, walaupun kutahu kata-kataku tidak banyak membantu.
Ditinggalkan orang terkasih adalah sesuatu yang paling menyedihkan.
Apalagi ditinggalkannya dengan cara yang mengagetkan tanpa sakit.
“Mbak Mega, maafin bapak kalo selama hidupnya ada salah,” bisik Bu Ifa membalas pelukan dan kata-kata penghiburku.
“Iya, Bu. Insya Allah Pak Joko orang baik.” Aku beralih menatap Afika yang menangis sesenggukan di pojok ruang tengah ditemani suaminya.
Entah wajah apa yang ia tunjukkan. Tangisnya terlihat begitu menyayat hati.
“Pak Joko itu meninggal karena salah Afika.” Kudengar ada seorang wanita bebrisik kepada wanita lain yang sama-sama melayat sepertiku.
Mengurungkan niatku untuk mendekati Afika. Pembicaraan dua wanita tak kukenal itu membuatku kepo.
“Kenapa, Mbak?” tanya wanita diajak ngobrol.
“Denger-denger mereka sudah diingatkan Mas Yanto, tapi masih ngeyel juga. Kalo udah kejadian kayak gini yang nyesel siapa?” cerita si ibu pertama.
Aku melangkah menjauhi dari keduanya, menutup telingaku rapat. Mereka ini apa tidak punya hati membicarakan kematian seseorang di rumah duka dan saat jenazahnya masih belum semayamkan.
Cukup sudah aku mendengar ghibahan mereka. Kuedarkan pandangan mengamati kegiatan para pelayat lainnya.
Aku berniat gabung dengan beberapa ibu yang aku kenal, siapa tahu ada yang bisa aku bantu sebab setahuku jika ada yang meninggal biasanya warga akan bergotong royong mempersiapkan upacara kematiannya.
Tak kusangka dari jarak kurang dari lima langkah aku mendengar selentingan suara sumbang yang sama. Kematian tidak wajar Pak Joko.
Ada juga yang menyebutkan Pak Joko menjadi tumbal anaknya sendiri.
Yang lebih mneyakitkan ada yang menyebut Afika anak duraha.
Coba ucapan mereka didengar keluarga yang meninggal, betapa hancur dan sakitnya hati keluarga almarhum Pak Joko.
Lagian kematian seseorang tidak akan pernah ada yang tahu. Lalu apa mereka bisa menjamin Pak Joko tetap hidup jika Afika tidak menikah?
Wah, kali ini otak jernihku yang muncul. Toh, nyawa kita milik Sang pemilik semesta. Kita sebagai manusia hanya bisa ikhtiar semampunya.
Berlaku sebaik-baiknya sebagaimana untuk bekal di akhirat, begitu kata ustadz dan Kyai saat mendengar ceramah.
Dalam keadaan bingung, Mas Yanto tiba-tiba menyeretku menjauh dari kerumunan.
Ada perrasaan sedikit lega. Sudah sedikit menjauh dari pengghibah.
Aku yang merasa belum bisa bergabung dengan mereka akhirnya menorehkan sedikit senyum melihat wajah tampan suamiku.
“Dek, lebih baik kamu pulang! Hawa di sini panas,” ucap Mas Yanto. Lebih tepatnya mengusirku.
Tanpa menyanggah aku segera pulang ke rumah membenarkan saja semua ucapan Mas Yanto.
Beruntung aku juga malas mendengar ucapan negatif para pelayat.
**
Baru saja aku membuka grendel pintu.
Eh, iya rumah kami tidak memiliki lubang kunci apalagi daun pintu yang bagus.
Pengaman rumah kami hanya sebuah gembok. layaknya gembok pagar rumah gedongan.
Ada rantai pendek sebagai pengait, itulah yang aku sebut gerendel.
Bukan kami tidak sanggup mengganti. Jumlah nominal uang kami lebih dari cukup, jika mengganti pintu tua dengan yang terbaru.
Namun, semua kembali pada prinsip Mas Yanto yang tidak ingin terlihat lebih dari tetangga sekitarnya.
"Lebih baik kita tetap hidup seperti ini. Mudah-mudahan jika saatnya tepat kita mulai kehidupan seperti keinginan adek," begitu wejangan Mas Yanto jika aku meengek, ngambek atau protes tentang rumah.
Bagi Mas Yanto, cukup rumah diterangi listrik dan beberapa perabot yang bermanfaat karena semua yang ada di rumah peninggalan almarhumah ibu masih layak.
Jika sudah begitu aku hanya diam. Semua pendapatku tetap tidak mempan membujuknkya.
Saat di Surabaya kehidupan kami bisa disebut lebih banyak untuk bersenang-senang karena penghasilan yang lumayan besar tanpa memikirkan ke depannnya.
Sekarang barulah kita merasakan susahnya tidak berduit. Apalagi di masa-masa kondisi bak kota mati.
Semua infrastruktur sosial dan ekonomi patah geliatnya.
Bisa jadi Mas Yanto belajar dari kehidupan kami sebelumnya. Sekarang ia lebih berhati-hati, tapi aku juga tidak paham yang ada dipikirannya.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki sebab menurut orang-orang tua dulu, setelah melayat banyak jin yang menempel.
Sehingga harus dibersihkan juga untuk membersihkan sawan-sawan di jalan.
Setelah dewasa dan setelah penyebaran virus barulah semua orang percaya tentang keutamaan cuci tangan dan kaki.
aku juga mengganti pakaianku dengan yang baru, khawatir ada virus atau kuman menempel. Yang ini selain peringatan orang tua juga tata cara agar terhindar dari penyebaran virus C-19.
Aku meraih ponsel yang sengaja aku tinggal di rumah. Ponsel sudah berdering sejak aku masuk tadi.
Kugeser icon hijau di monitor kulihat pemangggilnya Wulan. Namanya kuganti dengan icon anjing sejak tahu virus yang tersebar dari Wu Han.
Namanya aku plesetkan jadi Wu Han dengan icon anjing, Kota di China yang penduduknya suka makan daging apa saja.
Rasanya ingin tertawa melihatnya, tapi gak mungkin juga kan, aku ketawa di hadapan Wulan.
Tentu saja aku merahasiakan dari Wulan dan sahabat-sahabatku yang lain.
"Darimana aja sih, kamu Ga!" terlihat Wulan sangat kesal dengan bibirnya yang mancung lima senti.
Aku sedikit terkekeh melihat tingkahnya yang tidak pernah berubah sejak dulu. Tidak sabaran menunggu.
"Abis ngelayat. Kenapa?" tanyaku setelah menghentikan tawaku terpaksa sebab Wulan akan semakin ngambek jika aku tidak segera menanggapinya.
"Emang sapa yang metong?" tanya Wulan sambil mengotak atik ponselnya.
"Pak Joko," jawabku singkat sebab tak lama kemudian muncul wajah Putri, Davina dan yang terakhir Jehan.
Sepertinya mereka ada kesepakatan melakukan panggilan video denganku.
"Hai, Meeegaaaa," sapa mereka bersamaan sembari melambaik dengan genitnya.
Duh, mungkin aku dulu juga seperti mereka. Namun, keburu dibawa ke Banyuwangi akhirnya berubah dengan sendirinya mengikuti lingkunganku yang sekarang.
"Hai, gengs," balasku memberi kiss bye.
Kulihat mereka berempat tertawa lebar melihat tingkahku.
"Masih genit aja, lu," komen Putri.
Ambyar sudah, kalau sudah bertemu mereka rontok semua rasa malu dan gengsi.
"Darimana aja sih, lama banget," sela Jehan dengan wajah tak kalah kesal dengan Wulan tadi.
Kulirik Wulan sudah tersenyum kecil, mendnegar Jehan kesal padaku.
"Abis ngelayat, Gengs," balasku.
"Emang sapa yang mati?' tanya Jehan menatapku serius.
Aku menatap monitor kecil berisikan wajah-wajah sahabatku sambil memikirkan kata-kata yang pas untuk menjawab.
Mereka tidak akan berhenti bertanya sebelum aku menjawab sesuai keinginan mereka.
Mengesalkan.
"Kalian masih ingat bapak-bapak yang datang bersama anaknya?" tanyaku memancing memori mereka.
"Oh, yang mau kawin itu? Terus kata Mas Yanto ketemu pati itu?" jawab Putri.
Aku mengangguk, mengiyakan ingatan mereka.
"Jangan bilang yang mati salah satu dari mereka?" tebak Wulan sedikit terperanjat.
Aku kembali mengangguk.
"Yang meninggal bapaknya. Orangnya kepelset di kamar mandi dan tidak tertolong," ucapku mengakhiri cerita tentang Pak Joko.
"Makanya jangan coba-coba melawan dukun," komentar Jehan.
"Takdir kali. Bukan karena dukunnya," jawabku tidak terima.
"Emang bisa jamin, Pak Joko panjang umur kalo anaknya gak jadi nikah?" bantahku.
"Ya, paling enggak, kan si anak tadi gak digunjing jadi anak durhaka," kata Davina yang sejak tadi menyimak karena tidak pernah tahu yang mana Pak Joko dan Afika.
Aku mengedikkan bahu, sebagai tanda no komen.
"Kalian mau cerita apa?" kataku sambil tersenyum mengalihkan kematian yang membuat heboh warga.
"Kangeeeen," seru mereka berempat kompak.
"Main Surabaya dong, Ga!" seru Wulan.
"Ntar kalo udah aman. Kalo udah gak ada operasi vaksin," jawabku asal sambil terkekeh.
"Pasti belum vaksin," tebak Putri.
"Iya, memang. Takut," jawabku
Selanjutnya rumah dipenuhi suara tawa kami. Apalagi bullyana tentang vaksin haru kuterima dengan tangan terbuka.
**
Bersambung