Pasangan suami istri yang menyapa Mas Yanto di puskesmas ternyata datang lagi keesokan harinya. Mereka datang sebagai pasien pertama Mas Yanto.
Entah mereka sudah janjian sebelumnya atau memang sengaja datang pagi-pagi seperti pasien-pasien sebelumnya agar mendapat giliran pertama. Entah apa keistimewaan menjadi pasien paling pagi Mas Yanto.
Aku hanya menatap kedatangan mereka dari dalam rumah sambil mengelap perabotan di ruang tamu. Mumpung libur tidak ke balai desa, aku melakukan pekerjaan rumah yang belum sempat aku kerjakan kemarin.
Sejak aku bergabung menjadi tim tumbuh kembang anak di balai desa, waktuku untuk menyelesaikan pekerjaan rumah menjadi berkurang. Aku mengakalinya dengan memanfaatkan hari libur untuk menyelesaikannya.
Rasanya lelah dan capek, tetapi aku berusaha menikmatinya karena semua adalah pilihanku sendiri. Aku pun harus lebih bijak mempergunakan waktukuuntuk hal-hal yang bermanfaat.
Kulihat Mas Yanto mengambil botol berisi minyak yang biasa ia gunakan memijat. Minyak khusus yang ia racik sendiri. Minyak yang menjadi ciri khasnya. Minyak yang tidak pernah aku tahu apa isi racikannya?
Mas Yanto seolah merahasiakan dari siapapun. Ada bahan khusus dan rahasia yang membuat minyak pijatnya berbeda dengan dukun pijat lainnya. Aroma khasnya membuat siapapun nyaman dan tenang.
Seperti ilmu perdukunannya yang masih menjadi misteriku. Ilmu yang aku tidak pernah tahu darimana ia memperolehnya.
Setahuku ia tidak perrnah berguru kepada siapapun. Bahkan jika itu ilmu sesat karena diperoleh dari suatu tempat, setahuku Mas yanto tidak pernag bepergian ke tempat jauh apalagi sampai tidak pulang berhari-hari.
Sejak pertama menikah hingga kini, aku belum pernah ditinggal menginap atau sejenisnya. Setiap malam Mas Yanto selalu menemaniku.
Tidak pernah ada yang aneh pada Mas Yanto sebelum gelar dukun tersemat di dirinya.
Sengaja aku pura-pura tidak memperhatikannya, tetapi sebetulnya aku mengelap meja, kursi sembari melirik dan memperhatikan semua gerakan yang ia lakukan.
Aku merasa mirip detektif saja. Detektif yang kurang kerjaan.
Semalam mas Yanto hanya mengatakan pasangan yang datang hanya konsultasi tentang kehamilan. Namun, hari ini mereka datang lagi.
Dari cerita yang aku dengar dari Mas Yanto, keduanya sudah menikah lebih dari sepuluh tahun. Namun, belum dikaruniai anak. mereka mendengar bahwa Mas Yanto bisa pijat hamil dan mereka mendatangi untuk terapi itu.
Semakin aneh saja, permintaan dari pasien suamiku. Aku sampai tidak habis pikir.
“kalau ingin hamil terapi ke dokter kandungan. Kenapa ke suamiku?” kataku dalam hati kemarin menanggapi cerita Mas Yanto.
“Mereka sudah berkali-kali ke dokter, tapi belum ada hasilnya karena itu meereka mencoba terapi dengan pijat refleksi,” seru Mas Yanto seolah tahu yang aku pikirkan.
Lekas-lekas kuselesaikan pekerjaanku dan ngepo-in mereka di ruang praktek Mas Yanto. Mencari tahu apa yang dilakukan Mas Yanto dan bagaimana pasien suamiku.
Hobiku sudah kembali ke tempatnya. Kata itu yang akan aku teriakkan andai rasa girangku tidak membuat gengsi Mas Yanto turun level.
Namun, suamiku bukan tipe pria yang bisa menurunkan level gengsi. Ia akan menjaga gengsinya melebihi siapapun.
Kusibak sedikit tirai pembatas ruangan Mas Yanto. Kulihat si Mbak duduk selonjor di bale-bale ditemani suaminya.
Mas Yanto kulihat duduk di sampingnya membalurkan sesuatu yang aku perkirakan minyak pijat. Tercium dari aroma khasnya yang mencuar ke indra pembauku.
Bau yang bisa kucium, meskipun jarak kami saat ini direntang empat meter, seperti saat ini.
Kulihat tangan Mas Yanto dengan lincah menekan area-area tertentu. Hening tidak ada suara apapun diantara mereka.
“Aaaaa.” Kudengar si Mbak mulai berteriak-teriak kesakitan terkena efek pijatan Mas Yanto.
Matanya terlihat merem melek menahan segala hal yang terasa sakit ditubuhnya
Suaminya tampak sibuk menenangkan istrinya agar melupakan kesakitannya. Namun, sekeras apapun suaminya menenangkan si Mbaknya masih tetap meringis dan sesekali berteriak.
Aku dari balik tirai hanya bisa membayangkan sakitnya karena aku sudah sering dan biasa mendapat serangan mendadak pijatan Mas Yanto.
Awalnya memang terasa enak dan biasa-biasa saja, tetapi di titik-titik tertentu yang aku tengarai sebagai pusat yang Mas yanto tuju akan terasa sakit. Rasanya seperti ditusuk-tususk, ngilu dan bisa terasa hingga ke seluruh tubuh.
Aku terkadang keheranan, tangan Mas Yanto itu sebetulnya terbuat dari apa? Hingga bisa membuat tubuh seseorang bergetar begitu hebat hanya karena pijatannya.
Sekitar lima belas menit, kali ini berganti suaminya yang duduk selonjor. Tampaknya pria itu juga akan dipijat suamiku.
Aku masih memperhatikan dari balik tirai. Apa yang terjadi pada pasien Mas Yanto kali ini.
Si suami yang awalnya tenang, kini terlihat mulai meringis kesakitan. Ia seperti ingin berteriak, tetapi gengsi pada istrinya.
Ia yang sejak tadi menenangkan akhirnya merasakan apa yang dirasakan istrinya. Aku tersenyum lebar dibalik tirai tanpa suara. Bisa-bisa aku kena damprat jika suaraku terdengar oleh mereka bertiga.
Aku buru-buu kembali ke kursi karena melihat mereka berrtiga sudah selesai. Tidak ingin terpergok salah satu diantara mereka. Jika yang memergoki Mas Yanto, aku tidak seberapa tengsin karena aku sudah sering dipergoki suamiku.
Tentu lain dan beda rasanya jika dipergoki pasien. Akan menimbulkan banyak pertanyaan hingga ketidakpercayaan kepada suamiku kelak karena itu aku selalu berhati-hati jika mengintai.
***
“Akhirnya,” seruku girang seraya meregangkan kedua tanganku dengan perasaan lega.
Bukan hanya aku, tetapi semua yang berada di ruangan tersbeut juga memperlihatkan wajah lega. Senyum rekah mengembang dengan sempurna.
“Akhirnya selesai juga,” sambung Sherly yang duduk tidak jauh dariku.
Hari ini adalah hari terakhir kita melakukan road show ke sejumlah PAUD di desa kami. Meskipun, lega karena hari terakhir, tetapi ada kesedihan juga karena harus berpisah dengan orang-orang baik di sekolah.
Dari semua yang kami temui sampai saat ini guru PAUD adalah partner terbaik kami. Partner yang menerima kami tanpa banyak alasan dan pertimbangan.
Merekalah yang meyakinkan kami bahwa mereka juga butuh kami. Kita akan jadi partner yang saling membutuhkan.
Dari merekalah kami bisa menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih untuk terus melanjutkan misi demi kepentingan desa.
Selama melakukan kegiatan di luar balai desa, Pak Kades sering melakukan sidak dan kunjungan ke sekolah tempat kami berroad show. Bahkan Bu Kades beberapa kali ikut serta.
Saat ada kesempatan aku pernah menanyakan kepada beliau tanggapannya tentang program kami. Siapa sangka jawaban beliau sangat luar biasa.
“Saya sangat mendukung program ini karena selama ini belum ada yang sanggup menerimanya. Saya sangat salut dengan tim kalian,” jawab Bu Kades saat itu.
“Karena itu saya yang meminta ke Bapak untuk memantau progresnya sampai sejauh mana,” lanjut Bu Kades.
Wanita paruh baya yang selalu terlihat cantik itu benra-benar membuatku terkesan dan bangga. Ia begitu mendukung peran dan tugas suaminya dengan ikhlas, seperti itulah penilaianku padanya.
Meskipun, baru beberapa kali bertemu aku sudah merasa nyaman berinteraksi dengannya.
“Semoga kalian bisa menyelasaikan misi ini dengan baik hingga akhir masa jabatan suami saya sebab kami ingin memberikan kenangan terbaik selama menjabat,” seru Bu Kades di lain kesempatan.
Harapan, dukungan dan motivasi dari beliau juga menjadi salah satu alasan kami untuk tetap berjuang menyelesaian semua hingga akhir.
“Bu Laras,” kataku menemui Kepala Sekolah TK yang hari ini kami kunjungi.
“Untuk hasil hari ini akan saya sampaiakn minggu depan bersamaan dengan yang lain. Saya masih berharap dukungan dan kerjasamanya,” lanjutku.
“Tentu saja, Mbak. Kami selalu mendukung dan menerima Mbak Mega,” jawab Bu Laras.
“Harusnya kami yang berterima kasih berkat kalian ilmu kami nambah,” lanjut Bu Laras antusias.
Aku membalas dengan senyuman yang lebar.
“Sampai ketemu minggu depan,” pamitku pada wanita berhijab hijau muda itu.
***
Bersambung