38. Yang Kuingin

1288 Kata
Kulemparkan tas selempangku begitu saja di atas kasur. Tentunya setelah aku mencuci tangan dan kakiku. Kemudian kurebahkan tubuh pelah-pelan memeluk guling dan bantal yang tertata rapi di kepala ranjang. Kuabaikan pakaian yang masih menempel di tubuh. Padahal harusnya aku mengganti pakaianku terlebih dahulu setelah pulang dari bepergian karena kita tidak pernah tahu jika ada kuman atau virus menempel dan terbawa sampai rumah. Begitu informasi yang aku dengar selama pandemi berlangsung. Entah kebenarannya. Namun, aku diajarkan selalu mengganti pakaian setiap pulang dari bepergian jauh sebelum ada pandemi. Rebahanku terasa begitu nyaman. Pinggangku yang tadinya terasa sakit mulai sedikit merasa enakan begitu aku rebahan. Akhir-akhir ini area sekitat pinggangku memang sering terasa sedikit sakit. Namun, saat kutidurkan rasa sakitnya sedikit berkurang. Mas Yanto berkali-kali menyarankan aku untuk minum air putih lebih banyak lagi setiap kali aku mengeluh sebab kata suamiku, aktifitasku serkarang lebih banyak dipakai duduk. Sehingga, air putih lebih banyak dibutuhkan untuk keseimbangan metabolisme dan sisitem kerja ginjal. Aku mengiyakan saja semua dugaan Mas Yanto, bukan mengabaikan. Aku hanya merasa mengalami kelelahan yang sangat setelah setengah hari ini melakukan banyak aktifitas di balai desa. Aku pun sebetulnya tahu teori ini. Namun, karena terlalu fokus bekerja membuatku terlupa dengan minum. Kalau sebelumnya aku hanya ibu rumah tangga yang hanya bertugas mengurus rumah. Sekarang sudah tidak lagi. Menurut Mas yanto aktifitasku sudah seperti orang kantoran. Jadi, aku juga harus menjaga tubuhku lebih ekstra. Aku merasa kelelahan kualami karena daya tahan tubuh yang menurun. Apalagi minggu-minggu ini akan ada bermacam tes di sekolah PAUD. Aku pasti akan lebih cepat lelah. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara pikiran. Secara yang kami hadapi anak-anak kecil yang penuh kejutan. Kita tidak akan pernah bisa memprediksi mood mereka. Apalagi tidak ada vitamin untuk mendapatkan good mood. Otakku bekerja keras untuk kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar di hari pertama. Aku menginginkan sesuatu yang mengesankan menjadi milik tim kami. Terutama di hati anak-anak usia dini yang polos. Ternyata baru juga sehari sudah begini lelahnya, bagaimana guru yang mengajar setiap hari? Aku tidak membayangkan kelelahan mereka menghadapai banyak anak dengan berbgai katakter uniknya. Namun, aku tidak mendengar ada keluh kesah dari guru-guru. Yang ada malah bahagia dan senyuman tersuguh setiap hari. Entah bagaimana mereka bisa menghadapi situasi seperti ini. Aku bukan guru PAUD dan mungkin tidak akan pernah merasakan menjadi sepertinya. Aku sudah bangga dan bahagia menjadi diriku yang sekarang. Bukan karena materi, tetapi karena kepuasan batin. Aku bahagia bisa memiliki Mas Yanto sebagai suami. Meskipun, bukan pria sempurna, tetapi dialah yang membuatku jadi segala-galanya saat ini. Rasanya seperti Baru memejamkan mata sebentar, kurasakan ada sentuhan lembut di kaki. Pijatan khas milik seseorang yang kukenal. “Mas,” panggilku membuka mataku dan tersenyum padanya. “Apa kamu kelelahan?” tanya Mas Yanto tanpa menghentikan pijatannya. Aku menggeleng tanpa ada keinginan untuk bangkit. Sengaja tubuhku tetap dalam posisi rebahan sebab rasa lelahnya masih membuat beberapa bagian tubuhku ngilu. “Mau Mas buatkan sesuatu?” tanya Mas Yanto. Aku menatap Mas Yanto seraya memikirkan jawabannya. Kulambaikan tangan memberi kode pada Mas Yanto untuk mendekat, setelah mendapat jawaban yang pas. Mas Yanto ternyata sangat peka, ia pun mendekat. Kubisikkan sesuatu padanya. Kulihat Mas Yanto tersenyum sembari mengacungkan jempolnya mendengar permintaanku. Mas Yanto pun keluar kamar, membuatkan sesuatu yang aku bisikkan tadi dan aku kembali memejamkan mata. Hari ini aku nemar-benar ingin qulity time dengan tidur. Entah hanya sebatas memejamkan mata atau tidur sesungguhnya. Mas Yanto kembali membawa segelas minuman berwarna coklat. Asap mengepul di atasnya, menandakan bahwa minuman tersebut masih panas. “Minumlah!” seru Mas Yanto tanpa ragu karena melihatku sudah duduk bersandar di kepala ranjang. “Terima kasih.” Kukecup pipi kanannya dengan penuh cinta sebagai ungkaa]pan terima kasih. Mas Yanto balas mencium keningku. Aku memang sudah menunggunya sekitar dua menit lalu dan sesuai prediksiku. Minuman yang aku pesan selesai sesuai hitungan waktuku. Segelas wedang pokka, sejenis minuman tradisonal yang direbus bersama kayu manis, jahe, cengkeh, sereh dan gula. Mas Yanto biasanya menambahkan sedikit gula merah agar rasanya lebih nikmat. Sesekali kucium dan kuhirup aromanya yang benar-benar wangi. Benar saja, minuman sederhana itu bisa memberikan sedikit tenaga ekstra yang terkuras tadi pagi. Sepertinya Mas Yanto harus menyediakan minuman ini selama aku keliling ke sekolah PAUD. Wedang pokak lebih enak diminum hangat-hangat karena jika masuk lemari es akan berbeda rasanya. Jadi, minuman ini sangat bagus diminum fresh from the kompor. *** Mas Yanto baru saja selesai membantuku mencuci piring setelah makan malam, saat terdengar suara pintu diketuk. Aku yang masih membereskan sisa makan malam kami, berhenti sejenak. “Siapa yang buka pintu? Aku atau Mas Yanto?” tanyaku. “Kamu saja, Dek. Masih banyak yang harus dicuci,” balas Mas Yanto tanpa melihatku fokusnya hanya di bak cucian. Lagian kalau harus menoleh susah juga, sih karena posisinya jongkok dan itu melelahkan. Aku pun gegas ke depan membuka pintu untuk tamu. Entah siapa malam-malam begini datang. Biasanya kalau tamu Mas Yanto pasti sesuatu yang mendesak atau urgent. Kalau tamuku tidak mungkin. Aku tidak memiliki banyak teman di sini, kecuali tim di balai desa. Sesekali memang ada klien Mas Yanto yang dialihkan ke aku, tetapi itu murni karena keahlianku. “Iya,” sahutku dari dalam sambil membuka pintu lebar. “Loh, kok ada Mbak?” sebuah suara menyambutku keheranan. “Memangnya nyari siapa?” tanyaku bingung karena sorang wanita langsung menunjukku dengan mimik wajah terkejut. “Mas Yanto, ada?” seru wanita itu celingukan ke dalam. “Ada,” jawabku datar. “Masuk, Mbak!” seruku ramah. “Mbak kerja di sini juga?” tanya wanita yang ternyata datang bersama seorang pria. “Kerja?” gumamku dalam hati bingung. Sejak kapan aku kerja di rumahku sendiri? “Mbak, kan yang waktu itu sama Mas Yanto di puskesmas,” ucap si wanita sambil duduk. Aku menatap sejenak pasangan yang menjadi tamu suamiku malam ini. Namun, bicaranya kebih di d******i “Kok, dia tahu puskesmas? Apa hubungannya?” batinku masih berusaha berpikir dan mengingat-ingat. “Mbak yang waktu itu menyapa Mas Yanto?” tanyaku ragu-ragu karena aku melupakan wajah wanita yang pernah membuatku negative thinking karena keramahannya yang over. “Iya, yang waktu itu. Mbak ingat?” seru wanita tamu Mas Yanto. “Iya, ingat. Sebentar saya panggilkan Mas Yanto,” kataku menuju dapur. Butuh waktu dua menit, bagiku membawa Mas Yanto ke ruang tamu menemui tamunya. “Mbak, Mas,” sapa Mas Yanto menyapa tamunya. “Silahkan diminum.” Aku meletakkan gelas berisi teh manis untuk tamu suamiku, setelah itu aku memilih duduk di ruang tengah menikmati drama Korea terbaru. “Mbak yang tadi itu kerja di sini juga, Mas?” lamat-lamat aku mendengar suara wanita tamu Mas Yanto menanyakan keberadaanku. Rupanya si Mbak tadi masih penasaran denganku. Dari ruang tengah aku tertawa lirih menahannya agar tidak sampai terdengar suara cekikikanku. “Wanita tadi istri saya.” Kudengar Mas Yanto menjawab posisiku di rumah ini. Entah seperti apa reaksi wajah si Mbak tadi. Aku tidak mengintip atau sengaja melihatnya seperti sebelumnya. Hari ini terlalu lelah untuk kepo urusan pasiean Mas yanto. Fokusku monitor kecil di depanku yang menayangkan wajah tampan Song kang. Wajah tampannya benar-benar mengalihkan duniaku. Melupakan hobi mengupingku. Aku benar-benar larut cerita si penggemar kupu-kupu itu. “Dek,” suara Ma Yanto mengagetkanku. “Iya, Mas,” jawabku mem-pause monitorku. “Ngapain?” tanyanya sembari duduk di sebelahku. “Tamunya sudah pulang?” tanyaku. “DItanya malah balik tanya.” Mas Yanto mencubit pipiku gemas. “Sakit.” Kusingkirkan tangan suamiku. Mas Yanto kudengar terkekeh karena ulahku. “Tamunya udah pulang. Makanya aku bisa di sini.” Mas Yanto menoel hidungku. “Ooooo,” jawabku sengaja memanjangkan o-nya. “Emang mereka ngapain ke sini?” tanyaku menatap Mas Yanto kepo. Hahaha, ternyata jiwa kepoku masih ada. Belum hilang sepenuhnya. Aku masih selalu ingin tahu apa permintaan pasien suamiku. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN