Setelah mendapatkan data hasil perjuangan dari keliling desa secara door to door lalu ke sekolah-sekolah PAUD kini saatnya kami melanjutkan tindak lanjutnya.
Harusnya kami melakukan kunjungan ke sekolah dasar. Namun, sengaja kami pending terlebih dahulu karena menindaklanjuti yang sudah ada untuk dievaluasi.
Agar terlihat dulu hasilnya, sehingga kami bisa mendapatkan progress lebih baik untuk langkah selanjutnya.
Kami mengelompokkan beberapa data dan mulai memilah sebelum kembali menemui anak yang terjaring.
“Mbak, bagaimana?” tanya Adam yang baru saja masuk ke ruangan membawa banyak makanan di piring.
“Wah, makanan,” seruku fokus pada piring yang dibawa Adam, mengabaikan pertanyaan pria muda itu.
“Makanan aja cepet banget responnya,” sahut Mas Yanto.
Aku tertawa sambil menatapnya. Mas Yanto memang tidak salah karena aku saat ini memang butuh asupan berupa apapun agar bisa konsentrasi menyelesaikan beberapa catatan kasus yang terkumpul.
“Selalu, dong. Makanan itu kebutuhan pokok,” jawabku tanpa perlu mencemaskan apa yang ada dipikiran Mas Yanto.
“Sudah jangan berbaikan ya, lanjutkan debatnya. Sher, ayo kita nikmati sendiri kacang rebusnya,” goda Adam mendekati Sherly yang serius menatap monitor laptop.
“Wah, banyak sekali.” Sherly mengalihkan pandangannya ke piring yang berisi kacang rebus yang masih .hangat seperti baru diangkat dari panci rebusan.
Kacang rebus yang dibawa Adam terlihat sangat menggoda. Berbeda dengan kacang rebus yang biasa aku beli Surabaya. Kacang yang dibawa Adam tampak berisi, sedangkan yang sering aku beli di Surabaya kadang zonk dan bijinya kopong.
Aku sempat melihat Sherly menekan tombol CTRL + S sebelum menghentikan kegiatannya.
Sebelum beradu dengan Adam. Gadis rupanya tidak ingin kehilangan file yang sudah ia kerjakan dengan baik.
“Jangan bagi sama Mbak Mega dan Mas Yanto. Kita biarkan mereka menyelesaikan masalah rumah tangganya saja,” ledek Adam menatap ke arahku dan Mas Yanto.
Menyebalkan sekali sikap anak muda ini. Ingin rasanya aku piting sampai kapok dan minta ampun.
“Masalah rumah tangga kami adalah kalau kacang rebus ini tiak bisa kami makan,” seruku meraih piring yang ada di depan Sherly, ternyata Adam lebih dulu sadar dan menarik lebih dekat padanya.
Senyumku berubah menjadi asem karena ulah pria itu.
“Rumah tangga pale lu,” teriak Mas Yanto menempeleng kepala Adam dengan bercanda.
Adam bukannya membalas, pemuda itu malah tertawa lebar. Disodorkannya piring berisi kacang rebus tadi.
“Nih, abisin sebelum rumah tangga kita didatangi pihak ketiga,” olok Mas Yanto menyerahkan piring kacang rebus di tangannya padaku.
“Jangan biarkan pelakor ada diantara kita,” sahut Sherly meraup kacang rebus dengan sendok dipindahkan ke kertas bekas agar ia tidak terlalu jauh meraih dengan tangannya yang pendek.
“Yuhuuui,” sahutku mengikuti ritual Sherly.
Kedua lelaki tampan yang juga sedang menikmati kacang rebus itu terlihat cuek mendengar obrolan kami. Namun, sesekali tatapan mereka melirik ke arah kami.
What everlah, yang penting saat ini kacang rebus. Lumayan sambil menghilangkan penat karena pekerjaan yang masih belum bisa kami selesaikan dengan cepat.
“Dam, siapa yang bawa kacang rebus?” tanyaku sambil membuka kulit kacangnya.
“Bu Ina,” jawab Adam santai.
“Wah, terima kasih Bu Ina,” kataku seolah Bu Ina ada di dekat kami.
“Sampaikan sana ke ruangannya,” seru Adam menunjukkan ruangan Bu Ina yang berada tepat di samping ruangan Pak Kades.
Aku hanya tertawa kecil mendengarnya karena dimulutku masih mengunyah kacang.
“Cukup kamu saja sebagai wakilku,” jawabku.
“Dasar,” ledek Adam seolah memberiku label padaku yang selalu mewakilkan apapun pada Adam jika sudah berkaitan dengan pegawai balai desa.
“Mbak, bagaimana rencana tindak lanjut kita?” tanya Adam mulai serius menatap kami satu per satu, mengalihkan soal kacang rebus.
“Seperti yang sudah kita rencanakan. Setelah ini kita harus mengumpulkan mereka di satu tempat. Tapi, ….” Aku menjeda kalimatku ada keraguan tiba-tiba mendera.
“Tapi kenapa, Mbak?” sela Sherly.
“Tapi kita belum punya tempat untuk mulai melakukan treatment pada mereka,” sahut Adam.
“Begitukah, Mbak?” tanya Sherly meyakinkan dirinya.
“Iya, seperti itu.” Aku menganggguk mengiyakan
“Kenapa tidak di sini saja?” saran Mas Yanto menatapku bingung.
Kuembuskan napas lirih menatapnya sedikit resah. Apakah Mas Yanto melupakan sesuatu? Aku balas menatapnya keheranan.
“Bagaimana dengan dusun di pelosok? Apa Mas Yanto tidak kasihan melihat seorang ibu membawa anaknya yang istimewa ke balai desa dengan perjalanan lebih dari satu jam?” tanyaku masih dengan mode menatap suamiku.
Mas Yanto bukannya marah, terkejut atau terpana, ia malah tersenyum tanpa kutahu maknanya. Ada apa dengan Mas Yanto?
Benarkah ini Mas Yanto suamiku? Atau dia makhluk lain yang menyamar jadi Mas Yanto? Entahlah mengapa tiba-tiba peristiwa beberapa bulan lalu kembali hadir di memoriku. Ingatan yang harusnya aku lupakan saking takut dan ngerinya aku dengan Mas Yanto jadi-jadian yang menemaniku.
“Dek, Dek!”
“Mbak, Mbak Mega,”
“Mbak, Mbak Mega, Mbak gak pa-pa, kan?”
Kudengar suara Mas Yanto, Adam dan Sherly bersahut-sahutan ditelingaku. Aku mengangkat kepala menatap mereka satu per satu.
“Apa?” kataku tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Mbak yang kenapa? Melamun,”
“Bengong,”
“Kayak orang gak jelas,”
Mereka kembali saling bersahutan menjawab pertanyaanku.
“Harusnya aku yang bingung, tahu gak?” balasku.
“Kok, bisa?” Sherly menatapku keheranan.
Aku menatap Mas Yanto yang masih tersenyum, meskipun kutinggal melamun. Melamunkan dirinya juga yang seolah melupakan bahwa daerah tempat tinggalnya bukanlah perrkotaan besar yang semua tempat bisa dijangkau dengan mudah.
Di sini bukan seperti di Surabaya yang menyediakan berbagai transportasi, mulai angkot, bus, taksi, ojek online atau kereta api semua bisa dijangkau dengan mudah.
Kalaupun di sini ada angkot atau bus hanya ada pada jam-jam tertentu. Ojek online tidak semudah di Surabaya mendapatkannya. Apalagi taksi, transportasi ini tergolong akomodasi mahal yang hanya bisa dinaiki golongan tertentu karena biayanya yang relative mahal dan itu tidak cocok untuk masyarakat di sini.
Sepeda motor memang banyak dimiliki penduduk, tetapi tidak banyak ibu-ibu yang bisa mengemudikannya. Semua bergantung pada kepala keluarga masing-masing.
Mas Yanto masih tersenyum melihatku, “Kamu sudah banyak berubah,” bisiknya.
Kulirik Adam dan Sherly saling menatap dan saling mengedipkan mata satu sama lain. Entah apa maksudnya?
“Kali ini pemikiran kamu luar biasa. Aku saja tidak sampai berpikir ke arah sana,” lanjut Mas Yanto sembari membuka kulit kacang dan mengumpulkan bijinya di kertas bekas. Setelah terkumpul banyak disosdorkannya padaku.
So sweet, kan. Hati siapa yang tidak meleleh diperlakukan manis dengan pasangannya. Tak urung perhatian Mas Yanto menjadi tontonan Adam dan Sherly.
“Apa kalian selalu seromantis ini?” tanya Adam.
Aku dan Mas Yanto hanya bisa tersenyum tanpa membalas apapun. Mas yanto malah menyuapiku dengan kacang rebus yang baru ia kupas kulitnya. Sepertinya suamiku ini sengaja memamerkan sisi romantisnya.
“Sher, ada tempat lain buat kencan, gak?” lirik Adam pada Sherly yang juga sibuk mengupas kulit kacang.
Auto Sherly menoleh.
“Ada di gubuk tengah sawah,” jawab gadis itu terdengar asal.
Aku dan Mas yanto terkekeh lebar apalagi pas menyaksikan wajah kesal Adam, benar-benar aku ingin menggodanya lebih ekstrim dari ini.
***
Bersambung