Motor Mas Yanto membawaku dan rombongan ke sebuah tempat. Dari luar memang terlihat seperti rumah dengan bangunan khas pintu dan jendelanya. Namun, semakin di dekati tempat itu lebih layak disebut gubuk.
Rumah yang kami kunjungi merupakan salah satu warga yang direkomendasikan Pak Win selaku kepala dusun. Dengan perasaan bingung dan sedikit cemas kami memasuki pekarangan yang tidak seberapa luas.
Pekarangannya terlihat sedikit gersang tanpa ada satu tanaman pun tumbuh. Bahkan satu rumput pun tidak terlihat. Aku sampai geleng-geleng membayangkan hawa panas dari matahari yang langsung menerobos rumah tersebut.
Rumah yang kutempati saja terkadang masih terasa panas saat. Padahal ada beberapa pohon besar di sekitarnya. Sedangkan ini, gersang tanpa ada hijau-hijauan sama sekali.
Aku membayangkan bagaimana rasanya jadi penghuni pemilik rumah ini. Rumah yang bisa dikategorikan sangat tidak layak huni,
Dinding rumahnya full dari gedeg. Jendela dan pintunya terbuat dari kayu triplek. Aku sampai miris menyaksikannya. Entah bagaimana dengan Mas Yanto, Adam atau Sherly? Aku sampai beberapa kali mengelus d**a saking tidak teganya.
Kami berempat melangkah perlahan menuju kediaman Pak Dirman – nama pemilik rumah tersebut. Setelah salam kami ada yang membalas, terdengar seseorang membuka pintu.
Suara decitan khas mengikuti engsel berkarat semakin membuat telingaku berdenging seolah merasakan penderitaan si pemilik rumah.
“Siapa?” tanya seorang wanita dengan wajah datar menatap kami takut.
“kami dari balai desa ….”
“Kalian pergi saja kalau hanya membuat kami semakin repot,” potong wanita tersebut dengan nada ketus seolah mengusir kedatangan kami tanpa menanyakan tujuan sebenarnya. Membuat nyaliku semakin menciut mendengar pengusirannya saat Adam menjawab lokasi bekerja kami.
“Maaf, Bu ….”
“Sudahlah kalian pergi saja!” Wanita itu kembali menyela ucapanku bahkan bersiap menutup pintu rumahnya karena tidak menginginkan kehadiran kami.
“TUNGGU … !” Mas yanto menahan pintu itu.
“Sebaiknya ibu dengarkan dulu apa tujuan kami, jika ibu tidak berkenan barulah usir kami!” tegas mas Yanto membuat wajah ibu tersebut pias.
Dengan enggan kuperhatikan wanita itu membuka kembali pintu yang sedianya akan ia tutup.
“Kita bicara di depan saja,” kata wanita itu sambil keluar menuju teras yang memang menyediakan kursi dari kayu.
Aku sedikit lega melihat wanita itu berangsur membuka hati.
“Bu, perkenalkan saya Mega, ini Mas Yanto, Adam dan Sherly.” Aku memperkenalkan timku satu per satu pada tuan rumah.
“Apa benar ini rumah pak Dirman?” lanjutku untuk memperjelas bahwa kami tidak salah rumah.
“Benar, tapi suami saya sedang tidak di rumah,” jawab wanita itu.
“Dengan ibu siapa?” tanya Sherly yang sudah siap dengan alat tulisnya.
“Linda,” jawab ibu itu singkat tanpa ekspresi apapun.
Sherly mulai bertanya tentang kondisi umum rumah tangga Linda. Mulai nama lengkap pemilik rumah beserta putra putrinya, pekerjaan, hingga pendidikan.
“Bole kami bertemu adik Hadi?” tanyaku memastikan bahwa anak yang dimaksud tersebut memang yang kami cari.
“Sebentar.” Linda masuk dan kembali sambil menggendong seorang anak berusia sekitar tiga tahun. Namun, sekilas aku melihat kondisinya benar-benar diluar ekpektasi kami.
Aku melihat kondisi kedua kakinya lebih kecil dari ukuran normal. Sedangkan bagian tubuh lainnya berkembang dengan baik.
“Sejak kapan kaki adik seperti ini?” tanyaku hati-hati khawatir si ibu tersinggung.
“Sejak lahir,” jawab Linda menundukkan kepalanya.
“Bu, apakah ibu bersedia jika Hadi kami data sebagai anak berkebutuhan khusus di wilayah Desa Bangorejo?” tanyaku sembari memberi gambaran tentang kondisi Hadi.
Kondisi Hadi memang bukan kondisi anak yang membutuhkan konseling atau terapi khusus seperti beberapa anak yang mengalami autis, slow learner atau sindrom-sindrom lainnya.
Namun, tetap saja Hadi masuk kriteria anak berkebutuhan khusus. Treatmennya tentu saja bagaimana membuat Hadi percaya diri dengan kondisinya. Jika memungkinkan, aku berniat mengajukan penyangga kaki agar Hadi bisa berjalan seperti anak normal.
Tentu saja niat ini tidak bisa aku jalankan sendiri, seluruh tim harus ikut andil menyukseskan programku selanjutnya.
“bagaimana, Bu?” tanyaku kembali karena Linda tampa termenung mungkin memikirkan jawaban yang akan ia sampaikan.
Linda mengangkat kepalanya menatapku dengan wajah datar, sungguh ekpspresinya benar-benar tidak bisa kutebak.
“Saya bersedia, tapi entah dengan Mas Dirman? Karena Mas Dirman tidak pernah mengizinkan Hadi keluar rumah. Ia terlalu malu memiliki anak cacat seperti Hadi,” jawab Linda dengan suara lirih dan terdengar sangat tertekan.
Kami berempat saling bertatapan mendengar jawaban Linda. Jawaban yang hampir dilontarkan seluruh penghuni rumah yang kami kunjungi.
Rata-rata mereka merasa sangat malu dan gengsi karena memiliki anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka memilih mengurung anaknya di rumah daripada membiarkan mereka bermain dengan anak sebayanya.
Efeknya perkembangan anak-anak tersebut semakin tdak baik bahkan cenderung introvert. Tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan. Ketakutan saaat bertemu orang baru bahkan ada yang sempat mengalami tantrum karena kehadiran kami.
“Kami akan bantu ibu berbicara dengan pak Dirman. Ibu tentu tidak ingin Hadi menjadi beban keluarga setrusnya, bukan? Ibu dan bapak kelak akan semakin tua, jika Hadi tidak diajari mandiri sejak dini, apa yang akan terjadi kelak?” kata Mas Yanto memberi wejangan Linda.
Linda menatap suamiku sambil mengangguk. Aku sedikit keheranan karena baru rumah ini yang tidak mengenal Mas Yanto. Selama ini, kami tdak pernah ditolak karena melihat Mas Yanto. Bahkan beberapa ABG ada yang tampak heboh melihat Mas Yanto mendatangi dusun mereka.
Sudah bak artis saja, suamiku. Jika sudah begitu aku mundur sedkit memberi hawa sejuk pada Mas Yanto menyapa penggemarnya.
Tak lupa aku juga menutup telinga dan hati agar tidak mendengar pujian yang mereka lontarkan pada Mas Yanto. Asal tahu saja, semua aku lakukan demi menurunkan sifat cemburu dan posesifku. Berusaha tampak wajar saat suamiku diburu para wanita cantik.
Aku benar-benar mempersiapkan mental baja agar tidak kalah menghadapi penggemar Mas Yanto yang terkadang datang tiba-tiba. Bahkan sempat ada seorang gadis yang rela menunggui kami melakukan interview kepada salah seorang warga.
Adam dan Sherly selalu tertawa lebar seolah mengejekku saat para pengemar Mas Yanto datang mengerubuti bak semut. Seolah ada kesenangan dan hiburan tersendiri atas kemalanganku. Namun, aku tidak terlalu menghiraukan bagiku cukup tahu bahwa mereka juga peduli.
Tidak seru rasanya kalau sesame teman hanya saling diam tanpa ada ledekan, cemoohan atau ejekan yang mengandung saling keterikatan satu sama lain. Seperti itulah yang aku rasakan pada mereka, ejekan mereka bukan berarti meraka benar-benar menyukai kesialanku. Sebaliknya merekalah yang menguatkanku.
Keberadaan mereka hiburan bagiku untuk mengalihkan cemburu dan posesifku. Lelucon mereka adalah nyawaku untuk tetap mempertahankan si Mas Dukun tampan idola dusun.
Ternyata diantara sekian penduduk, ada juga yang tidak mengenal dukun Yanto, suamiku tersayang. Ada perasaan lega juga, karena pamor suamiku sedikit bergeser karena ketidaktahuan Linda. Girang rasanya menjadi saksi utama ketidaktahuan Linda pada Mas Yanto.
Kali ini aku yang tersenyum sedikit cerah karena Linda yang cuek dan tidak peduli dengan Mas Yanto. Bahkan pengusirannya diawal tadi sudah membuatku curiga sebab selama ini para pemilik rumah akan heboh sendiri saat kami datang.
Lebih tepatnya karena Mas Yanto datang. Mereka seolah mendapat tamu kehormatan dan special. Kami sampai dijamu aneka jenis makanan. Pokoknya sejak Mas Yanto bergabung kita tidak pernah kelaparan. Bekal kami utuh. Sampai pulang pun kami diberi buah tangan yang tidak sedikit.
“Mas dukun, saya percaya padamu,” seru Linda sebelum kami pamitan.
Senyumku yang tadi bersinar kembali meredup mendengar ucapan Linda.
***
bersambung