Kali ini kami berempat berhadapan dengan Pak Kades. Sengaja kami menemui beliau karena ada beberapa hal yang akan kami diskusikan terkait temuan kasus di lapangan.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya pak Kades setelah aku menyampaikan beberapa temuan kasus mewakili yang lain.
“Begini, Pak.” Aku menjeda kalimatku sembari membuka kertas berisi beberapa penyelesaian yang sempay kami diskusikan sebelum menemui Pak Kades.
“Kami menemukan sekitar 15 anak berkebutuhan khusus dengan bermacam kriteria. Cacat secara fisik ada sekitar 8 anak, itupun beraneka ragam. Mulai dari kaki, wicara, rungu hingga netra. Sedangkan sisanya masuk kategori autis, slow learner, down syndrome,” kataku menyebutkan data di lapangan.
“Yang kami sasar saat ini adalah keluarga mereka, Pak. Beberapa merupakan masyarakat dengan ekonomi rendah, sehingga alasan mereka tidak menyekolahkan atau membawa terapi karena alasan keuangan,” tuturku masih dalam mode menjelaskan.
“Dari sini, kami berharap juga ada subsidi atau semacam bantuan untuk mereka,” sambungku mengatakan inti dari tujuan kami menghadap karena kami semua merasa prihatin dengan para penduduk yang selama ini kurang disentuh.
Melalui program ini aku dan yang lain berharap ada sedikit harapan untuk mereka. Salah satu motivasiku bergabung dengn tim Adam salah satunya memang untuk itu. Mengangkat anak berkebutuhan khsusus agar tidak dikucilkan sebab saat ini mereka juga menjadi tanggung jawab kita semua.
Pak Kades kulihat manggut-manggut seolah mengerti maksud kami. Namun beliau juga tidak langsung menjawab, sepertinya butuh beberapa detik berpikir.
“Mbak Mega dan rekan-rekan semua saya sangat bersyukur kalian bisa menyelesaikan misi ini dengan baik,” urai beliau.
Pak kades menatap kami bergantian sebagai bentuk apresiasi,“Apa kalian sudah membuat program lanjutannya?” tanya pak Kades.
“Sudah,” sahut Adam.
“Ini, program lanjutan kami beserta besaran biaya sudah kami anggarkan,” lanjut Adam menyerahkan map berisi program yang Adam bicarakan.
Pak kades menerima, membuka dan mulai membaca isi map tersebut.
“Isinya lumayan berbobot dan terperinci. Hanya saja untuk tahun ini, sepertinya tidak bisa kalau harus terwujud semua karena rencana anggaran tahun ini sudah masuk ke Kabupaten” jelas pak Kades.
“Tapi, jangan khawatir saya akan mencoba ajukan untuk tahun berikutnya.” Pak Kades menutup map dan meletakkan di meja.
“Meski begitu, kalian harus tetap menjalankan program berikutnya sambil menunggu persetujuan dana,” jawab pak kades.
“Lakukan dulu yang menurut kalian paling urgent,” saran Pak Kades yang hanya bisa angguki pasrah karena semua yang disampaikan beliau masuk akal.
***
“Mas, yakin hari ini kita mau ke puskesmas?” Kudengar Adam bertanya sembari menatap suamiku dengan nada berat, seolah ia enggan mengantar kami ke sana.
“Iya, kenapa, Dam?” jawab Mas Yanto sambil terkekeh karena tingkah Adam yang mirip anak kecil bahkan aku yang tepat di samping suamiku merasa suara Adam mirip rengekan.
“Enggak tahu, aku ngerasa gimana, gitu,” balas Adam.
“Mas Adam ndak usah ikut dulu, aja!” sahut Sherly yang terlihat cemas dengan kondisi Adam.
“Mana bisa seperti itu,” sanggah Adam.
“Ya udah, kalo gitu ikut.” Sherly ikut tertawa mendengar jawaban Adam.
“Perasaanku itu loh, enggak enak,” elak Adam.
“Ikut enggak?” ulang suamiku tegas, ranselnya sudah siap dipunggung. Ransel yang hanya berisi proposal dan beberapa materi tim yang akan kami ajukan sebagai bahan kerjasama dengan pihak puskesmas.
Adam tampak semakin menciut mendengar suara Mas Yanto.
“Iya-iya, ikut.” Adam menyambar kontak motor milik Sherly sembari ngeluyur ke halaman.
Aku, Mas Yanto dan Sherly saling menatap sambil tertawa lebar menyaksikan tingkah Adam yang kali ini sunguh kekanak-kenakan.
“Lagi PMS kali, ya si Adam,” seru Mas Yanto menatapku dan Sherly yang semakin melebarkan mulut, meskipun tidak terlihat karena tertutup masker.
***
Mas Yanto segera masuk dan mengatakan ingin menemui kepala puskesmas begitu tiba di lokasi. Tidak ada satpam, petugas kebersihan atau apapun yang menyambut kami seperti di puskesmas Surabaya.
Ye, maklum kita disambut karena di depan pintu ada pendaftaran online bagi pasien yang belum mendaftar di rumah. Sedangkan di sini, pasien datang langsung menuju loket. Begitupun kami, bertanya kepada petugas loket sebagai ruangan paling awal yang bisa kami lihat.
Areanya pun tidak begitu luas. Dari luar tampak seperti bangunan biasa, hanya saja ada plakat bertuliskan puskesmas yang membuatku yakin tempat ini tujuan kami.
Selama setahun di banyuwangi Mas Yanto belum pernah sekalipun mengajakku ke tempat ini. Lagian untuk keperluan apa aku ke sini. Selama ini setiap sakit Mas Yanto sendiri yang mengobati dan merawatku. Dokter tidak laku di rumahku.
Lebih untung juga sih, dana di dompet tidak ada yang keluar untuk biaya kesehatan. Kemampuan Mas Yanto sepertinya sudah cukup bagiku. Saat sakit aku pun merasa semakin lebih enakan setelah disentuh oleh tangan Mas Yanto.
Tangan kokoh itu seolah mengandung magnet luar biasa untuk menarik semua penyakit keluar dari tubuhku. Bagiku setelah sentuhan Mas Yanto dan istirahat sebentar sudah bisa kembali beraktifitas normal.
Bukan hanya aku, warga lain pun sepertinya merasakan hal yang sama. Mereka lebih memilih mendatangi Mas Yanto untuk berobat setiap kali sakit daripada ke puskesmas apalagi rumah sakit padahal dihitung-hitung jaraknya juga tidak seberapa jauh karena efek sehatnya terasa lebih cepat daripada obat kimia.
Kulihat di ruang tunggu, sepi. Hanya ada dua orang pasien yang terkantuk-kantuk, entah mereka menunggu apa? Toh, tidak ada antrian sepadat Surabaya yang pasiennya membludak. Apalagi jika hari Senin, bisa dipastikan ruang tunggu penuh. Sampai ada yang rela berdiri menunggu pangilan.
Untung sekarang tidak lagi begitu, semenjak ada pendaftran online pelayanan di puskesmas terlihat lebih teratur dan tidak menumpuk.
Aku bahkan merasa dengan adanya pendaftaran online semakin mempermudah kita untuk berobat. Tidak perlu sampai harus menunggu terlalu lama. Sungguh tehnologi mampu mempercepat segalanya.
“Mas Yaaantoooo.” Reflek aku menoleh saat kudengar ada seseorang memanggil nama suamiku.
Kulihat Mas Yanto mengangguk sambil tersenyum membalas panggilan wanita tersebut. Ia pun memberi kode minta maaf karena harus masuk ruangan kepala puskesmas. Wanita itu balas mengangguk.
“Duh, siapa dia?” batinku keheranan kok bisa wanita yang kulihat terkantuk-kantuk itu melek lebar melihat Mas Yanto yang baru datang.
Baru saja aku melangkahkan kaki hendak menyusul Mas Yanto dan Adam yang sudah lebih dulu masuk ketika aku mendengar suara teriakan lantang mengusir kami.
“Kalian ngapain ke sini?” suara seorang wanita dari dalam ruangan entah siapa.
“Apa kalian bawa santet? Atau mau menyarankan pasien kami pulang?” seru suara yang sama.
Kuberanikan diri menengok ke dalam, tampak seorang wanita berdiri menantap Adam dan Mas Yanto.
“Kalian balik aja, deh. Saya tahu Bapak dukun. Kamu pasti anak buahnya si dukun ini. Dia sudah terkenal,” sambung si wanita itu.
“Bu, maaf kedatangan kami bukan karena dukunnya Mas Yanto, tapi karena ada tugas dari balai desa,” ucapku nyelonong masuk begitu saja, padahal tadi aku sudah berusaha pasang wajah manis.
Sebal mendengar ocehan unfaedah wanita yang ngata-ngatain suamiku. Apalagi sampai ada kalimat santet, usir, dukun duh, telingaku gatal rasanya.
“Mana aku percaya? Mana ada dukun disuruh Pak Kades. Hei, sadar diri ya, Mbak. Kalo sudah terjerat ilmu hitam selamanya gak akan bisa jadi putih,” balas wanita itu membuat telingaku semakin merah. Apa ada yang salah dengan profesi dukun.
Toh, masyarakat sini mempercayai kemampuan suamiku. Aku pun hidup tidak tergantung pada siapapun. Tidak ada hak orang lain menghakimi atau menilai sepihak dan sebelah mata begitu saja.
Meskipun, awalnya aku tidak mempercayai dukun. Namun, jika itu berkaitan dengan sumber keuangan rumah tangga aku tidak mengizinkan siapapun mencela.
Kaki dan tanganku sudah bersiap melayang membelah Mas Yanto dan Adam, ketika Sherly menariknya dengan cepat.
“Sabar, Mbak!” bisiknya.
“Ini sudah keterlaluan,” jawabku menatap Sherly yang masih mencoba menenangkanku.
Dalam hal emosi aku akui Sherly lebih mampu menguasai diri dibanding diriku yang lebih tua. Mungkin ini karena kedekatannya pada Tuhan kali, ya. Sehingga para malaikat banyak yang mengellilinginya. Beda denganku yang hanya dikelilingi para jin dan penghuni neraka abadi.
“Baiklah, kalau ibu tidak percaya akan kami panggil Pak Kdes ke sini,” pungkas Adam yang juga terlihat geram dengan ulah wanita yang katanya kepala puskesmas.
***
Bersambung