Menjadi partner di tim tumbuh kembang anak yang aku pimpin, tidak membuat Mas Yanto menghilangkan profesi dukunnya.
Meskipun, prakteknya sekarang tidak setiap hari, ternyata pasiennya masih tetap saja banyak. Bahkan, aku merasa bertambah.
Terlihat dari nominal yang ia berikan padaku.
Bersyukur, tentu dan pasti. Karena Allah masih memberikan rizkinya kepada kami, hambanya yang lalai ini.
Entahlah, ilmu apa yang dimiliki Mas Yanto sampai pasiennya bisa semakin ramai. Bahkan ada yang datang dari luar kota. Mereka mengatakan untuk sampai ke sini, mereka harus sewa hotel. Amazing, kan.
Yang lebih aku banggakan, meskipun sudah naik daun penampilan Mas Yanto masih tetap sederhana. Tidak ada kesan mewah sama sekali ia tonjolkan. Namun, kesan tampan tetap ia pertahankan, kalau yang ini always in mu heart.
Walaupun, modal wajah tampannya inilah, terkadang membuatku cemburu saat ada pasien wanita muda datang. Aku sering mendengar dari balik tirai, diantara mereka ada yang menawarkan tubuhnya. Sungguh, aku ingin mencincang mulutnya yang kurang diajari sopan santun itu. Untung suamiku tidak pernah menanggapi godaan dari kaumku.
Andai ia terpedaya, mungkin aku tak kenal ampun lagi. Kututup permanen ruang prakteknya. Kubuang semua peralatan dukunnya. Kusandera semua miliknya. Sudah terlihat sadis belum, ya?
Aish, udah deh, ceritaku tentang Mas Yanto dengan segala perdukunannya. Tak sanggup aku melanjutkan ceritanya, tapi next kalau ad ayang menarik pasti aku bagi’
Kita kembali ke tim baruku, yuk! Tim yang baru didirikan Adam dan Pak Kades beberapa bulan yang lalu.
Harusnya waktu sebulan untuk sosialisai sudah selesai. Namun, karena ada tragedy aku dan Sherly sakit menjadikan program kami mundur.
Mas Yanto memberi masukan kepada Adam dan Pak Kades agar lebih fleksibel mengenai penyuluhan dan sosialisai, karena masih ada satu dusun yang belum kami jangkau karena jalanan menuju sana yang lumayan terjal dan memakan waktu seharian.
Masukan dari Mas Yanto diterima baik oleh Adam dan Pak Kades. Mereka mengizinkan kami mengadakan penyuluhan kembali, jika itu dirasa perlu dan mendesak.
Dari pantauan kami selama sebulan, antusisame penduduk sangat baik. Mereka menerima petunjuk yang kami sampaikan. Tentunya setelah bergabungnya Mas Yanto.
Coba aku masih betahan dnegan Sherly saja, tidak yakin hasilnya akan sememuaskan ini.
Beberapa data anak berkebutuhan khusus, sudah kami kantongi. Tinggal tindak lanjut berikutnya, yaitu meminta mereka datang ke Balai Desa untuk diterapi Mas Yanto dan Sherly.
Kami bisa bertindak cepat, karena saat sosialisasi dan penyuluhan sekaligus melakukan tes perkembangan pada masing-masing anak.
Usia anak yang kami jaring saat ini terbatas 0 – 7 tahun. sedangkan, untuk langkah berikutnya kami menjaring anak usia 7 – 15 tahun. Untuk usia 16 tahun ke atas akan kami jaring di part berikutnya, tentunya dengan program yang berbeda.
Selain, bentuk tes yang berbeda, tentu saja karena tenaga. Tenaga kami juga terbatas. Jadi, kami memutuskan untuk menangani step by setep. Kecuali, jika mereka datang sendiri ke Balai Desa kami tidak akan menolak.
Hari ini, kami bertiga kembali berkemas untuk melakukan penyuluhan di dusun yang dimaksud Mas Yanto. Dusun yang lebih pelosok dan bisa kupastikan masyarakatanya lebih primitif.
“Sher, apa di sana penduduknya ramah?” bisikku pada Sherly.
“Di sana warganya baik-baik, kok, Mbak. Aku kasih bocoran nih, ya. Meskipun kata Mas Yanto pelosok, tetapi di sana tidak ada penduduk yang rumahnya terbuat dari gedeg,” jawab Sherly, mengingatkan pada rumah Mas Yanto yang masih berdinding gedeg.
“Serius?” bisikku tidak percaya.
“Seriuslah, Mbak,” jawab Sherly menenangkanku.
Seketika jiwa-jiwa cemasku lenyap. Menguap bersama hembusan napas yang tercekat oleh kata pelosok.
Kami berangkat berempat. Karena, Adam tidak tega jika Sherly mengendarai motornya sendiri, mengingat jalan terjal dan berbatu seperti yang disampaikan Mas Yanto.
Keluar dari Balai Desa, motor kami masuk ke area pedesaan. Jalan yang makadam sudah seperti makanan kami sehari-hari selama sebulan ini. Jadi, aku sudah semakin kebal dengan jalan, panas dan debu. Yang penting, pakai masker, sarung tangan dan helm untuk keamanan diri sendiri juga. Jangan lupa, hand sanitizier selalu ada di dalam tas, mengingat masih ada virus C-19 yang berkeliaran dengan berbagai varian baru yang kadang aku tidak tahu namanya.
Motor kami keluar masuk area sawah dan perkampungan. Naik turun perbukitan. Sudah kayak travelling ke Pacet, Trawas dan Tretes saja. Namun, untungnya jalananya tidak setajam tanjakan Trawas da Tretes. Cukup sekelas Pacet saja aku sudah grogi.
Akhirnya, kami sampai di gerbang desa tujuan. Kudengar helaan napas lega dari mereka bertiga.
“Yuk!” ajak Mas Yanto. Entah mau diajak kemana, kita? Kitanya nurut-nurut saja.
Ternyata, motor Mas Yanto berhenti di salah satu rumah penduduk.
Benar, kata Sherly, begitu masuk aku tidak melihat ada rumah yang jelek, seluruh rumah penduduk pedalaman ini, minimal sudah berlantai keramik. Bentuk rumah sudah modern. Dibandingkan rumahku eh, salah bukan, tetapi rumah warisan Mas Yanto.
Bahkan rumah yang kami kunjungi tergolong mewah. Sebuah rumah berlantai dua, dengan gaya minimalis Eropa. Duh, bikin aku ngiler pengen rumah yang kayak gitu, juga. Namun, akan sulit terkabul.
Mengingat prinsip hidup sederhana milik Mas Yanto dan yang lebih prioritas profesi suamiku.
“Permisi,” seru Mas Yanto sambil mengetuk pintu rumah mewah tersebut.
Ceklek!
Terdengar suara pintu dibuka seseorang dari dalam.
“Mas Yanto,” seru penghuni rumah setelah membuka pintu dengan nada terkejut.
“Pagi, Pak Win,” sapa Mas Yanto menyunggingkan senyumnya kepada pria yang kuingat namanya pernah mentransfer dengan nominal paling banyak ke rekening.
“Ada apa, nih? Kok datang rame-rame?” tanya pak Win keheranan menatap kami berempat.
“Ada perlu sebentar untuk penyuluhan ke warga Pak Win,” ucap Mas Yanto mewakili kami.
“Tentang?” Pak Win menatap Mas Yanto bingung.
“Masuk dulu, deh, Mas!” ajak Pak Win mempersilahkan kami masuk.
Setelah duduk dengan tenang, Mas Yanto menjelaskan maksud dan tujuan kami. Rupanya Pak Win adalah kepala Dusun wilayah tersebut. Pantesan, ia sanggup memberi Mas Yanto imbalan sebanyak itu, pikirku.
Meskipun, terlihat bingung dan heran dengan keberadaan Mas Yanto yang gabung tim Balai Desa Pak Win tetap mengizinkan kami melakukan penyuluhan, dengan sistem door to door.
Melelahkan. Banget. Namun, ini adalah tugas dan perjuangan. Seberapapun beratnya tetap kami laksanakan.
Sebelum bergerak, kami juga meminta data warga yang masih memiliki anak usia 0 – 7 tahun untuk mempemudah kerja kami. Dengan sabar dan ramah Pak Win melayani kami.
“Terima kasih, Pak,” kataku sambil menjabat tangan beliau saat pamit.
“Sama-sama. Apa Mbak ini, istrinya Mas Yanto?” tebak Pak Win sambil melepas tanganku menatap Mas Yanto penasaran.
“Benar, Pak,” jawab suamiku.
“Akhirnya, saya bisa juga kenalan dengan istrinya Mas Yanto,” ucap Pak Win kegirangan seolah-olah rasa penasarannya sudah menumpuk terobati seketika melihatku.
Aku hanya tersenyum kecil, menanggapi ucapan Pak Win, “ Semoga kita masih bisa bekerjasama lain kali.”
***
Bersambing