Aku menahan napas kasar. Perjalanan menuju rumah penduduk di salah satu dusun terpencil di desa Bangorejo memang sangat menguras tenaga.
Hari ini memang bukan pengalaman pertama melakukan perjalanan ke dusun ini, tetapi rasa lelahnya masih sama.
Kami masih harus naik turun jalanan terjal. Terkadang harus berjalan kaki. Namun, jika memungkinkan motor kami bisa dipakai walau dengan rasa ngeri saking ekstrimnya perjalanan ke wilayah ini.
Seharian ini khusus kami manfaatkan mengunjungi dusun terpencil ini. Mengingat perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Belum lagi kegiatan yang harus kami lakukan di sini. Sangat tidak memungkinkan jika harus berbagi dengan wilayah lain.
“Kita istirahat dulu,” ajak Mas Yanto memperhatikan ke arahku dan Sherly.
“Tapi, Mas …,” bantahku
“Sebentar saja. Jaga kondisi juga. Terlalu lelah tidak baik,” potong mas Ynato.
“Waktu kita tidak banyak,” lanjutku setelah bantahanku dipotong.
“Siapa yang akan menilai? Mau diselesaikan dua hari atau seminggu apa salahnya. Medan di sini memang tidak bagus,” seru Mas Yanto.
Aku memang mentargetkan satu hari di satu tempat. Tanpa memikirkan satu wilayah ini. Sungguh aku merasa melewatkan kelemahan lokasi.
Aish, kalau sudah begini aku harus membuat ulang jadwal yang sudah tersusun rapi. Menjengkelkan, sudah menyusunnya penuh perjuangan sekrang harus merevisinya.
Salah siapa, kalau sudah begini? Salahku, kah?
Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku juga manusia bisa lupa. Namun, mengapa setelah terlampaui baru ada revisi dadakan. Aku paling tidak suka dengan sesuatu yang mendadak karena otakku juga akan kacau seketika.
Namun, kali ini sedikit berbeda. Semua harus dirubah karena sesuatu yang urgent dan kondisi alam yang mendukung.
“Sher, nanti malam rubah semua schedule kita,” seruku pada Sherly dengan napas terengah-engah karena masih dalam tahap pemulihan pernapasan.
“Baik, Mbak,” seru Sherly singkat sepertinya ia juga terengah-engah.
Aku sebetulnya juga kasihan pada gadis itu, tetapi harus bagaimana lagi.
"Kamu gak pa-pa, kan jika harus merevisi?" tanyaku.
"Gak pa-pa. Woles aja, Mbak," jawabnya berusaha tersenyum.
Sudah hampir pukul sepuluh, tetapi belum satu rumah pun yang kami datangi. Matahari juga semakin menyengat. Berkali-kali keseka peluh yang terus turun dari dahi.
Waktu selama satu jam kami habiskan diperjalanan. Sedangkan satu jam msebelumnya kami berkemas-kemas di balai desa.
“Dimana rumah yang kita tuju?” tanya Mas Yanto.
“Di belokan depan,” jawab Adam yang ingat lokasi rumah tujuan kami.
Saat ke dusun ini Mas Yanto memang belum bergabung menjadi tim kami. Saat itu juga kami mengawali dengan banyak hambatan.
Hingga lebih dari sebulan akhirnya kami berhasil melakukan pendekatan dan mulai aksi sosialisai ke beberapa warga yang diusulkan Kepala Dusun.
Kepala Dusun yang sebelumnya sempat menolak kami, akhirnya bisa kami luluhkan. Beliau memberikan informasi terkait waragnya yang berkebutuhan khusus.
Berbekal informasi dari Pak Kepala Dusun, kami mulai bergerak dari rumah ke rumah. Perjalanan ini juga tidak mudah sebab kami harus bergerak mandiri. Pak kadus singkatan dari Kepala Dusun lepas tangan dan membiarkan kami menjalankan program sendiri.
Kami juga berjuang sendiri meyakinkan warga Pak Budi – Kepala Dusun terpencil ini. Perjuangan melelahkan, tetapi ahkirnya sungguh diluar perkiraan.
Kini saat mulai untuk menjalankan rencana tindak lanjut. Ada Mas Yanto yang siap mengawal dan menjadi pelindung kami.
“Mas Yanto,” seru seorang ibu yang rumahnya menjadi tujuan pertama kami.
Ibu itu tampak terkejut karena yang mereka temui bukan hanya tim abal-abal seperti yang ia cemoohkan beberapa bulan lalu.
Ada Mas Yanto, dukun terkenal yang ia kenal bersama kami. Entah bagaimana hatinya sekarang?
Aku menatap tanpa bisa berkata apapun kepada si ibu pemilik rumah. Membiarkannya dalam ketakjuban beberapa waktu.
Entah saat ini ia sudah percaya atau masih bimbang?
“Siang, Bu,” sapa Mas Yanto mewakili kami.
“Kok, Mas Yanto yang datang?” ucapnya seolah mengabaikan timku yang lain.
Mas Yanto mengangguk, mencoba seramah mungkin kepada ibu yang mengenalinya itu.
"Ada semua tim di sini," kata Mas Yanto menunjuk kami satu per satu.
Setelah diizinkan masuk, kami mulai menyampaikan informasi yang harus mereka lewati ke depannya.
Kebetulan kami menemukan sebuah rumah kosong di pinggiran dusun yang bisa disewa sementara.
Di dusun tersebut belum ada bangunan fasilitas umum, sehingga kami harus menyewa untuk melakukan beberapa treatment kepada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.
Beruntung masih ada bangunan kosong yang tidak terpakai. Andai tidak ada, entah jalan apa yang kami tempuh? Sepertinya semua sudah diatur oleh semesta.
Saat mencapai kondisi ini aku teringat program posyandu yang didampingi puskemas.
Setahuku saat di Surabaya, kegiatan ini rutin setiap sebulan sekali. Entahlah di sini aktif atau tidak. Aku belum pernah menanyakannya kepada pihak puskesmas.
Apalagi baru terpikirkan hari ini. Mana mungkin aku menanyakannya langsung.
“Jadi, kalian akan datang setiap sebulan sekali dan kami harus berkumpul di rumah kosong yang ada di ujung desa sana?” tanya ibu tersebut menunjuk arah lokasi dengan telunjuknya.
Aku dan Mas Yanto mengangguk perlahan sebagai tanda pembenaran.
Lewat pukul satu, kami baru keluar dari rumah pertama. Hawa panas menyambut kami begitu melewati pintu yang terbuat dari kayu.
Matahari benar-benar di atas ubun-ubun. Rambutku terasa begitu panas, serasa terbakar.
“Kita makan siang dimana?” tanyaku mengingat jam sudah menunjukkan waktu makan siang.
“DI rumah yang kita sewa,” usul Sherly sambil mengangkat tas berisi bekal makan siang yang ia tenteng.
“Let’s go!” seru Adam mengambil alih tas dari tangan Sherly.
***
Selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan ke rumah berikutnya karena untuk pulang terlalu tanggung. Sehari satu rumah rasanya sayang dengan perjalanan yang kami tempuh karena itu kami sepakar menuju rumah kedua.
Total ada lima rumah yang menjadi target kunjungan kami karena itu kami haru pandai-pandai mengatur waktu agar tidak terbuang sia-sia.
Kebetulan rumah sewaan kami sangat nyaman, meski tidak terlalu besar. Kami menyewa pun bukan untuk tujuan ditempati, sehingga apapun kondisinya tidak terlalu masalah.
Yang panting bagi kami adalah ruangan yang cukup untuk melakukan berbagai treatment bagi setiap anak. luas dan perabot tidak terlalu penting.
“Sudah selesai?” tanya Adam yang sudah mengemasi perlengkapan makan siangnya.
Kami memang membawa peralatan makan masing-masing agar tidak saling tertukar. Menjaga kesehatan masing-masing juga.
Kami masih meyakini bagaimanapun virus masih betebaran dan siap mendompleng ke tubuh setiap manusia tanpa mau tahu latar belakang dan usia.
“Udah, yuk!” ajakku setelah merapikan tikar tempat kami duduk.
Rumah ini memang masih kosong belum ada perabot apapun. Pemiliknya tidak pernah menyewakan perabot, sehingga kami berniat mengusungnya dari kantor balai desa.
“Kita berangkat sekarang!” ajak Mas Yanto.
Kita berangkat beriringan mengendarai motor karena lokasi kedua bisa dilalui dengan bermotor.
Yang kami lakukan di rumah kedua tidak jauh beda dengan rumah pertama. Sambutan tuan rumah juga tidak jauh beda. Mereka menampakkan wajah terkejut karena ada Mas Yanto.
“Aaaaah,” tiba-tiba kami mendengar suara teriakan.
“Ada apa ini, Bu?” tanyaku karena suara teriakan itu belum juga berhenti malah semakin keras.
“Entahlah. Sebentar, saya lihat dulu.” Kata Bu Nana si pemilik rumah menengok ke jendela.
Kudengar Bu Nana berbicara dengan seseorang di luar. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya mereka menggunakan Bahasa lokal.
“Ada apa?” bisikku pada Sherly yang kutahu penduduk asli Banyuwangi.
“Sepertinya ada yang mau melahirkan,” jawab Sherli berbisik dengan tenangnya.
“Kok kamu bisa setenang ini?” tanyaku keheranan.
“Mereka pasti sedang menunggu dukun beranak datang,” bisik Sherly seolah sudah biasa dengan kondisi ini.
***
Bersambung